Love in Rain [ZilFre]

1.5K 97 59
                                    

Titisan rintik air terus berjatuhan dari langit. Aku berdiri di bawah beranda warnet di belakangku. Menunggu hujan berhenti.

Namun, tidak lama kemudian hujan semakin lama semakin deras. Aku yang berdiam diri sambil meneduh dari hujan hanya memandang cemas gedung sekolahku di seberang jalan masuk ke dalam gang. Murid-murid yang tidak kukenal membuka payungnya dan meninggalkanku sendiri disini.

Terdengar suara denting pesan dari LINE. Aku merogoh saku rok biruku dan meraih ponsel pipih di tanganku. Rupanya temanku bertanya mengapa aku belum datang.

Sedang meneduh, pikirku sambil mengetikkannya.

Odette membalas.

Untung aja hujan deres. Hari ini kelas free. Guru-guru hari ini pada gak masuk.

Aku mengerutkan keningku. Ajaib. Biasanya para guru kan sering masuk mau itu hujan atau panas. Mungkin kebanjiran kali ya?

Aku tidak menghiraukan pesan temanku dan memasukkan ponselku ke dalam saku rokku lagi. Walaupun guru tidak datang, itu tidak bisa jadi jaminan kalau dia mengirim tugas kan? Saat ini yang kuinginkan adalah sampai di sekolah. Karena perasaanku sangat gelisah jika berada di luar sekolah ketika waktu menunjukkan pukul 7 lewat.

Katakanlah aku rajin, itu karena aku dibiasakan tepat waktu datang ke sekolah.

Hanya hari ini saja aku datang terlambat karena terlalu asyik menonton sampai larut semalam. Akhirnya tadi pagi aku kesiangan dan bergegas pergi tanpa sarapan sambil meraih jaketku. Teringat aku ingin membawa payung ketika melihat langit mendung, tetapi kemarin aku ke sekolah membawa payung ternyata tidak hujan membuatku merasa sia-sia membawanya. Pada akhirnya hari ini aku memilih tidak membawanya dengan dugaan tidak akan hujan.

Sepertinya penyesalan memang datang terlambat.

Aku menghembuskan napasku. Muram. Aku kesal sekali. Untung saja aku membawa sandal—untuk berjaga-jaga kalau hujan tiba-tiba karena bulan ini musimnya hujan tak menentu—agar sepatuku tidak basah.

Aku melirik jam tanganku lalu menghela napas lagi. Sudah jam setengah 8. Aku semakin khawatir. Tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Aku menunduk dan melihat jaket hitamku yang kupakai.

Apa aku nekad aja ya?

Terakhir aku nekad hujan-hujanan itu ketika aku kelas 7 dan berakhir di atas ranjang yang membuat mamaku mencak-mencak melihatku sakit.

Oh, sudahlah. Hitung-hitung kenangan untuk kelas 9, sepertinya aku perlu sedikit 'berlibur' dari sekolah. Aku tersenyum dan menganggap ideku bagus. Aku melepas jaketku dan meletakkannya di atas kepalaku. Aku tak perlu mengkhawatirkan tasku yang basah karena ranselku memiliki pelindung hujan khusus.

Setelah menyiapkan diri, aku langsung menerjang hujan sambil menutupi kepalaku dari hujan. Kurasakan jaketku mulai basah. Aku mempercepat jalanku menuju gedung sekolahku yang mulai terlihat. Jalanan becek kulalui sampai rokku basah. Aku berdecak dan memilih tak menghiraukan seragamku yang mulai basah, langkahku terus kupercepat.

"Freya!"

Aku berhenti berjalan ketika mendengar namaku dipanggil. Eh, tapi bener ada yang manggil aku engga sih? Aku mengangkat bahuku dan melanjutkan langkahku. Mungkin hanya perasaanku.

"Freya!!"

Kini aku yakin ada orang benar-benar memanggilku, aku menoleh dan mendapati cowok berbadan tinggi dengan kacamatanya berjalan tenang menggunakan payung dalam jarak agak jauh. Aku mengangkat alisku dan sontak jantungku berdegup kencang.

Aku mengalihkan pandanganku. Itu beneran dia bukan sih? Aku kembali melirik dan pipiku sontak memanas mendapati teman sekelasku semakin mendekat.

"Apa?" sahutku berusaha menetralkan suaraku yang gemetar karena menahan lonjakan senang mengetahui ternyata orang yang memanggilku adalah Zilong. Dia melewati becekan itu sedikit menunduk, ia menatapku dengan mata tajamnya yang membuatku gugup.

Oneshots (MLBB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang