Menjelang siang, kabut yang merangkup danau sudah luput dari pandangan. Namun Lema masih gusar karena ditinggalkan Eli di pinggir danau dengan kaki membeku. Ia berang hingga bisa berkoar-koar sampai suaranya habis.
Ketika menjumpai gerombolan burung terbang di udara, Lema mencoba melampiaskan emosinya kepada burung-burung tidak bersalah itu. Dengan kekuatan batu Meratr, ia mengangkat semua besi—besi panjang yang digunakan untuk fondasi bangunan—di salah satu gerbong kereta, dan membaringkan besi-besi itu di sampingnya. Ia menunggu burung-burung itu hingga berada tepat di atas kepalanya, lalu melemparkan besi-besi panjang yang berdiameter kecil itu ke arah mereka. Mayat-mayat burung pun berguguran dengan besi terpasak di tubuh mereka. Lema tersenyum saat dirinya bermandikan kematian.
"Akhirnya ada yang bisa dilakukan di tempat sunyi ini!"
Sementara itu, di bawah air, di depan kereta yang sudah terjerumus ke dalam air terdapat Helena Sanderling. Wanita yang dulu pernah hidup untuk mendapatkan putrinya.
Suatu hari Helen pernah bermimpi tentang sebuah rumah mewah putih dengan kolam di dalamnya. Taman bunga tertata indah di samping kolam. Elio sedang memasak di pinggir kolam, dan Melodi sedang bermain dengan burung-burung merpati di taman dekat air mancur. Helen baru bangun dari mimpi buruknya. Ia membuka jendela dari kamarnya di lantai dua, dan melihat orang-orang tercintanya masih hidup di bawah.
Helen tidak bisa berbohong kepada dirinya sendiri bahwa ia masih sangat merindukan mereka yang telah hilang. Maka dari itu, ia segera turun dan menemui mereka. Di tengah jalan, ia berpapasan dengan Anbar yang sedang menatapi tungku perapian. Dia, yang basah kuyup sambil menceteng payung, sedang duduk menikmati hangatnya api di ruang tamu. Kulitnya pucat, sekitar matanya terdapat lebam hitam, dan bibirnya pecah-pecah. Anbar seperti mayat.
"Aku kedinginan...," kata Anbar mengeluarkan uap dari mulutnya.
"Maafkan aku," kata Helen. "Maaf, aku tidak dapat menolongmu,"
"Mengapa kau tidak mau menolongku?" tanya Anbar saat mendekati Helen. "Mengapa kau mencoba melupakanku?"
"Aku mencintai mereka lebih dari apa pun, bahkan aku mau menyerahkan seluruh hidupku untuk mereka," kata Helen sambil membuka jendela untuk melihat Elio dan Melodi di taman. "Aku tidak bisa berbohong kepada diriku sendiri. Aku sangat merindukan mereka,"
"Mereka sudah tidak ada," kata Anbar sambil memegang tangan Helen. "Aku nyata dan hidup. Kau harus menyelamatkanku,"
"Jika mereka sudah mati, aku lebih memilih mati daripada hidup penuh dengan penyesalan," kata Helen sambil mencampakkan tangan Anbar. "Mati supaya kubisa bersama dengan mereka lagi."
Helen pun keluar untuk bergabung bersama dengan suami dan anaknya. Namun ketika merapatkan pintu dan membalikkan tubuhnya, ia tidak mendapati Elio dan Melodi. Ia hanya melihat sebuah kuburan Elio di taman. Kuburan itu sama seperti di rumahnya, di dalam hutan.
Sambil menitiskan air mata, Helen melangkah menuju kuburan itu dengan tertatih-tatih. Setelah sampai di kuburan, ia bersujud dan berkata, "Maaf, aku tidak dapat menyelamatkanmu dan juga Melodi,"
Ketika berpaling ke belakang, Helen menjumpai Melodi sedang bermain di air, hanya kakinya saja yang masuk ke kolam. Anbar yang bergaun sama dengannya perlahan mendekati Melodi.
"Apa kau takut kehilangan, lagi?" tanya Anbar.
Tiba-tiba, Anbar menceburkan dirinya ke kolam bersama dengan Melodi. Helen segera berlari dan langsung melompat ke kolam. Kolam itu sangat dalam hingga tidak terlihat dasarnya. Helen menemukan Melodi sedang meminta tolong. Anbar tidak bersamanya lagi, tetapi seorang pria berjubah hitam menggandeng Melodi menuju kegelapan di dasar kolam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Sisi: Zaman Baru (TAMAT)
خيال (فانتازيا)Di suatu jajaran vana (istilah untuk planet-planet) yang lain, hiduplah dua sosok legendari yang disebut Adam dan Hawa. Jika keduanya "dinikahkan", pihak ketiga yang mempersatukan mereka berdua memiliki satu permintaan bebas. Andre Vellanhar dan Anb...