○ 14. Kilas Balik ○

686 138 9
                                    

BEGITU bel pulang berbunyi, aku dan Mr. Zero tidak langsung ke lab fisika. Kami lebih dulu pergi ke kantin untuk mengisi tenaga. Aku memang belum makan sejak pagi. Istirahat tadi juga tidak sempat kugunakan untuk sarapan karena menjenguk Mr. Zero di UKS. Omong-omong, Mr. Zero-lah yang pertama menyadari raut lesuku dan mengaku mendengar suara keroncong dari perutku. Aku tentu tidak bisa menolak saat dia menawari untuk makan di kantin bersama.

Kantin cukup sepi saat kami tiba, mengingat sekarang sudah jam pulang sekolah. Mr. Zero mengajakku menuju bangku bagian belakang dan duduk di sana. “Kamu mau makan apa?” tanyanya.

“Kamu sukanya apa?” tanyaku balik. Mr. Zero tampak bingung mendengarku. “Aku ikut kamu aja. Terserah mau makan apa. Aku suka semua makanan, kok.”

“Baiklah,” pasrahnya. “Saya pesan dulu, ya.” Setelah menerima anggukan dariku, Mr. Zero beranjak untuk memesankan makanan. Aku hanya memperhatikan langkahnya dengan saksama hingga tanpa sadar kedua ujung bibirku tertarik.

Tidak pernah ada di pikiranku untuk menjadi sedekat ini dengan Mr. Zero. Kupikir kami akan selamanya menjadi rival dalam persaingan sehat di sekolah. Aku dulu sangat membencinya karena cowok itu selalu menggangguku. Di mana pun aku berada, dia seolah menjadi bayanganku. Dia selalu menjailiku dengan berbagai tingkah polahnya yang random.

Waktu SMP, aku pernah kalah darinya sekali. Kami duduk di bangku kelas delapan semester genap dan saat itu adalah hari pembagian rapor. Mr. Zero meraih peringkat satu di kelas serta juara umum satu di angkatan kami. Aku? Tentu saja namaku berada di bawahnya.

Siapa sih yang tidak terima saat seseorang mengalahkanmu padahal kamu selalu merasa lebih baik dari dia? Ya, aku adalah orangnya. Terserah mau dikata ambisius atau bagaimana, yang jelas sehabis pembagian rapor hari itu, aku langsung menghampiri Mr. Zero dan meluapkan segala rutukan yang tertahan di dalam benak.

“Kamu itu apa-apaan, sih? Kamu segitu bencinya ya sama aku sampai nyabet peringkatku di kelas bahkan di sekolah? Ah, kamu pasti benar-benar benci sama aku. Semua orang iri sama aku, kamu pasti lebih iri lagi. Kenapa? Apa karena aku ini pintar dan disukai banyak orang? Sedangkan kamu, kamu itu cuma anak idiot yang kerjanya gangguin orang mulu. Dasar idiot! Errrr!”

Mr. Zero hanya diam saat dikatai sebrutal itu olehku. Waktu itu kupikir dia diam karena menganggap remeh diriku. Aku selalu benci dianggap remeh, jadi aku menangis dramatis di hadapannya. Anehnya, dia tetap diam dan menatapku, entah apa yang dipikirkannya.

Tangisku saat itu tidak kunjung reda bahkan setelah orang-orang mulai heboh mengerumuni kami. Sebetulnya aku tidak setersiksa itu. Aku hanya ingin membuat Mr. Zero sedikit merasa bersalah sehingga tidak lagi meremehkanku. Namun, aku tidak tahu bahwa hal itu justru membuatnya terluka begitu dalam di kemudian hari.

Lamunanku segera tersentak saat menyadari sebuah objek berjalan mendekat. Tidak lama, bangku kantin di hadapanku ditarik sehingga menimbulkan bunyi berderit yang mengagetkan. Aku yang sudah menangkap objek itu lebih dulu hanya mendesis tidak percaya. Aku sangat tidak menginginkan kehadirannya—setidaknya untuk saat ini.

“Kamu mau pulang bareng Kakak?” tanyanya. Untuk pertama kalinya, suara tipis dan datar itu terdengar menyebalkan di telingaku.

Aku memutar bola mata dengan malas. “Aku harus ke lab fisika buat latihan olimpiade,” jawabku seadanya.

“Kakak akan tunggu sampai kamu selesai,” balasnya kukuh. “Kamu mau ya pulang sama Kakak? Kita harus memperbaiki hubungan kita.”

“Apanya yang perlu diperbaiki?” tanyaku tertarik. Aku beralih menatapnya dengan sorot menuntut.

“Kita nggak bisa kayak gini terus. Kakak sayang banget sama kamu dan nggak mau kehilangan kamu. Tolong, Cal, kamu mau kan kasih kesempatan untuk Kakak? Kakak janji nggak akan bikin kamu sakit hati lagi. Kemarin Kakak cuma khilaf.”

Crush on Mr. Zero ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang