○ 32. Sebuah Lagu ○

712 117 6
                                    

My Bev ♡

| Selamat pagi, Tuan Putri.
| Sudah bangunkah?

Aku tertawa menerima pesan singkat itu. Bukan menertawakan isinya, melainkan nama yang tertera di sana. Pun, itu bukan ulahku untuk memberi nama seimut itu. Bev sendiri yang menggantinya di kontak teleponku tanpa sepengetahuanku.

Tidak mau berlama-lama, segera kuketikkan balasan untuknya.

Pagi, Mister. |

Selang tiga detik, Bev membalas. Dua pesan beruntun.

| Kok Mister? Mister Zero, ya? :<
| Omong-omong, saya ada di bawah.

Aku mendelik bingung. Di bawah? Bawah mana?

Dengan bodohnya, aku menengok ke kolong ranjang, tetapi tidak menemukan apa-apa di sana.

Sial, ini pasti bawaan bangun tidur. Jadi melindur, kan.

Begitu menyadari “bawah” yang dimaksudnya adalah ruang tamu—itu artinya dia mengunjungi rumahku yang notabene menjadi rutinitasnya setiap akhir pekan, aku pun bergegas bangkit dan mencomot sembarang cardigan. Aku belum mandi, tetapi tidak apalah. Bev pasti memaklumi jika ini masih tergolong pagi.

“Beeev!” seruku. Aku berlarian begitu tiba di mulut ruang tamu, bermaksud menghambur ke pelukan Bev, tetapi aksi itu tertahan saat kulihat Bang Ghani juga ada di sana.

Huuuh, dasar ngengat pengganggu.

“Belum mandi. Mandi dulu sana, gih!” omel Bang Ghani. Aku memberengut kesal menerimanya, sementara abangku memasang tampang sewot. “Beneran nggak mau mandi? Abang sama Bev mau pergi, nih.”

Dalam selintas, rautku segera berubah tertarik. “Pergi ke mana? Mau ikut, dong!”

“Ke supermarket. Abang mau belanja bulanan.”

“Oke, aku siap-siap dulu!” kataku penuh semangat, lantas berlarian meninggalkan ruang tamu dan menuju kamar untuk mandi dan bersiap-siap.

➖ oOo ➖

“Bang, aku mau nugget, ya?” Aku membawa sebungkus nugget dan menunjukkannya pada Bang Ghani yang tampak sibuk memilah-milih minyak goreng.

Abangku hanya mengangguk-angguk tanpa minat. Aku tersenyum puas menerimanya, lalu melangkah mendekati Bev yang berdiri tidak jauh dari Bang Ghani. Cowok itu kebagian jatah mendorong troli dan dengan wajah malu-malu kucing kumasukkan bungkus nugget-ku ke dalamnya.

Bev hanya mengedik geli melihatku. Kemudian, dia berbisik, “Di sini saja, jangan berkeliaran.”

“Iya,” sahutku.

Aku dan Bev mulai terlibat obrolan kecil selagi menunggu Bang Ghani selesai memilih minyak yang entah kenapa lama sekali. Kupikir jiwa akuntan abangku keluar. Bisa jadi dia sedang membandingkan kualitas dan harga masing-masing minyak. Ya ampun, ribet sekali, ya?

Ah, sudahkah aku mengatakannya? Bang Ghani mengambil jurusan akuntansi di kampusnya. Sekarang dia sudah semester akhir dan sedang menunggu waktu wisuda tiba. Namun, dia belum benar-benar bekerja di perusahaan Papa. Katanya sih, masih mau menikmati masa muda sampai kuliahnya kelar. Untuk sementara waktu, perusahaan dipercayakan Bang Ghani kepada Om Tian. Aku tidak tahu apa yang membuatnya sangat yakin pada pria tua itu. Mungkin saja karena almarhum papa kami juga sepercaya itu.

Crush on Mr. Zero ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang