“KAKAK dengar semuanya?” tanyaku pada Kak Juna. Akhirnya keberanian untuk membuka suara itu muncul saat kami telah melewati suasana hening selama beberapa menit sejak memasuki mobil.
Kak Juna menoleh sebentar padaku dan mengangguk. Dia kembali fokus menyetir setelahnya.
Rasa bersalahku seolah menyeruak usai mendapat respons singkat itu. Terlebih, wajah Kak Juna terlihat tidak bersahabat sore ini. “Maaf, Kak,” kataku melirih.
Lagi-lagi Kak Juna hanya melirik sekilas, terlihat enggan membalas permintaan maafku dengan kata-kata. Aku jadi takut jika dia kembali seperti dulu. Sejatinya Kak Juna adalah lelaki yang dingin dan irit berbicara. Hanya saja, akhir-akhir ini dia mengaku semakin sayang padaku. Aku sih percaya-percaya saja.
“Aku minta maaf, Kak. Seharusnya aku nggak memutuskan secara sepihak tadi,” ujarku terus terang. Aku tidak mau menerima perlakuan tak acuh Kak Juna lebih lama lagi. “Walaupun itu hak Bev untuk suka sama aku, tapi Kakak tetap pacar aku. Nggak semestinya aku bersikap baik-baik aja dengan rasa suka orang lain sementara aku masih punya Kakak di sini.”
Kali ini aku berhasil membuat Kak Juna tertarik. Dia segera menepikan mobil ke sisi jalan yang lengang. Aku hanya memperhatikan gerak-geriknya dengan penuh harap. Setelah mendistraksi diri dari kesibukan menyetir, Kak Juna menatapku datar selama beberapa detik. “Baguslah kalau kamu sadar,” ucapnya dingin.
Demi mendengar sepatah kalimat itu terlontar dari mulut Kak Juna, aku menelan saliva yang mendadak terasa pahit. “Aku minta maaf, Kak ...,” kataku rendah untuk yang kesekian kalinya.
“Kalau kamu merasa bersalah, kamu boleh temui Bev sekarang. Bilang sama dia untuk berhenti mengusik hidup kamu,” jawab Kak Juna. Matanya menyorotku tajam, terasa sangat menusuk dan seketika melenyapkan keberanianku. “Kenapa? Kamu nggak bisa?” tudingnya kemudian.
“Maaf, Kak ....” Aku hanya mampu mengulangi kalimat itu dengan suara mencicit. Kata-kata pembelaan yang seharusnya kuucap seakan hilang begitu saja dari benakku. Tatapan asing Kak Juna telah menyekak kepercayaan diriku sampai ke titik yang tidak pernah kubayangkan dan kurasakan sebelumnya.
Kak Juna menarik napas kasar dan membuangnya dalam satu embusan. Raut mukanya berubah dongkol mendengar suaraku yang seperti tikus terjepit. “Tentu aja kamu nggak bisa. Kamu pasti udah mulai suka sama dia,” cetusnya dengan yakin. Aku tersulut kaget, sementara Kak Juna justru menyunggingkan senyum sinis. “Kakak benar, kan? Dia pasti melakukan semuanya lebih baik untuk kamu daripada Kakak. Dia selalu siap kapan pun kamu butuh, nggak kayak Kakak yang melulu sibuk sama diri sendiri.”
“Kak Juna!” Aku menyergah tidak terima. Nyaliku seolah langsung kembali setelah mendengar kalimat penuh tuduhan dari Kak Juna. “Kenapa pikiran Kakak jadi negatif begitu, sih? Aku nggak pernah banding-bandingin Kakak sama Bev. Aku nggak pernah anggap dia sebagai siapa-siapa. Bagi aku, Kakak adalah satu-satunya. Aku cuma sayang sama Kakak—”
“Nonsens,” potong Kak Juna. Sontak saja uratku tertarik dibuatnya. Aku menggeram, menahan aksi mencakar udara yang biasa kulakukan saat terlampau kesal. “Kalau kamu mau membela diri, gunakan kata-kata yang lebih meyakinkan. Kamu kedengaran kayak cewek murahan.”
“APA?!” Aku memekik tidak terima. Suaraku terdengar amat nyaring di ruangan mobil ini sampai kupingku berdenging sendiri. Persetan dengan image-ku di hadapan Kak Juna sekarang. Dia benar-benar kelewatan.
“Apa perlu Kakak ulangi?” Kak Juna bertanya balik dengan songongnya. Wah, dia benar-benar mengajakku perang. “Rasanya itu udah cukup jelas. Buktinya kamu langsung marah saat Kakak bilang begitu. Apa kamu justru mengakuinya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush on Mr. Zero ✓
Teen FictionPada awalnya, aku sangat memusuhi Mr. Zero. Tidak ada alasan untuk tidak menjadikannya musuh. Pertama, dia telah menyabet peringkat pertamaku di sekolah. Kedua, dia telah menganggap remeh diriku. Ketiga, setiap melihatnya, aku selalu tahu ada p...