Tin memasuki sebuah restauran yang terletak di dalam sebuah mall. Dia celingak celinguk mencari sahabatnya yang ngajakin makan siang hari ini. Di sudut ruangan, Pete melambai heboh berusaha menangkap perhatian Tin. Tin akhirnya menoleh, berjalan santai ke arah Pete sambil tersenyum melihat partner makan Pete yang duduk anteng disebelahnya.
"Nempel mulu lo dua sekarang ya," sapa Tin nggak pake basa-basi. Dia duduk di depan Pete dan langsung ngambil buku menu.
Ae, yang duduk anteng di sebelah Pete, ngakak aja. "Kaya Can lo ya, ngegas mulu liat gue sama Pete."
Tin tersenyum mendengar nama Can disebut. "Bucin lo keluar cuman denger nama dia aja," Ae melihat senyum lembut Tin. "Heran gue kenapa Can bisa nolak bucin kaya lo, padahal lo itu tipenya dia, mantan dia kaya lo semua nih."
Tin cemberut mendengar Ae yang menabur garam di luka, perih. Kesal karna diingatkan gimana kisah cintanya kandas bahkan sebelum dimulai. Dia bisa aja punya kesempatan memiliki Can, mungkin mereka sekarang udah nikah kali ,kalau aja dulu dia nggak bego.
"Ya gue sadar diri ajalah, nggak mungkin dia mau sama gue sampai kapan pun," ujar Tin sedih.
"Lha, kok lo nyerah sih? Kan sekarang lo sama Can udah deket banget."
Pete menghela napas menatap Ae. "Ada alasannya Can nggak mau, Ae. Dan kita nggak bisa maksa Can."
"Emang apa alasannya?" tanya Ae penasaran.
"Biar Can ajalah yang cerita sendiri sama lo, gue nggak mau mendahului dia, pokoknya gue dulu pernah jahat banget sama dia."
"Gue kayaknya udah mulai nangkep deh," sahut Ae. "Can nggak pernah cerita secara spesifik sih, tapi dari dulu dia insecure banget soal penampilan, dia bisa stres milih baju di mall aja karna dia takut keliatan jelek sama baju pilihannya, padahal kan Can pake karung aja tetap bakalan kece kan?"
"Iya, dia mah mau diapain aja bakal tetap cakep," jawab Tin malah ngebucin.
"Makanya itu, gue suka heran sama dia, hobi banget dulu dia keluar masuk toilet buat nyisir rambut aja, kemana mana bawa kaca sama parfum kek anak cewek, udah gitu make kacamata di depan umum aja dia kaga berani, soalnya takut keliatan cupu. Padahal kalo dia pake kacamata imut banget, cowok-cowok di kampus meleleh semua liat dia gitu," Ae menghela napas, "Gue pernah tanya sih sama dia kenapa dia sampai begitu banget, tapi dia cuma bilang takut diledekin. Gue waktu itu langsung mikir kalo Can pasti pernah dibully soal penampilan makanya dia insecure gitu. Dan gue nggak salah kan? Dan ini semua ada hubungannya sama lo kan?" Tebak Ae.
Tin menunduk, merasa bersalah atas perlakuannya pada Can dulu. "Iya, gue yang udah bully dia, dan gue nyesal banget sekarang."
Ae tersenyum meledek, "wajar sih dia nggak mau sama lo sekarang, lo cuma mau sama dia setelah dia cakep aja."
Tin sontak menoleh pada Ae, "nggak gitu, Ae," ujarnya keras.
"Jadi gimana? Gue ngeliatnya aja kaya gitu, apalagi Can."
"Gue akui gue emang bego dulu, tapi gue nggak suka sama Can karna dia cakep, gue nggak peduli Can kaya apa tampangnya, gue suka Can karna dia Can, karna dia orang yang hebat dan gue salut sama dia."
Ae mengangguk, "lo udah bilang gitu sama Can?"
Tin menunduk lagi, makin sedih mikirin nasib cintanya, "nggak akan ngaruh juga, Ae. Dia udah luka dalem banget, gue nggak mau dia tambah sakit."
Pete menepuk tangan Tin, tersenyum sedih melihat temannya, sementara Tin tenggelam dalam pikirannya sendiri.
...
"Tin, pulang jam berapa?" tanya Can melalui sambungan telepon sore itu. Can melirik ke arah jam dinding, jam sudah menunjukkan pukul 16.00, sudah waktunya pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Legal Angle
RomanceCan, seorang produser acara TV yang tengah kesulitan menaikkan rating acaranya, bertemu kembali dengan cinta pertama yang dibencinya. Can tidak mau dekat-dekat lagi dengan si brengsek itu, tapi mungkin hanya Tin yang mampu membantunya menaikkan rati...