“ABANG masih nggak mau cerita?” Aku bertanya untuk yang kesekian kalinya hari ini. Aku baru saja bergabung dengan Bang Ghani di ruang tengah. Abangku itu terlihat asyik menonton TV sambil sesekali mencomot sebungkus sereal jagung yang sudah disediakannya.
Bang Ghani mengalihkan fokus dari tayangan kartun favoritnya hanya untuk menoleh sinis padaku. “Apaan, sih? Dibilang nggak ada apa-apa.”
“Oke, aku nggak mau maksa lagi. Aku bakal cari tau sendiri. Pokoknya awas aja kalau ternyata Abang sembunyiin sesuatu dari aku!” balasku sewot. Lalu, aku beranjak dengan tidak santai dari hadapannya. Kakiku hendak melangkah meninggalkan ruang tengah tepat saat bel rumah kami berbunyi.
“Buka pintunya, Dek,” titah Bang Ghani. Dia memerintahku tanpa melihat pada wajahku. Hah, songong sekali.
Setelah mengentakkan kaki dengan kesal atas sikap semena-menanya, aku melangkah menuju pintu utama rumah untuk menyambut tamu yang datang.
“Selamat sore, Tuan Putri.”
Baiklah, seharusnya aku tidak kaget atas kehadiran tiba-tiba Mr. Zero hari ini. Dia sudah begitu sering muncul di depan mataku bahkan saat aku tidak mengharapkannya.
Ya, seharusnya begitu.
Namun, kurasa hari ini adalah pengecualian. Dia benar-benar mengejutkanku dengan sesuatu di tangannya yang hampir menutupi separuh badannya.
“Kamu tidak mau menyuruh saya masuk? Ini lumayan berat,” celetuk Mr. Zero.
Aku segera tersentak dari lamunan dan dengan kikuk membawanya masuk ke ruang tamu. Saat kami sudah sama-sama duduk, aku bertanya lugas, “Ada apa kamu ke rumahku?”
“Ah, saya dengar katanya kamu sakit. Saya ke sini untuk menjenguk kamu, lalu—” Mr. Zero menjeda ucapannya dengan menyerahkan buket bunga yang amat besar di tangannya padaku, “—saya bawakan ini untuk kamu. Semoga lekas sembuh, Tuan Putri.”
Aku menerima buket tersebut dan tertarik untuk memandanginya takjub. Ini sangat indah, demi apa pun. Walaupun aku tidak begitu suka dengan mawar, aku tidak akan memungkiri kalau pemberian Mr. Zero ini cukup membuatku tersentuh.
“Kamu suka?” tanya Mr. Zero. “Tentu, kamu pasti suka. Saya membelinya di toko bunga paling bagus.”
Yah, urung sajalah aku memujinya. Dasar lelaki berkepala besar.
“Makasih untuk bunganya, Mister,” kataku akhirnya. Kuletakkan buket besar itu di atas meja dan memandang Mr. Zero dengan menahan perasaan dongkol. “Tadi gimana di sekolah? Apa ada tugas dari guru hari ini?”
“Ada, dari Pak Adri,” jawab Mr. Zero.
“Oh ya? Tugas apa?”
“Sebentar.” Mr. Zero mengedepankan tas di punggungnya dan mengeluarkan sebuah buku dari dalam sana. Omong-omong, dia masih mengenakan seragam sekolah lengkap. Itu artinya, dia langsung ke rumahku sepulang dari sekolah. “Ini, kamu lihat sendiri,” ujarnya sembari menyerahkan sebuah buku tulis padaku.
Aku langsung menerimanya dan membuka benda tersebut. Mr. Zero tidak berbohong, Pak Adri memang memberikan lima soal untuk dijawab di rumah. Namun, Mr. Zero terlihat sudah menjawab semuanya. Aku menghela napas berat dan menutup buku tersebut dengan masygul. “Kamu mau aku nyontek, ya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush on Mr. Zero ✓
Teen FictionPada awalnya, aku sangat memusuhi Mr. Zero. Tidak ada alasan untuk tidak menjadikannya musuh. Pertama, dia telah menyabet peringkat pertamaku di sekolah. Kedua, dia telah menganggap remeh diriku. Ketiga, setiap melihatnya, aku selalu tahu ada p...