1872, hari ke-8, Tanah Barat Verdoras, Gunung Bratha.
Dengan Helen mengubah jalur, Anbar masih dalam perjalanan. Ketika Anbar bertanya mengapa, Helen selalu berkata mempunyai urusan yang sangat penting tentang Pejalan Waktu di puncak Gunung Bratha. Gunung Bratha sendiri berada di bagian barat Verdoras. Gunung itu hampir mendekati Dinding Albir yang membatasi Verdoras dengan dunia luar.
Di pagi yang penuh keputihan, mereka menapak dalam badai salju yang sangat deras. Badai itu sangat lebat, bahkan Anbar tidak bisa memandang apa-apa selain Helen yang berada di depannya. Ia belum siap menghadapi dinginnya gunung walaupun sudah mengenakan mantel tebal yang Helen beli dari pejalan kaki di bawah gunung.
Mereka melangkah di salju setinggi paha. Karena salju itu pula, mereka tidak menemukan tanda-tanda kehidupan di sekitar. Mereka juga tidak bisa memandang cerahnya langit biru atau merasakan panasnya matahari. Semuanya terselimuti benda putih.
Setelah sekian lama berjalan, akhirnya suatu kehidupan muncul. Itu adalah sebuah pohon besar yang menghalangi derasnya salju di depan Helen.
"Kita istirahat di sini!" kata Helen.
"Siapa sebenarnya temanmu itu?!" tanya Anbar. "Mengapa kita harus berjalan di tengah derasnya salju di Gunung Bratha?!"
"Aku sudah bilang," kata Helen. "Kita akan menemui teman lamaku untuk bertanya tentang Pejalan Waktu yang menyerang kita sebelumnya."
Sepertinya alam tidak membiarkan mereka istirahat di sana; pohon besar tempat mereka berteduh roboh seketika karena tiupan angin dan salju. Beruntung Helen dapat menghindar dan menyelamatkan Anbar tepat pada waktunya meskipun harus masuk bersama ke dalam tumpukan salju yang dingin.
Mereka pun terpaksa meneruskan perjalanan.
Setelah tidak lama melangkah, badai mulai reda. Angin sudah tidak berhembus seperti sebelumnya, dan setiap mereka memandang jauh pasti ada kehidupan. Meskipun tanaman-tanaman kecil tertutup salju, pohon-pohon cemara bermunculan di hadapan mereka. Helen pun mendedahkan kerudung mantelnya sambil berkata, "Akhirnya udara segar!"
"Sebelum naik gunung, kau bilang kita ke Aushlo, bukan?" tanya Anbar. "Kau tahu Aushlo itu apa?"
"Tentu saja kutahu," kata Helen. "Aku pernah tinggal di sana."
Mereka mulai menapaki hutan kecil di atas puncak. Udara di sana sangat lembap, Anbar seakan-akan meraba awan. Dari atas sana juga, ia dapat menyaksikan pemandangan luas, hamparan awan terbentang di atas puncak-puncak gunung lainnya seperti kerajaan awan dalam buku cerita.
"Sangat indah," kata Anbar. "Apa kau pernah melihat hal seindah ini?"
"Hampir setiap hari dalam hidupku," kata Helen.
"Katakan, Helen," kata Anbar. "Apa hal yang menurutmu paling indah?"
"Kematian," kata Helen. "Karena dengan mati aku tidak dapat mengingat hal-hal buruk yang pernah kulakukan dulu."
Setelah melangkah beberapa meter, mereka mendapati keganjilan: salju hampir tidak ada di sekitar, suhu udara agak hangat, pohon-pohon cemara mulai bertebaran di sekitar, rumput-rumput hadir di antara sepatu mereka, dan hewan-hewan kecil mulai berkeliaran di atas pohon.
"Ini aneh," kata Anbar. "Mengapa ada tanaman dan pohon di puncak gunung? Dan mengapa suhu di sini tidak terlalu dingin?"
"Itu karena mesin pemanas yang diciptakan Erazer Grahom untuk Aushlo," jelas Helen. "Mesin itu ditanam ke tanah di dalam Aushlo untuk menjadikan seluruh tanah sekitar bangunan menjadi hangat,"
"Aku tidak terlalu mengerti."
Tidak terasa mereka berdua sampai di tempat tujuan. Itu adalah sebuah tempat yang dikelilingi dengan dinding setinggi enam meter bertahtakan kawat di atasnya, dengan gerbang hitam besar di halaman depannya.
"Apa kau yakin temanmu berada di sini?" tanya Anbar.
"Aku sangat yakin," kata Helen. "Ayo, masuk ke dalam,"
"Aku akan menunggu di sini," kata Anbar.
"Tidak," kata Helen sambil menarik-narik tangan Anbar untuk memaksanya melangkahkan kaki ke halaman depan Aushlo. "Kau harus ikut denganku."
Di luar gerbang, terdapat dua orang berpakaian biru sedang berbincang di pos jaga. Ketika Helen dengan santai melewati gerbang bersama Anbar, tiba-tiba, salah satu penjaga meniup peluit, lalu berkata, "Tunggu, apa yang kalian lakukan di sini?"
"Ini adalah tempat terlarang," kata penjaga kedua. "Kalian tidak boleh masuk ke dalam kecuali dengan surat izin!"
"Apa?!" tanya Helen. "Setahuku tidak perlu izin untuk masuk ke dalam!"
"Tanpa surat izin, kalian tidak boleh masuk," kata penjaga pertama.
"Jadi, pergilah dari sini," kata penjaga kedua. "Kecuali kau sudah tidak waras lagi, maka kau bisa masuk sepuasnya."
Helen murka ketika mendengar tawa para penjaga. Ia sangat tidak suka dengan bahana orang yang mencemoohnya. Ia ingin sekali memukulnya, tetapi ia masih berpikir tentang kericuhan yang akan terjadi jika menghajar kedua orang itu. Ia pun mengangkat kaki dari gerbang, dan masih terus memikirkan cara untuk masuk ke dalam.
"Kau dengar mereka. Kita tidak bisa masuk," kata Anbar. "Ayolah, kenapa harus pusing-pusing memikirkan cara untuk masuk ke tempat aneh itu?!"
"Aku ingat. Kita lewat sana," kata Helen sambil menunjuk ke samping.
Kemudian, Helen menuntun Anbar mengelilingi dinding Aushlo menuju ke sebelah kanan bangunan. Setelah tidak beberapa lama mencari ingatan Helen, mereka berhenti di sebuah batu besar tidak jauh dari dinding.
"Aku masih tidak mengerti apa yang kau lakukan," kata Anbar.
"Dari batu ini, lima belas langkah menuju utara," kata Helen.
Helen pun berjalan menuju utara sambil menghitung setiap langkahnya.
"Memang, siapa temanmu yang berada di rumah sakit jiwa ini?" tanya Anbar. "Maksudku, orang macam apa yang akan kita temui?"
"Dia seorang peramal," kata Helen.
Setelah mencapai langkah ke-15, Helen mulai menggali. Di tanah basah dan hitam, ia mengeruk tanpa peralatan, hanya dengan jari-jarinya.
"Namanya Marla Varlet," kata Helen. "Dia dulu temanku selama tinggal di tempat ini. Dan dia tidak gila seperti dugaanmu. Dia hanya mengaku gila untuk menyelamatkanku,"
"Sebenarnya, aku sedikit takut dengan orang gila," kata Anbar. "Mereka selalu tampak menyeramkan bagiku,"
"Jika kau berada di dekatku, aku jamin mereka tidak akan mendekatimu," kata Helen. "Memangnya ada apa dengan mereka? Mereka tidak berusaha untuk membunuh atau melukaimu,"
"Kau tidak mengerti," kata Anbar. "Bibiku, Maria, dia gila,"
"Jadi, ada apa dengan dia?"
"Dia suka melihat orang mati dan suka melukisnya dalam kanvas," kata Anbar. "Suatu malam, Bibi mengajakku ke suatu tempat. Katanya dia ingin menunjukkan sesuatu kepadaku. Karena penasaran, aku ikut bersamanya. Kami berakhir di dalam rumah kecil, jauh di belakang istana. Kemudian, dia memperlihatkan kepadaku semua lukisannya, lukisan tentang orang mati. Semuanya terpajang dalam sebuah ruangan merah di bawah tanah. Aku hampir muntah di sana. Kepalaku pusing, dan akhirnya aku pingsan,"
"Kau yakin itu bukan mimpi?"
"Kuharap begitu. Namun ketika aku bangun dari pingsan, mimpi buruk masih berlanjut. Bibiku sedang melukis orang sekarat. Aku melihat seorang pria tertusuk lima tombak di tubuhnya. Di mata, dada, perut, dan punggungnya. Pria itu masih bisa bicara walaupun sudah terluka parah. Aku tidak bisa bergerak, tapi Bibiku tersenyum bahagia. Kemudian, dia tersenyum lebar ke arahku. Aku pun lari. Setelah beberapa hari tidak melihat wajahnya, aku bertemu dengannya, dan dia menunjukkan lukisan pria itu kepadaku. Karena Bibi sangat pintar menyembunyikan rahasianya, tidak ada yang percaya dengan kata-kataku. Ayah, Paman, dan Anton tidak percaya. Tidak satu pun percaya. Aku sendirian,"
Anbar menitikkan air mata kesedihan. Itu adalah air mata kenangan buruk sekaligus air mata kesendirian. Itu adalah masa lalu yang menyentuh hati Helen. Sejenak Helen menghentikan penggaliannya untuk memberikan sesuatu yang sama diberikan kepada putrinya dulu, sebuah pelukan kepedulian. Helen tidak bisa membiarkan seorang perempuan bersedih hati.
Anbar trenyuh; air matanya merebak. Ia mengeluarkan seluruh isi hatinya kepada Helen. Di dadanya yang gelap dan dengan tangan Helen merangkul kepalanya, Anbar mulai menangis kencang. Di tengah keharuan itu, Helen berbisik, "Jangan menangis lagi. Aku ada di sini. Kau tidak sendirian lagi." Setelah mendengar kata-kata itu, Anbar mengusap air matanya dan mulai tersenyum kembali.
"Baiklah," kata Helen. "Aku harus melanjutkan pekerjaanku."
Helen pun kembali ke tanah untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulainya. Tidak lama kemudian, jari-jarinya mulai meraba sesuatu di bawah tanah. Dengan semangat, ia terus mengorek hingga sesuatu itu terlihat sepenuhnya. Ternyata itu adalah kayu berbentuk bulat menyerupai tutup tong. Kayu rapuh itu menyungkupi sebuah lubang besar di bawahnya.
"Kau akan masuk bersamaku," kata Helen. "Apa pun alasannya,"
"Baiklah," kata Anbar. "Tapi tanyakan kepada temanmu tentang ibuku dan kekasih legendaku."
Mereka pun merangkak di lubang yang tidak ada penyangganya itu. Tidak beberapa lama bergulat dengan kotor, mereka berhasil masuk ke dalam Aushlo. Lubang seberang di dalam Aushlo hanya ditutupi dedaunan cokelat dan sedikit tanah. Di depan lubang, ada pohon-pohon yang rimbun daunnya. Helen yang pertama kali keluar lubang segera menyoroti sekeliling untuk memastikan tidak ada penjaga di sana. Ia pun mengedangkan tangannya untuk Anbar naik sambil berkata, "Sepertinya tempat ini sepi,"
"Apa kau yakin tidak ada orang gila yang berkeliaran di luar sana?"
"Tidak ada orang di atas sini."
Mereka melangkah di halaman, di dalam Aushlo. Halaman itu berdekatan dengan lapangan olahraga. Udara di dalam Aushlo lebih hangat daripada di luar. Namun suasana lembap masih terasa kental di dalam.
Tidak ada orang yang lewat; suasana seperti pemakaman. Mereka pun memanfaatkan keadaan itu untuk menyusup lebih dalam. Saat Helen menyeruyuk di lorong, tiba-tiba, dua perawat wanita yang sedang berdebat lewat di depan mereka. Karena tidak sempat mengelak, ia hanya menutup wajahnya dan membawa Anbar bersamanya.
Tidak lama setelah itu, jalan membimbing mereka ke sebuah taman yang berada di tengah Aushlo. Taman itu dipenuhi dengan tanaman dan bunga yang tersusun rapi, dengan lima pohon besar membayangi bangku dan meja yang terbuat dari beton. Di atas bangku itu, duduk sendirian seorang wanita tua berusia sekitar tujuh puluh tahun dengan pakaian hitam panjang. Wanita tua itu sedang memberi makan burung-burung. Dengan anggun, dia menaburkan potongan-potongan roti untuk burung yang kelaparan. Dia adalah campuran Haegil dan Aldera. Dia bermata biru, berkulit agak gelap, rambutnya putih hingga punggung, dan di sekitar lehernya terdapat bercak putih sebesar kelereng.
Meskipun belum menatap wajahnya, Helen yakin dia adalah wanita yang dicarinya. Tanpa ragu, ia menggandeng tangan Anbar, dan menghampiri wanita tua itu. Dari belakangnya, ia bertanya, "Marla Varlet?"
"Aku senang yang berbicara adalah teman lamaku," kata Marla.
"Sudah lama kita tidak berjumpa," kata Helen.
"Silakan duduk," kata Marla.
Saat Helen dan Anbar duduk di depan Marla, burung-burung yang sedang makan di samping beterbangan ke mana-mana. Untuk sejenak, Anbar menilik wanita tua yang murah senyum itu. Di bawah pepohonan yang membawa sejuk, perbincang dimulai dengan Marla berkata, "Kau tampak sehat,"
"Terima kasih," kata Helen. "Kau tahu kenapa aku datang kemari,"
"Penglihatanku tentang masa depan ada batasannya," kata Marla. "Dan kau pasti adalah Anbar," katanya sambil menatap Anbar.
"Kau tahu siapa aku?" tanya Anbar.
"Aku selalu melihatmu setiap menutup mata," kata Marla sambil memberikan sepotong roti besar kepada Anbar.
"Terima kasih," kata Anbar. "Kebetulan aku sangat lapar,"
"Dan kekasih legendamu sedang mengalami masa sulit untuk berlindung dari orang-orang jahat," kata Marla. "Dia dan teman-teman setianya sedang berusaha keras untuk hidup,"
"Hebat...," kagum Anbar. "Kau benar-benar mengetahui itu semua. Dan bagaimana dengan ibuku? Di mana dia sekarang?!"
"Sekarang bukan saatnya aku memberitahumu," kata Marla. "Aku tidak bisa memberitahukan semuanya tentang masa depan. Ada batasan takdir yang tidak boleh dilanggar oleh semua peramal. Namun tujuanmu sekarang akan memberikanmu petunjuk di mana ibumu berada. Tetaplah berjuang, suatu hari nanti kau akan bertemu dengannya,"
"Anbar, biarkan aku berbicara dengannya," kata Helen. "Sebaiknya kau duduk di sana dan jangan mengganggu kami berdua,"
"Tapi bagaimana jika ada...,"
"Tidak ada orang gila yang akan melukaimu di sini. Semuanya sedang berjuang untuk kesehatan batin mereka," kata Marla. "Kau tidak perlu khawatir,"
"Baiklah, jika kau bilang begitu," kata Anbar.
Anbar pun pergi meninggalkan mereka. Ia duduk sendirian di bawah pohon sambil makan. Roti yang dimakannya sangat harum baunya hingga mengundang tupai musim dingin untuk turun dari pohon. Karena terlalu takut kepada Anbar yang lebih besar ukurannya, tupai bercorak putih dan biru itu hanya bisa mengamati Anbar menikmati roti tanpa bisa meminta darinya. Anbar sendiri merasa ada sesuatu di belakang yang mengawasi dirinya. Ia yang penasaran segera mencari tahu, dan tanpa sengaja menjumpai si tupai. Tupai itu langsung berlari ke atas pohon karena kaget Anbar menemukan dirinya. Dia masuk ke lubang tempat tinggalnya.
"Kemarilah," bujuk Anbar. "Kau tidak perlu takut,"
Kemudian, Anbar mencarah rotinya, dan meletakkannya di tanah secara berurutan dari bagian terkecil hingga terbesar. Si tupai pun terpancing keluar. Tanpa ragu, tupai itu memakannya, dan terus melahapnya hingga berakhir di tangan Anbar. Pada akhirnya, tupai itu tidak merasa takut lagi kepada Anbar.
"Helen!" seru Anbar. "Lihat, aku mendapat seekor tupai!"
"Hati-hati dengannya!" teriak Helen.
"Apa kau masih ingin meneruskan tugasmu yang akan berakhir tragis ini?" tanya Marla. "Ingat kau masih mempunyai pilihan,"
"Ini tidak akan berakhir tragis!" bentak Helen. "Mereka tidak akan menghabisi atau menyakitinya. Dia hanya seorang gadis kecil,"
"Kau salah," kata Marla. "Mereka akan segera membunuhnya setelah mempersatukannya dengan sang Adam untuk mempercepat lahirnya sang Adam dan sang Hawa yang baru, untuk menumbuhkan Pohon Nama, dan juga untuk membuat permintaan lagi,"
"Tidak," kata Helen. "Mereka tidak akan melakukan itu,"
"Apa kau melakukan ini untuk anakmu, Melodi?" tanya Marla. "Apa kau yakin dia masih bisa diselamatkan setelah bertahun-tahun tidak bertemu?"
"Aku sangat yakin dapat membawa Melodi kembali,"
"Tidak, kau tidak akan bisa membawanya kembali," kata Marla. "Aku sudah menyaksikannya berkali-kali. Misimu untuk mengantarkan Anbar akan gagal dan penuh pengkhianatan,"
"Kau salah,"
"Lihat dia," kata Marla sambil menunjuk Anbar dengan matanya. "Polos, tidak tahu apa-apa, bahkan dia langsung percaya kepadamu ketika pertama kali bertemu. Apa kau tega melihatnya disiksa oleh mereka yang berhati keji?"
"Aku sudah memutuskan...,"
"Lupakan Melodi. Lupakan masa lalumu," kata Marla. "Dia tidak bersalah. Dia tidak perlu jadi korban atas keinginanmu,"
"Dengar, aku ke sini bukan untuk mendapat ceramah," kata Helen. "Aku hanya ingin bertanya mengapa Pejalan Waktu menyerang kami? Apa sebenarnya tujuan mereka? Apa masa depan telah berubah?"
"Aku melihat mereka menyerang, tapi tidak tahu apa tujuan mereka," kata Marla. "Aku hanya bisa mengatakan mereka ingin menyingkirkan sang Hawa,"
"Sia-sia aku datang kemari," kata Helen.
"Tidak, kau tidak sia-sia datang kemari. Aku telah memberimu saran untuk mempertimbangkan antara alam semesta dan keinginanmu,"
"Baiklah, aku pergi dari sini. Terima kasih atas sarannya," kata Helen dengan wajah berang. "Anbar, kita pergi dari sini!"
"Baiklah," kata Anbar sambil meletakkan tupai musim dingin dengan perlahan. "Selamat tinggal, Tuan Rumba. Jangan lupakan aku,"
Ketika mereka ingin beranjak pergi, Marla memberikan sebuah jeruk segar kepada Anbar. Ia berkata, "Kau akan membutuhkannya nanti,"
"Terima kasih, dan terima kasih atas petunjuk dan sarannya sebelumnya," kata Anbar. "Selamat tinggal!"
"Pertimbangkan saranku, Helen!" seru Marla. "Hati-hati di jalan!"
"Jadi, apakah kita sekarang menuju ke Kontes Belein?" tanya Anbar.
"Tidak, kita akan mengunjungi temanku yang lain," kata Helen. "Dan dia adalah orang terakhir yang akan kita temui."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Sisi: Zaman Baru (TAMAT)
FantasiaDi suatu jajaran vana (istilah untuk planet-planet) yang lain, hiduplah dua sosok legendari yang disebut Adam dan Hawa. Jika keduanya "dinikahkan", pihak ketiga yang mempersatukan mereka berdua memiliki satu permintaan bebas. Andre Vellanhar dan Anb...