○ 4. Tamu Tak Diundang ○

1.1K 178 20
                                    

INI sudah hampir satu minggu aku melewati liburan semester. Kak Juna tidak lagi mendatangi rumahku, tetapi aku tidak keberatan karena dia selalu memberiku kabar. Dia sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian nasional yang akan dilaksanakan beberapa bulan mendatang. Aku memakluminya dan tidak akan menuntut banyak.

Hari ini sama seperti hari-hari yang lalu di mana tubuhku hanya mau bermalas-malasan. Aku baru bangun tidur dan rasa kantuk itu masih menerpa. Alih-alih langsung membasuh muka supaya segar, aku lebih asyik memandangi dinding di seberangku; memikirkan banyak hal selagi menunggu ngengat pengganggu alias Bang Ghani datang.

Liburan seperti ini memang sering kuhabiskan untuk hal-hal yang tidak penting. Kalau kalian bertanya kenapa aku tidak memilih liburan di luar kota seperti kebanyakan teman-temanku, jawabannya adalah karena Bang Ghani tidak mau repot mengurusku yang mempunyai semacam trauma terhadap pesawat terbang. Sebenarnya bisa saja jika kami menempuh perjalanan dengan mobil, tetapi hal itu tidaklah efektif mengingat sepanjang liburan ini abangku harus disibukkan merevisi skripsinya.

Klek.

Suara pintu terbuka membuatku berjengit di tempat. Seharusnya aku sudah terbiasa, tetapi karena tadi melamun, aku jadi sangat kaget. Di luar itu, Bang Ghani memang selalu memasuki kamarku sesukanya dan itu tidak dibenarkan.

“Abang! Dibilang ketuk dulu pintunya kalau mau masuk!” protesku.

Bang Ghani hanya cengengesan tidak jelas. Dia benar-benar menyebalkan. “Ada orang yang mau ketemu kamu, tu,” ujarnya memberi tahu. “Dia ngaku kalau dia teman kamu.”

Hem.” Aku hanya berdeham, enggan menyahuti dengan kata-kata. Palingan dia menipuku lagi seperti beberapa hari yang lalu.

“Eh, tapi masa bawaannya sedan merah? Padahal masih SMA. Mampus, kayaknya anak orang kaya dia.”

“Terserahlah, aku nggak percaya,” sahutku malas, kemudian menarik selimut dan menyembunyikan sekujur tubuh ke dalamnya.

“Oh, ya udah kalau nggak percaya,” putus Bang Ghani. Dia lantas berlalu setelah menutup pintu kamarku.

Sepeninggal Bang Ghani, aku mulai berpikir di dalam selimut. Tumben sekali dia menyerah untuk mengerjaiku. Biasanya dia tidak akan berhenti sampai aku termakan jebakannya. Abangku itu selalu ingin aku bangun lebih pagi dan tidak bermalas-malasan di kamar. Dia seperti ibu-ibu indekos yang rempong.

Klek.

Pintu kamarku kembali terbuka beberapa saat kemudian.

“Orangnya nggak mau pergi, Dek,” adu Bang Ghani.

Aku tidak meladeni, lagi-lagi hanya berdeham di dalam selimutku.

“Ayo dong, keluar dulu. Abang nggak bohong nih, serius.”

Demi mendengar suaranya yang sok meyakinkan itu, kepalaku akhirnya menyembul dari balik selimut. Baiklah, aku akan menuruti permainan Bang Ghani hari ini. Kalau dia berbohong lagi, aku akan mogok makan sehari penuh.

Setelah melepaskan selimut yang melingkupi tubuh, aku beranjak keluar dan dengan sengaja menerobos tubuh bongsor yang menghalangi jalanku. Terdengar sungutan tidak terima dari Bang Ghani, tetapi aku tidak menghiraukannya. Kakiku sudah menapaki satu persatu anak tangga untuk menuju ruang tamu.

Crush on Mr. Zero ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang