“BANG, pokoknya kalau Bev datang lagi, Abang langsung kasih aja restunya,” cetusku pada Bang Ghani. Kami sedang menghabiskan pagi di akhir pekan dengan duduk di ruang tengah, menonton tayangan kartun favorit abangku ditemani camilan berupa sereal jagung kesukaannya.
“Apaan, sih? Ngebet banget dipacarin sama Bev,” balas Bang Ghani sewot. Dia merogoh bungkus camilan lalu melemparkan satu butir sereal jagung hingga mendarat tepat di jidatku. Aku meringis dibuatnya. “Sekolah dulu yang benar, habis itu kuliah. Nggak ada pacar-pacaran untuk saat ini.”
Mendengar itu, kontan saja aku melemaskan tubuh sambil mengerang penuh rengekan. “Abaaang ....”
“Loh? Kamu nggak mau?”
“Kenapa pula aku harus mau?” sahutku setengah nyolot. “Aku kan suka sama Bev. Bev-nya juga cinta banget sama aku. Apa kami nggak boleh bersatu? Ini nggak adil. Benar-benar nggak adil.”
Oke, aku mulai meniru ucapan andalan Bev. Kuharap itu berhasil membuat abangku luluh.
“Boleh, tapi nanti.” Bang Ghani menjawab tenang. “Abang udah pikirin matang-matang soal restu Abang ke kalian. Bukan restu pacaran, tapi restu menikah.”
“APA? NIKAH? ABANG UDAH GILA—”
“Dih, dasar singa ngamuk,” potong Bang Ghani cepat, tetapi tidak meninggalkan kesan tenangnya. “Bev sendiri yang bilang, dia mau menikahi kamu kalau kalian udah lulus kuliah.”
“Iiih, itu kan masih lama.”
“Kalian bisa sahabatan dulu sampai waktunya tiba,” sahut Bang Ghani. Dia tidak terlihat keberatan dengan rengekanku.
“Abang nggak ngerti, sih. Kata Bev, nggak ada yang namanya sahabatan antara cowok sama cewek. Kami berdua jelas-jelas saling—”
Ding dong, ding dong ~
Baiklah, sepertinya aku harus mengutuk orang yang membunyikan bel tersebut sehingga membuat ucapanku terhenti.
“Kayaknya itu Bev,” duga Bang Ghani, berdiri dari duduknya untuk membukakan pintu rumah.
Benar juga, siapa lagi yang sudi mengapeli rumahku pada pagi hari di akhir pekan selain Bev Alnick tersayang.
Demi meyakini jika itu Bev, aku menarik kembali kutukanku di dalam hati. Kuambil posisi berdiri dan cekatan mengintili Bang Ghani menuju pintu rumah. Kuharap itu benar-benar Bev karena, sungguh, aku sangat merindukannya. Serindu itu, sampai hatiku meronta-ronta ingin bertemu dengannya.
Ya, ya, katakanlah aku berlebihan. Namun, siapalah yang tidak merindu ketika hampir satu pekan tidak bertemu dengan crush sendiri. Semenjak pulang dari rumahku setelah pertemuan antarkeluarga minggu lalu, Bev kembali membangun jarak di antara kami. Dia benar-benar ingin membuktikan pada Bang Ghani bahwa dia tidak pernah main-main.
“Selamat pagi, keponakanku.”
Ah, ternyata bukan Bev. Seharusnya aku tidak berharap lebih.
Dari suaranya, orang yang datang pagi ini sangat tidak sesuai ekspektasiku. Langkahku tertahan di tengah ruangan, menatap malas pada figur orang itu yang tertutupi oleh Bang Ghani.
“Ada apa Om ke sini?” tanya abangku lugas. Lupakanlah soal sopan santun terhadap tamu karena, hei, Om Tian bahkan menyosor begitu saja memasuki ruang tamu rumah kami.
Alih-alih menjawab pertanyaan Bang Ghani, Om Tian dengan angkuh melepas kacamata hitam yang dipakainya, lantas mengedarkan pandangan ke penjuru rumah kami. Lagaknya berwibawa sekali dengan setelan kemeja putih dibalut jas hitam, seperti seorang pimpinan perusahaan yang baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush on Mr. Zero ✓
Novela JuvenilPada awalnya, aku sangat memusuhi Mr. Zero. Tidak ada alasan untuk tidak menjadikannya musuh. Pertama, dia telah menyabet peringkat pertamaku di sekolah. Kedua, dia telah menganggap remeh diriku. Ketiga, setiap melihatnya, aku selalu tahu ada p...