15. Should We?

425 42 0
                                    

                “Jadi kalian ngumpulin kita di sini buat nanyain apa yang harus kita lakukan?”

                Tanya Zayn sambil mengangkat sebelah halisnya.

                Kami berkumpul di depan kamar Mary. Harry yang duduk tertunduk, Zayn yang menyenderkan sebelah bahunya di tembok. Niall yang berdiri tegap, Louis yang berjongkok sambil mengisap ganja yang tadi sempat di berikan ke Mary, dan aku yang berdiri di depan pintu kamar sambil memegang luka ku yang telah terbalut oleh perban. Karl masih di dalam mengobati luka Mary.

                Louis lalu mengangguk dengan yakin.

                “Mana kita tau.”

                Ujar Zayn. Lalu Niall melangkah melalui kami samil mengambil papan Ouija miliknya. Aku memutar kedua bola mata ku dengan bosan.

                “Kita mau melakukan ritual pemanggilan arwah. Gimana?”

                “Kita? Gue gak setuju!”

                Timbrung ku.

                “Ritual buat apa?”

                Tanya Louis mengepulkan asap sigaretnya.

                “Penyakit yang di derita Mary bukan penyakit biasa! Bahkan mungkin bukan penyakit!”

                Kata Niall. Aku langsung angkat bicara.

                “Lo gak usah sok tau Niall! Itu justifikasi lo aja!”

                “Mmm.. Ritual yah.”

                Ucap Zayn sambil mengetuk-ngetuk tembok dengan kuku telunjuk kanannya.

                “Pernah ada satu keluarga di Batavaria tahun Sembilan belas dua puluh enam. Mereka melakukan pemanggilan arwah. Sehabis pemanggilan arwah itu mereka semua menggila. Mereka membakar semua yang ada di dalam rumah mereka. Setelah habis dengan perabotan, mereka melanjutkan dengan membakar bayi perempuan berusia tiga tahun. Anak dari putri termuda. Sampai akhirnya seluruh warga menghentikan mereka!”

                Jelas Zayn membuat bulu kuduk ku seketika berdiri. Aku melirik jam sudah menunjukkan pukul Sembilan malam membuat suasana semakin mencekam.

                “Gak ada buktinya!”

                Sanggah Niall kekeuh dengan keputusannya.

                “Mungkin! Tapi, Niall sayang! Rumah sakit jiwa di dunia ini di penuhi oleh orang-orang seperti itu! Dan gue gak mau jadi salah satu dari mereka.”

                Balas Zayn. Louis angkat bicara.

                “Kalau itu memang yang terbaik buat Mary, kenapa enggak? Lebih baik akal sehat yang hilang daripada nyawa teman kita sendiri yang sebenarnya bisa kita selamatkan detik ini juga! Sebengal apapun kita, solidaritas tetap nomor satu! Gue setuju sama Niall, karena gue juga rasa ada sesuatu yang gak beres dengan sakitnya Mary ini. Kalau kalian gak mau bantuin Mary, silahkan pulang. Biar gue sama Niall yang kerja!”

                Tegasnya membuat kami semua bungkam.

                “Kenapa kita gak Tanya Harry aja? Gue rasa dia yang paling berhak memutuskan!”

Wrong ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang