Never Change - Part 4 : Harapan

472 32 1
                                    

--------------------3am----------------------

"Maaf, saya tak mengenal anda. Mungkin anda salah orang"

"Mohon maaf Mbak, saya benar-benar tak mengenal anda. Maaf, disini daerah terlarang untuk orang luar. Silahkan keluar!"

Kata-kata kasar penuh penolakan itu terus bergaung di pikiran Ify. Dirinya tak pernah menyangka Gabriel bisa berubah sedrastis itu. Apa Gabriel telah benar-benar menghapus segala memori tentang mereka? Ify kini benar-benar tak tau lagi harus bagaimana menghadapi masalah ini.

"Ify!"

Ify tersadar akan lamunannya. Ternyata air sabun cuciannya telah meluber kemana-mana. Ify yang sadar telah dipergoki Sivia tengah mencuci piring sembari melamun, bergegas membereskan kekacauan yang diciptakannya itu. Sivia yang kini telah berdiri di sampingnya, menatap Ify heran.

"Ngelamunin apaan sih lo?" tegur Sivia. Ify tampak tak menggubris Sivia dan tetap meneruskan pekerjaannya dalam diam. Sivia terus menatap Ify dengan pandangan menyelidiknya.

"Fy... Lo kenapa? Cerita sama gue," tanya Sivia pelan, sembari mengusap lembut pundak Ify. Ify menghentikan pekerjaannya lalu sesaat ia terdiam menunduk. Helaan nafasnya terdengar dihembuskan begitu berat.

"Gue udah tau dimana Iyel," lirih Ify kemudian. Sivia sontak terbelalak mendengarnya.

"Yang bener Fy? Lo udah ketemu dia?" tanya Sivia lagi. Ify hanya perlahan mengangguk.

"Terus? Gimana Iyel sekarang?" tanya Sivia lagi lebih hati-hati melihat perubahan sikap sahabatnya itu. Ify hanya diam. Matanya kini kosong menerawang jauh. Memori-memori menyakitkan itu kembali mengikis ketegarannya. Dia tertunduk memejamkan matanya menahan segala dorongan menyakitkan itu keluar lagi menguasai raganya. Sivia yang mulai merasakan tanda-tanda melemahnya pertahanan sahabatnya itu, segera memeluk hangat. Dan Ify membalas pelukan itu erat. Sivia merasakan pundaknya agak basah kini. Rupanya airmata kesedihan itu telah pecah. Isak tangis yang tertahan terdengar pelan di telinga Sivia. Sivia semakin mempererat pelukannya.

"Fy, gue bakal selalu siap jadi pendengar lo, kok. Gue gak bakal biarin lo ngadepin masalah lo sendirian," bisik Sivia sembari mengusap lembut punggung Ify. Sivia kemudian melepaskan pelukannya dan menemukan wajah sembab sahabatnya itu. Perlahan Sivia mengusap pipi Ify, membantunya menghapus airmata itu.

"Berapa kali gue bilang dari dulu, jangan memaksa memendam masalah lo sendirian kalau lo sudah merasa berat. Gue pasti selalu siap kok bantu lo," nasehat Sivia.

"Maaf Vi. Gue... Gue cuma masih bingung dengan keadaan ini," lirih Ify. Sivia lalu menuntunnya untuk duduk di kursi makan di dapur itu. Lalu ia sendiri menggeser sebuah kursi untuk duduk tepat di hadapan Ify.

"Cerita sama gue. Kemana aja lo hari ini sebenarnya? Gue liat muka lo pucat banget sejak lo pulang tadi," tanya Sivia. Ify yang masih terisak kecil, mengatur nafasnya sesaat.

"Gue hari ini gak sengaja ketemu Pak Asdi. Dan beliau lah yang akhirnya nunjukin dimana Iyel sekarang. Dia sekarang kerja di pelabuhan," ucap Ify perlahan. Sesaat ia kembali terdiam, mencoba menyusun kata-katanya kembali di tengah putaran ulang memori menyakitkannya hari itu.

"Dan Iyel sekarang benar-benar beda, Vi. Dia bersikeras gak mau mengenalin gue. Padahal gue yakin, dia pasti tau betul ini gue. Gue liat sendiri betapa terkejutannya ia saat pertama melihat gue. Gue liat bagaimana rona wajahnya yang tiba-tiba berubah jadi dingin. Sakit rasanya melihat tatapan dinginnya, mendengar ucapan kasarnya, dan mendapat penolakan seperti itu dari Iyel. Gue kayak ngerasa gak bisa mengenali Iyel lagi, Vi...," cerita Ify sembari berusaha keras menahan laju emosinya. Ia kembali lagi menghela nafas beratnya.

Never Change (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang