○ 1. Peringkat Paralel ○

2.9K 311 40
                                    

HARI ini, atmosfer terasa panas saat kulihat peringkat paralel yang tertera di mading sekolah. Namaku berada di urutan kedua untuk kelas 11 dan aku sangat menyesali itu. Aku sudah belajar bersungguh-sungguh sebelum ujian semester ganjil kemarin. Saking totalitasnya belajar, aku sampai meminta Kak Juna, pacarku, untuk tidak menghubungi dulu sampai masa ujian berakhir.

Dan detik ini, diriku seperti ingin meledak saat melihat Mr. Zero berjalan tanpa dosa di sepanjang koridor. Aku menggeram dengan tangan terkepal. Dalam situasi seheboh ini, bisa-bisanya dia terlihat setenang itu. Apakah dia tidak tahu kalau orang-orang sedang rusuh menggosipi namanya yang notabene menempati posisi pertama dalam daftar peringkat paralel kelas 11?

“Hei, Mister Zero!” panggilku, berjalan mendekatinya.

Mr. Zero langsung menghentikan langkah dan menoleh. Seperti biasa, lagaknya terlihat santai dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Dia menatapku dengan alis terangkat, penuh permusuhan. “Apa? Kamu mau komplain karena nama saya ada di atas kamu? Makanya belajar, jangan pacaran melulu.”

Satu hal lagi, Mr. Zero itu memang bermulut lemas, persis yang kukenal semasa SMP. Tidak heran jika setiap mengobrol dengannya, aku selalu gemas untuk menjejali mulutnya dengan cabai rawit. Sungguh, selain frontal, ucapannya juga pedas dan menembus ulu hati.

“Kamu sebenarnya sengaja, kan? Kemarin-kemarin kamu selalu mengalah sama aku, tapi sekarang kamu terlihat lebih ambisius. Apa-apaan itu? Peringkat satu paralel? Hah! Semua orang pasti berpikir ini nggak murni. Semester kemarin kan kamu keluar dari sepuluh besar. Dan peringkat satumu ini, ah, aku dan semua orang sedang meragukannya.”

“Ya, ya, pikirkan saja semuanya sesuka kamu. Yang jelas, saya tidak seperti apa yang ada di pikiran kotormu itu. Saya pergi dulu.”

Selepas itu, Mr. Zero beranjak dari hadapanku. Cara berjalannya masih saja terlihat songong seperti tidak ada hal serius yang terjadi. Bisa-bisanya dia berlagak sesantai itu setelah membuat emosiku tersulut seperti ini. Kenapa sih harus ada manusia sejenis dia? Dasar menyebalkan! Errr!

“Calista?” Suara tipis seseorang terdengar memanggilku. Aku segera tahu itu adalah Kak Juna. Maka, senyum pun terbit di wajahku saat menolehkan kepala padanya. “Gimana hasilnya?”

Kak Juna memang selalu to the point. Dia tidak pernah berbasa-basi menanyai kabarku bahkan setelah kami tidak berkomunikasi selama hampir dua pekan. Ah, betapa aku merindukan lelaki ini.

“Jangan jawab dulu, deh. Ayo, temani Kakak lihat mading angkatan kamu.” Kak Juna tanpa komando meraih tanganku, lantas membawaku menuju papan besar yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Papan itu memuat berbagai headline yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Orang-orang akrab menyebutnya sebagai majalah dinding atau mading.

Setiba di sana, kepalaku menunduk seiring dengan mata Kak Juna mulai menjelajah pada setiap headline. Sampai pandangannya jatuh pada kertas berisikan daftar peringkat paralel untuk kelas 11, sebuah senyum terbit di wajah tampannya. Namun, aku tidak sempat melihat itu karena telanjur menunduk, berkecil hati.

“A-aku—” kataku terbata, “—kayaknya belajar aku kurang maksimal, Kak.”

Kurasakan tangan Kak Juna menggenggamku semakin erat. Lalu, tanpa berkata-kata, satu tangannya lagi menangkup daguku. Aku akhirnya mengangkat kepala dan menatapnya yang jauh lebih tinggi. Kami telah jadi pusat perhatian sekarang. Aku tidak tahu Kak Juna menyadarinya atau tidak. “Kata siapa? Kamu udah berusaha, kok. Kakak selalu tahu itu.”

Crush on Mr. Zero ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang