Never Change - Part 10 : Gelisah

407 31 4
                                    

--------------------3am--------------------

"Hhyel..."

Subuh belum lagi datang, tapi Sivia telah terbangun dari tidurnya karena mendengar suara desahan di sampingnya itu. Ia menyalakan lampu di kamar itu dan menoleh ke sampingnya. Ify tampak mengigau dalam tidurnya. Sivia menatap Ify sendu, entah apa yang tengah sahabatnya itu mimpikan hingga tidur dengan begitu gelisahnya. Ia lalu mengusap pelan pelipis Ify ingin menenangkan. Namun betapa kagetnya ia justru merasakan panas yang tinggi disana.

"Ya ampun Fy," desah Sivia cemas.

Sivia mencoba meraba kening, leher dan tangan Ify untuk memeriksanya lebih jauh. Dan benar semuanya memang terasa panas. Wajahnya juga sedikit memerah dan berkeringat karena panas tinggi itu. Sebelah pipi Ify masih tampak sedikit lebih memerah akibat tamparan keras Gabriel tadi malam. Matanya yang terpejam tampak sembab dan bengkak. Apakah mungkin Ify semalam itu terus menangis dalam kebisuannya hingga ia tertidur? Sivia menatapnya sedih. Sepertinya sahabatnya itu telah begitu kepayahan, bukan hanya secara fisik namun juga mentalnya. "Bukannya sudah gue bilang, jangan nyiksa diri lo sendiri, Fy?" Benak Sivia dalam hatinya. Sivia menghela nafasnya, lalu merapatkan selimut Ify kembali. Ia kemudian bergegas ke dapur untuk mengambilkan kompres untuk Ify yang sepertinya telah terkena demam tinggi.

-------------------3am-------------------

Matahari telah bersinar terang menembus tirai kamar Sivia. Ify terbangun dan mengerlipkan matanya yang sayu. Ia merasakan nyeri di seluruh persendiannya. Perlahan lalu ia meraba keningnya yang masih tertempel kompres. Ia mencoba bangun, namun kepalanya langsung terasa berputar-putar dan matanya berkunang-kunang. Ia segera kembali tersandar ke atas bantalnya, dan memejamkan matanya untuk mengurangi pusing itu. Sivia yang baru saja memasuki kamar dengan membawa senampan makanan, segera menghampiri Ify saat meliatnya telah terbangun dan membantunya untuk rebahan kembali.

"Fy... Gimana lo?" tanya Sivia dengan begitu khawatir.

"Pusing," rintih Ify pelan.

"Lo mau minum?" tawar Sivia. Ify hanya mengangguk lemah. Sivia segera mengambil segelas air putih yang telah ada di sampingnya dan membantu Ify minum. Sivia menatap sendu Ify sambil kembali meletakkan kompres dingin ke atas kening Ify. Wajah Ify tampak begitu pucat.

"Badan lo panas banget. Pasti lo kecapean deh, dari kemaren malam sudah kurang istirahat sibuk nyiapin ulang tahun gue, terus tadi malam pulang hujan-hujanan," ucap Sivia khawatir. "Kita ke dokter ya Fy?" ajak Sivia. Tapi Ify menggeleng pelan. Sivia hanya bisa menghela nafas melihat penolakan Ify itu.

"Kalo gitu makan dulu ya? Terus nanti makan obat," Sivia bergegas mengambil bubur yang telah ia bawakan tadi, lalu menyodorkan sesendok bubur ke hadapan mulut Ify. Tapi Ify lagi-lagi hanya menggeleng.

"Ayo Fy, nanti tambah sakit," rayu Sivia lagi sambil terus berusaha menyuapkan bubur itu ke mulut Ify yang masih tertutup rapat. Setelah usaha penuh kesabaran Sivia, Ify akhirnya mau membuka mulutnya dan memakan bubur yang disuapkan Sivia kepadanya. Sivia tersenyum senang sahabatnya itu akhirnya mau menurutinya. Namun hanya sampai tiga suapan, Ify telah menolak lagi untuk makan lebih banyak.

"Ayo Fy, sesuap lagi ya?" rayu Sivia kembali. Tapi Ify telah menutup mulutnya rapat. Lagi-lagi Sivia hanya menghela nafas, lalu memilih menyerah.

"Ini obat yang lo suruh beli tadi, Vi... Lho? Ify yang sakit?" Tiba-tiba Rio memunculkan diri dari balik pintu dan ia langsung kaget saat melihat Ify yang terbaring lemah itu.

"Iya, badannya panas Kak," jawab Sivia sembari mengambil obat penurun panas yang baru saja dibeli Rio itu. Rio segera mendekati Ify dan ikut duduk di pinggir tempat tidur.

Never Change (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang