“BAIKLAH, kita langsung saja karena semuanya sudah berkumpul.”
Ayah membuka pertemuan antar keluarga dengan kalimat itu. Aku dan Kak Juna yang baru tiba kurang dari sepuluh menit—dan sempat berbasa-basi bersama Bunda—hanya mendengarkan dengan saksama. Bunda di sebelahku segera memegang tanganku untuk mendistraksi atmosfer tegang saat Ayah angkat bicara.
“Teruntuk Nak Ghani,” Ayah menujukan manik tajamnya—yang persis Kak Juna—pada Bang Ghani, “atas nama Juna, kami meminta maaf yang sebesar-besarnya karena anak kami sudah mengkhianati kepercayaan Nak Ghani.”
Abangku termenung sejenak. Aku tahu cukup berat baginya untuk memaafkan Kak Juna seperti yang diminta Ayah. Dia sangat menyayangiku, jadi tidak mudah bagi seseorang yang sudah mengecewakanku diterima begitu saja di hatinya.
“Ketahuilah, Juna masih belum dewasa sejauh ini. Hal itu disebabkan kesalahan kami sendiri yang terlalu menekannya untuk menjadi yang terbaik,” terang Ayah. Aku tahu dia tidak bermaksud memojokkan Bang Ghani dengan suara tipis dan tatapan tajamnya, tetapi—sekali lagi—dia sangat mirip dengan Kak Juna yang mampu mendominasi setiap situasi. “Maka dari itu, tolong maafkan kami sekeluarga. Ayah tidak ingin masalah ini membuat hubungan kita merenggang, karena demi apa pun, kami sudah menganggap kalian seperti keluarga sendiri.”
Ayah terdengar tulus. Sangat tulus, hingga akhirnya aku menyadari bahwa raut muka Bang Ghani berubah sendu mendengarnya. Topik keluarga adalah hal yang sensitif bagi kami berdua. Sama sepertiku, hati Bang Ghani pasti tersentuh mendengar pengakuan Ayah.
“Itu benar, Nak Ghani.” Bunda akhirnya angkat bicara dengan suara lemah-lembutnya. “Juna selalu mengatakan betapa pengertiannya Nak Ghani sebagai seorang kakak. Juna, seorang anak tunggal yang merasa memiliki ikatan spesial dengan orang lain. Itu adalah Nak Ghani. Alih-alih menganggap Nak Ghani sebagai calon kakak ipar, dia justru menganggap Nak Ghani sebagai seorang kakak seutuhnya. Dan Bunda, lewat setiap cerita Juna, sudah menganggap kamu dan Calista seperti anak sendiri.”
Mendengar penuturan Bunda, Bang Ghani memerosotkan bahu. Dia terlihat lemah sekarang. “Terima kasih atas ketulusan Om dan Tante kepada keluarga saya. Jujur, saya sangat terharu mendengarnya.”
Duh, kenapa abangku jadi terdengar melankolis, sih?
Bunda mengulas senyum keibuannya. “Tentu, Nak Ghani. Hubungan Calista dan Juna boleh jadi berakhir, tapi hubungan kekeluargaan yang kita bangun ini, tolong jangan sampai berakhir. Bunda berterima kasih karena dipertemukan dengan orang-orang tulus seperti kalian.”
Saat aku menoleh pada Bang Ghani, kusadari matanya mulai berkaca-kaca. Alih-alih sedih, aku justru tertawa di dalam hati. Aku enggan mengakuinya—karena Bang Ghani akan marah jika mengetahuinya, tetapi, sungguh, dia memiliki hati yang sangat sensitif.
“Bang Ghani.” Kak Juna memanggil pelan dengan suara tipisnya, meruntuhkan kebiruan suasana. Maniknya menatap teduh pada sepasang elang sendu milik abangku. “Aku mungkin kedengaran nggak tahu diri untuk memberikan pembelaan di sini, tapi aku ingin Abang tahu kalau sampai detik ini, aku udah nggak seberengsek dulu.”
Bang Ghani menegakkan kembali punggungnya mendengar pengakuan Kak Juna, terlihat sedikit tertarik.
“Sejak awal, alasanku mungkin nggak baik. Aku akui itu kekanak-kanakan untuk memacari Calista hanya karena aku dendam sama Bev. Aku juga salah karena mempertaruhkan dia untuk menantang diriku sendiri. Semua itu aku lakuin karena aku nggak rela melepas Calista, tapi di sisi lain aku juga nggak setega itu sama Bev. Aku minta maaf, Bang. Aku sayang sama adik Abang. Perasaan ini tulus dan nggak main-main.”
Aku tahu, dan kupikir Bang Ghani pun tahu. Aku percaya bahwa Kak Juna sangat menyayangiku dan perasaannya itu tidak main-main. Bahkan jika ditilik, kesalahan yang dilakukan Kak Juna hanyalah di awal dan tidak berdampak sampai saat ini. Dia sudah memperbaikinya dengan memberikan kasih sayangnya padaku. Dia memperlakukanku dengan sangat layak meski terkadang ada saatnya diriku dibuat kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush on Mr. Zero ✓
Teen FictionPada awalnya, aku sangat memusuhi Mr. Zero. Tidak ada alasan untuk tidak menjadikannya musuh. Pertama, dia telah menyabet peringkat pertamaku di sekolah. Kedua, dia telah menganggap remeh diriku. Ketiga, setiap melihatnya, aku selalu tahu ada p...