○ 23. Olimpiade ○

524 127 2
                                    

SUASANA sebelum dimulainya olimpiade besar itu terasa tegang. Teman-teman dari sekolahku berulang kali merapal rumus-rumus fisika yang sekiranya akan keluar dalam soal nanti. Berbeda halnya dengan Mr. Zero. Cowok itu tampak santai saja mendengarkan sesuatu di balik earphone-nya. Sementara aku? Jangan ditanya. Aku sudah keringat dingin sejak tadi. Selalu saja begini setiap kali aku akan menghadapi sesuatu yang besar.

Oleh karena itu, untuk mendistraksi perasaan tegang, aku memutuskan menjelajahi gedung besar tempat olimpiade berlangsung, sekadar melihat-lihat. Saat kakiku melewati sebuah tempat yang sepertinya adalah kantin, tanpa pertimbangan aku segera masuk. Kuambil satu botol air mineral dari salah satu kedai dan langsung membayarkannya. Beralih ke kedai sebelahnya, aku juga mengambil satu bungkus roti dengan harga terbaik.

Tidak, air mineral dan roti itu bukan untukku. Aku sudah melahap habis bekal dan minum buatan Bang Ghani dalam perjalanan ke sini tadi. Perjalanan kami cukup panjang dan rombongan sekolahku sudah makan di mobil, kecuali Mr. Zero. Kuperhatikan dia terus memejamkan mata sepanjang jalan dengan earphone tersumpal di kedua telinga. Aku berniat memberikan air mineral dan roti ini untuknya. Kuharap dia tidak menolak pemberianku.

Usai berkutat di kantin, aku beranjak menuju ruang karantina di mana teman-temanku dan Bu Anita berada sekarang. Namun, langkahku segera tertahan di pengujung anak tangga.

Lihatlah, dari kejauhan, sosok itu tengah berjalan menghampiriku dengan langkah tergesa. Siratan khawatir di wajahnya membuat darahku berdesir detik itu juga. Sepasang elang pekatnya menyorot netraku begitu intens. Aku benar-benar terpaku dibuatnya. Ketika dia sampai, yang kulakukan hanyalah mendongakkan kepala, menatapnya yang jauh lebih tinggi karena posisiku masih berada di undakan tangga teratas.

“Dari mana saja kamu? Semua orang panik mencari kamu. Ini bukan tempat kita, tolong jangan keluyuran seenaknya,” semprotnya. Namun, mau emosi apa pun yang tersirat saat mengatakan itu, suaranya tetap terdengar lembut di telingaku. Dia memang bukan tipikal orang yang bisa marah.

“Kamu khawatir sama aku ya, Bev?” tanyaku menggoda. Raut cemasnya yang perlahan berubah lega saat menemukanku itu tak urung membuatku gemas.

“Ini bukan saatnya untuk berbasa-basi. Kita harus segera kembali ke ruangan. Sebentar lagi babak penyisihan akan dimulai,” balasnya cepat. Kentara sekali jika dia sedang menghindar dari pertanyaanku. Namun, saat lensanya tidak sengaja menangkap kantong plastik di tanganku, dia memicing heran. “Itu makanan? Kamu lapar lagi?”

Aku turut mengalihkan pandangan pada kantong plastik yang dimaksudnya, kemudian ber-oh kecil. “Ini roti,” jawabku, kembali menatapnya dengan sorot bersahabat. “Aku beli buat kamu di kantin tadi. Kamu belum makan, kan?”

“Untuk saya?” tanyanya memastikan, kubalas dengan anggukan. “Tapi, saya tidak lap—”

“Udah, nggak usah gengsi,” potongku. Kutarik tangannya dan kuletakkan kantong tersebut di sana sehingga dia tidak punya alasan untuk menolak. “Kamu makan ya, Bev? Aku belinya pakai hati, kok.”

Mr. Zero melirik pada kantong plastik pemberianku. Detik berikutnya, dia mendesah pelan. “Iya, akan saya makan.”

“Sekarang, Bev,” kataku menuntut. “Aku temani kamu makan, ya?”

Akhirnya lelaki itu hanya bisa menghela napas berat dan mengangguk pasrah. “Kita bisa duduk di sana,” usulnya, menunjuk bangku panjang yang terletak di depan sebuah ruangan. Kami berjalan menuju bangku tersebut dan duduk bersisian di atasnya. Mr. Zero terlihat menggeser posisinya sedikit menjauh dariku, sementara aku hanya tersenyum tipis menyadarinya.

“Makan aja, Bev. Aku nggak akan ganggu,” ujarku.

Mr. Zero mengangguk dan mengeluarkan bungkus roti dari dalam kantong. Sejurus kemudian, dia sudah melahapnya tanpa melirikku. Dari gelagatnya, aku tahu bahwa dia sedang berusaha menghindariku.

Crush on Mr. Zero ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang