“Hai.”
Sapaku menusuri tangga menghampiri Liam yang menyaksikan Televisi di ruang tengah. Ia hanya menoleh sambil tersenyum manis ke arahku. Sungguh Liam yang kuinginkan.
“Tumben ke sini, ada apa?” Tanyaku yang tentu saja sangat senang dengan kedatangannya.
“Tadi sekalian lewat, gak enak juga kalau gak mampir!” Jawab Liam sambil menepuk sofa menyuruhku duduk di sebelahnya. Dengan senang hati Liam.
“Emang habis dari mana?”
“Dari gereja depan!” Jawabnya sambil menunjuk gereja di seberang jalan karena jaraknya sangat dekat dengan rumahku.
“Udah ke gereja?” Tanya Liam membuatku menjadi merasa bersalah, entah mengapa. “Ini kan bukan hari minggu?”
“Terus kenapa gak sekolah?”
“Kamu juga gak sekolah?”
“Tapi kan aku ke gereja?”
Aku menghela napas. Aku memang tak pernah menang berdebat dengan Liam. Kukira Liam datang ke sini untuk menyatakan perasaannya padaku. Ternyata hanya untuk menyuruhku pergi sekolah.
“Aku capek Li, kita kan habis manggung? Mana baru balik lagi!”
“Di sekolah kan kamu duduk, mau nyatet mau enggak terserah. Yang penting masuk! Sana mandi, masih ada waktu kok kita berangkat bareng!” Perintah Liam. Aku tak bisa melawan Liam, bagiku ia amat sangat bijak dan aku selalu melemah ketika aku berada di dekatnya. Biarlah.
*skip
“Ayo dong Mary, mumpung Harry gak ada!” Rayu Zayn sambil men-shimmy shimmy-ku. Aku menatap Liam, tapi ia sama sekali tidak melindungiku. Melirikku pun tidak. Mungkin ini hanya perasaanku yang berlebihan saja berpikir Liam juga menyukaiku.
“Udah lama tau gak!” Manja Zayn sambil menaruh dagunya di pundakku. “Iya ntar Zayn, gue capek!” Tolakku secara tidak langsung. Tiba-tiba..
Knock..
Knock..
Ah, siapa juga sih yang berkunjung tengah malam seperti ini? Jangan jangan polisi? Gawat!
“Ssshhh! Boys, beresin botol sama bungkusannya. Ada yang dateng! Cepet!” Perintahku. Louis, Zayn dan Niall sibuk membereskan semua sementara aku berjalan ke arah pintu.
Saat aku membuka pintu,
“Kamu yang bernama Mary?” tanya lelaki tua bangka itu, yang mencuri jatah cerminku kemarin. Ia pun membawa cermin cantik itu kedepan rumahku. Untuk apa? Menyombongkannya padaku? Ayolah.
Sebelum aku menanyakan apa maksud kedatangannya ke sini, Niall dan Liam menghampiriku.
“Siapa?”
Tanya Liam. Aku mengangkat kedua bahuku lalu menghadapi lagi lelaki itu.
“Iya saya Mary. Ada apa?” Tanyaku dengan sinis.. “Bukankah kamu yang kemarin ingin membeli cermin ini? Sekarang beli lah.. saya mohon!” Ucapnya bergetar seperti ketakutan diserang paranoid berlebihan. “Kenapa saya harus melakukan itu?”