Never Change - Part 18 : Tragedi

320 28 2
                                    

----------------3am----------------

Malam itu terasa sedikit lebih mencekam bagi Gabriel. Gerimis yang sempat singgah membasahi kota sebelumnya, membuat hawa terasa lebih dingin. Bintang pun sepertinya tak mampu bersinar menenangkan hatinya seperti biasanya karena masih tertutupi awan pekat. Gabriel menghembuskan nafasnya dan menyandarkan punggungnya di kursi kemudi mobil itu. Langit malam itu rupanya benar-benar mengikuti perasaan cemasnya saat itu.

Kini ia tengah menunggu orang yang sekarang menjadi bos besarnya serta sekaligus orang yang juga telah ia tandai sebagai musuhnya, Tuan Hassel. Mobil yang akan ia kemudikan sebentar lagi itu akan membawa mereka ke sebuah tempat dimana mereka telah merencanakan transaksi besar malam itu. Ya, sebuah transaksi besar yang begitu ia tunggu-tunggu untuk menyudahi beban berat dan rasa sakit hatinya selama ini.

Gabriel kini menatap sebuah benda yang tergolek kaku di tangannya. Itu senjata yang diberikan Tuan Hassel padanya pagi tadi dan setelah itu ia tak sedikit pun menyentuhnya lagi hingga malam itu. Dia memang sudah pernah diajarkan menggunakan barang itu. Tapi dia belum pernah sekalipun mencoba menggunakannya langsung di lapangan, apalagi untuk menembakkannya ke arah manusia lainnya. Jantungnya rasanya tiba-tiba menjadi berdebar, meletupkan perasaan takut sekaligus bergairah menyadari hal apa saja yang bisa ia lakukan dengan senjata itu.

"Jangan menyimpan dendam, Yel... Allah pasti selalu punya rencana yang lebih indah di balik ini semua. Sama seperti hidup kamu sekarang Yel, Papa yakin pasti kamu telah belajar banyak hal di luar sana."

Gabriel masih ingat betul pesan ayahnya dulu itu saat ia menunjukkan rasa kesalnya kepada orang yang telah menghancurkan bisnis ayahnya itu. Kini ia sudah mengetahui siapa yang menjadi dalang kehancuran kebahagiaan keluarganya itu. Dan orang itu juga kini telah mencoba menghancurkan hidupnya dengan menyeretnya ke lembah jahanam. Jadi bagaimana mungkin dia bisa terus mengabaikan rasa kebencian ini? Gabriel benar-benar tak tau sampai sejauh apa batas hatinya bisa terus mengikuti pesan ayahnya itu tuk menahan gejolak ini semua.

Gabriel mengusap logam dingin itu sesaat. Masih dengan sejuta pemikiran yang terus berterbangan di benaknya, ia lalu segera memasukkan kembali senjatanya ke kantong jaketnya. Saat memasukkan senjatanya itu, tersentuh olehnya sebuah logam bundar lainnya. Gabriel beralih meraih barang itu, dan menatapnya penuh sinar kelembutan di matanya. Itu cincin milik Ify yang selalu dikalungkannya di lehernya. Segurat senyuman tipis tergores di sudut bibirnya. Rasanya hanya dengan memandang barang milik orang yang begitu ia sayangi itu saja, hatinya bisa kembali tenang. Gabriel sesaat memandang langit malam yang masih muram itu. Gadisnya itu pasti kini telah aman berada di atas pesawat yang membawanya pulang ke Inggris.

Ify tak mengontaknya lagi sedikitpun selepas perpisahan mereka. Mungkin gadis itu terlalu sedih, sama seperti dulu saat dia pertama kali meninggalkan negeri itu, Ify juga memilih tak mengontaknya untuk menyimpan kesedihannya sendiri. Dan dirinya pun kini juga memilih melakukan hal yang sama dan mencoba bersabar menyimpan kerinduan itu. Gabriel tak mau menambah kesedihan gadis itu. Dirinya tau betul saat melihat gestur Ify tadi sore saat melepasnya, betapa beratnya gadis itu saat dipaksa harus meninggalkan dirinya sendiri di sini.

"Berjanjilah kamu takkan membahayakan dirimu sendiri."

Sesaat memejamkan matanya sembari menggenggam erat cincin itu. Permintaan terakhir gadis itu masih begitu melekat di ingatannya. Dan ia tau, ia akan segera mengingkari janjinya kini. Gabriel telah memilih untuk menyimpan rahasia besarnya karena ia sadar Ify pasti bakal semakin khawatir jika mengetahui rencana mereka malam itu. Gabriel jelas tak mungkin dan takkan mau melibatkan belahan hatinya itu kepada ancaman bahaya yang lebih jauh lagi.

'Maafkan aku Fy karena telah memaksamu meninggalkan ini semua. Maafkan aku karena aku harus banyak menyembunyikan rahasia darimu. Aku tau kamu sedih. Aku tau kamu khawatir. Aku tau kamu takut. Tapi ini semua untuk kebaikanmu. Karena keselamatanmu adalah yang terpenting bagiku kini. Aku takkan rela sedikitpun jika ada yang merengut segala keindahan di dirimu.'

Never Change (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang