AKHIR pekan telah tiba. Biasanya aku menghabiskan waktu-waktu seperti ini dengan bersantai ria, melepas penat sehabis bersekolah. Sepanjang hari, yang kulakukan hanyalah berbaring di kamar sambil membaca buku, sesekali ke ruang tengah untuk menemani Bang Ghani menonton tayangan kartun favoritnya. Namun, hal itu selalu terasa membosankan.
Entah beruntung atau tidak, aku tiba-tiba teringat janji dengan Mr. Zero tempo hari. Cowok itu mengaku ingin mengajakku jalan-jalan dan mengambil banyak foto berdua untuk kemudian dipajang di dasbor mobil. Aku tentu tidak bisa menolak ajakan itu. Apa pun yang keluar dari mulutnya, aku selalu menerimanya tanpa berat hati.
Mr. Zero berbeda dengan Kak Juna—maksudku berbeda yang tidak benar-benar berbanding terbalik. Aku selalu merasa kecil di hadapan Kak Juna dan tidak pernah bisa menolak titahnya karena dia memiliki tatapan yang cukup mendominasi. Namun, Mr. Zero amat berbeda. Dia selalu berkata apa adanya dengan suara rendah dan itu seolah menjadi kelemahanku. Rasanya seperti ... aku tidak tega membuat hati kecilnya terluka atas penolakanku.
Omong-omong soal Kak Juna, hari ini dia mendatangi rumahku. Kemarin dia sudah membicarakan semua permasalahan kami pada Bang Ghani dan aku pun sudah memaafkannya. Abangku sempat memberikan satu tinju pada Kak Juna meski lama-lama luluh juga. Kak Juna berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya dan Bang Ghani akhirnya setuju untuk memaafkannya.
Sayangnya, dengan berat hati aku tidak bisa menerima kehadiran Kak Juna sepagi ini. Aku sedang menunggu Mr. Zero dan tidak mau Kak Juna membuat rencana kami jadi urung. Oleh karena itu, usai berdandan dan bersiap-siap menunggu jemputan dari Mr. Zero, aku langsung ke ruang tamu untuk menemui Kak Juna. Dia terlihat berbicara akrab dengan Bang Ghani saat aku tiba di sana.
“Selamat pagi, Cal,” sapa Kak Juna ramah.
Aku hanya tersenyum canggung dan hendak mendudukkan diri, tetapi Bang Ghani menginterupsi dengan memberikan tempat duduknya padaku. Aku hanya menurut dan mengambil posisi di sebelah Kak Juna, sementara abangku beralih duduk di sofa kecil. Tentu saja Bang Ghani memaklumi hubungan kami yang retak dan ingin membantu memperbaikinya.
“Kamu mau ke mana? Kok udah cantik begini?” tanya Kak Juna setengah berbisik. Suaranya tidak lagi terdengar menyebalkan di telingaku. Entahlah, dia benar-benar berengsek. Setelah membuatku luluh dengan permintaan maafnya, aku malah semakin tidak ingin melepasnya.
“A-aku ada janji sama temanku, Kak.” Aku menjawab patah-patah, takut dia akan tersinggung.
Kak Juna memicingkan mata. “Bev, ya?” tebaknya. Aku memilih diam karena tidak bisa mengelak. Kupikir emosi Kak Juna akan tersulut saat mendengar nama itu. Namun, aku salah. Dia justru tersenyum kecil sambil mengusak rambutku penuh sayang. “Nggak pa-pa kok kalau benar kamu mau jalan sama Bev. Kakak nggak akan keberatan. Seperti yang kamu bilang, kalian cuma teman, kan?”
Aku mengangguk kecil sambil menundukkan kepala. Ya Tuhan, aku merasa sangat bersalah pada Kak Juna sekarang. Apakah dibenarkan untuk berjalan dengan orang lain saat pacarku ada di sini?
Kudengar helaan napas berat milik Bang Ghani. Dia akhirnya bangkit dan menepuk pundak Kak Juna. “Selamat berbucin ria, Jun. Gue nggak akan maafin lo kalau lo bikin adik gue kecewa sekali lagi.”
Kak Juna mengangguk sambil mengulas senyum sopan. “Makasih, Bang.”
Kemudian, Bang Ghani berlalu dari hadapan kami. Aku baru menyadari dia sepengertian itu untuk meninggalkan kami berdua.
Seberlalunya Bang Ghani, Kak Juna memberanikan diri meraih tanganku. Ditautkannya jemari kami, membiarkanku merasakan dingin telapak tangannya untuk beberapa saat. Lalu, dia menutur pelan, “Kamu mau kan lupain masalah yang kemarin? Kakak janji nggak akan mengulangi kesalahan kayak gitu lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush on Mr. Zero ✓
Novela JuvenilPada awalnya, aku sangat memusuhi Mr. Zero. Tidak ada alasan untuk tidak menjadikannya musuh. Pertama, dia telah menyabet peringkat pertamaku di sekolah. Kedua, dia telah menganggap remeh diriku. Ketiga, setiap melihatnya, aku selalu tahu ada p...