Bab 3 : Reuni

37 2 0
                                    


Malam kelam dan tenang sudah terlewati; pagi yang dingin telah menanti. Saat fajar mendekat, terdengar suara ketukan pintu. Suara itu sangat keras sampai-sampai membangunkan Sarah yang sedang bermimpi indah. Matanya masih mengantuk, tetapi Sarah tetap menyapa sang tamu.

Itu adalah dua Alchi yang datang sebelum waktunya, mereka berseragam biru lengkap dengan senapan dan pedang. Salah satu dari mereka adalah Yari, pria berusia 27 tahun, berkumis dan berjanggut tipis, dan berambut hitam keriting panjang. Dan temannya, Herman, pria tua berjanggut putih panjang yang tampak penuh pengalaman.

"Sepertinya kalian terlalu cepat datang kemari," kata Sarah. "Bukankah nanti siang acaranya?"

"Yah, memang acaranya nanti siang," kata Yari. "Tapi kami mempersiapkan segalanya terlebih dahulu agar tidak berantakan."

"Mungkin ada yang bisa kubantu?" tanya Sarah.

"Tidak ada, anda tidak perlu membantu," kata Herman. "Kami hanya ingin meminta izin untuk mendirikan tenda di samping rumah, bolehkah?"

"Tentu saja boleh, tapi jangan rusak pagarnya," kata Sarah.

"Terima kasih. Semoga harimu menyenangkan," kata Yari.

"Pasti," kata Sarah sambil merapatkan pintu, lalu naik ke lantai atas untuk berusaha bermimpi kembali.

Sementara itu tidak jauh dari rumah, lusinan Alchi sedang menunggu kabar dari Yari dan Herman. Beberapa dari mereka yang membawa makanan, minuman, dan peralatan pesta dengan kereta kuda.

"Hei, di mana Jesper?" tanya Yari kepada salah satu Alchi.

"Sepertinya dia agak terlambat. Katanya dia sedang mengidentifikasi mayat yang berguguran di sekitar Dinding Xela."

"Oke, semuanya, kita akan mulai di sini," kata Herman. "Aku akan membagikan tugasnya kepada kelompok yang sudah dibentuk sebelumnya. Kelompok Angisa mengurus makanan, kelompok Weru mengurus kuda-kuda, kelompok Sayutari mendirikan tenda, dan kelompok yang tidak disebutkan harap membantu."

Para Alchi sudah terbiasa dengan kerja keras; mendirikan sebuah pesta sempurna dalam waktu singkat bukanlah hal yang besar untuk mereka. Langit cerah dan udara lembap, memperlancar semua pekerjaan mereka.

Dalam waktu singkat, meja dan kursi sejajar, hidangan tersedia, kuda-kuda terikat pada kayu yang ditancapkan ke tanah, dan tenda-tenda berdiri kukuh. Mereka berhasil melakukan itu semua sebelum matahari menampakkan dirinya. Hanya tersisa Marko saja.

Sementara itu, Andre masih tertidur dalam mimpi buruk yang sama semenjak pergi meninggalkan rumah. Ia memimpikan ibunya, Argareta Velanhar. Mimpi itu bercerita tentang ia yang berjumpa ibunya untuk yang terakhir kali di pemakaman neneknya.

Di dalam mimpinya, Andre bersembunyi di dalam lemari salah satu kamar karena diperintahkan oleh ibunya. Itu adalah jari telunjuk halus Argareta yang menempel di bibirnya untuk memerintahkan Andre diam. Senyum manis berderai air mata menjadi pemandangan terakhir sebelum pintu lemari ditutup.

Tidak lama kemudian, dua orang yang tidak dikenalnya masuk ke dalam kamar. Tanpa banyak bicara, mereka langsung menusuk perut dan punggung Argareta dengan pisau. Meskipun Argareta sudah merangkul diri dengan lantai, mereka terus menikamnya dengan sadis.

"Sepertinya dia sudah mati," kata salah satu penikam.

"Ayo, kita masih ada pekerjaan lain."

Kedua pria itu meninggalkan Argareta yang bermandikan darah. Gaun hitam mewahnya bersatu dengan merah. Sungai darah tercipta di bentang kamar; memancar ke segala arah. Andre menyaksikan semua itu dengan mata dan kepalanya sendiri, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena sangat takut.

Dua Sisi: Zaman Baru (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang