Di tengah bencana yang menghancurkan kota, Andre sedang menyuruk di antara bayangan malam. Ia sudah menyaksikan betapa mengerikannya mogai. Oleh karena itu, ia bersiah dari jalan utama. Namun ketika keluar dari gang kecil, Andre berpapasan dengan sesuatu yang tidak ingin ditemuinya. Itu adalah mogai yang melintangi jalannya. Ia tidak bisa bersembunyi lagi karena mogai itu sudah menatap matanya.
"Akhirnya!" kata Mogura yang mengendarai mogai itu. "Aku menemukanmu!"
Andre pun membalikkan badannya dan berlari sekencang mungkin tanpa peduli dengan jalanan yang gelap dan seram. Mogai itu mengejar dan berusaha untuk menangkapnya. Tidak lama kemudian, ia menjumpai gang kecil di pertigaan. Dalam pikirannya, itu adalah sebuah tempat yang sempurna untuk bersembunyi. Ia berhasil masuk ke dalam kegelapan gang, dan mogai tidak tahu ke mana ia pergi.
Andre merasa lega setelah mimpi buruknya berakhir. Namun semua itu belum berakhir sepenuhnya; mimpi buruk kembali dengan bayangan yang lebih besar. Tiba-tiba, debu-debu luruh dari atas. Mogai yang tadi mengejarnya sekarang berada di atasnya; dia berdiri di antara dua bangunan.
Di tengah kesenyapan, tanpa sengaja, tong sampah yang berada di samping Andre tersenggol. Suara lantang dari tong itu membuat wajah mogai menoleh ke bawah. Si mogura yang mengendarai mogai itu pun menyadari kehadiran Andre. Ia berkata,"Di sana kau rupanya!"
Andre berlari dengan panik. Mogura terus mencambuk mogai miliknya agar berlari kencang. Kemudian, mogai itu melompat setinggi mungkin, yang pada saat mendarat menyebabkan gempa kecil yang membuat Andre terjungkal. Mogai itu pun berhasil mendahului Andre; dia tepat di depannya.
"Mau ke mana lagi kau!?" tanya si Mogura. "Kau tidak bisa bersembunyi lagi dariku!"
Si Mogura mencambuk udara sebanyak dua kali untuk memerintahkan mogai-nya merangkap Andre. Ketika Andre sudah berada di genggaman mogai, tiba-tiba, Ari datang. Ari tidak dapat berbuat banyak selain menguber mogai itu. Sambil menyerukan nama Andre, ia terus mengejar. Namun mogai itu semakin hilang dalam pandangannya. Setelah berlari bermeter-meter jauhnya dengan kedua kaki yang sudah letih, ia mencapai batasannya sebagai seorang pemuda biasa. Dengan penuh penyesalan, ia mengeluh kepada dirinya sendiri, "Sial, aku tidak bisa mengejarnya dengan keadaan seperti ini,"
Pada saat yang penuh keputusasaan, Noura datang membawa dua kuda bersamanya. Ia bertanya, "Bagaimana dengan berkuda?"
"Noura?!" kaget Ari. "Bagaimana bisa kau di sini?!"
"Kebetulan aku mendengar teriakan Andre dari jauh," kata Noura. "Apa yang sedang terjadi?"
"Andre dibawa oleh hewan yang sangat besar ke arah sana," kata Ari sambil menunjuk ke arah mogai pergi.
Mereka pun mengejar ketertinggalan. Sementara Ari dan Noura berpacu dengan waktu untuk membawa Andre kembali ke sisi mereka, Marko masih mencari Andre di sebelah barat Kota Amarei. Marko berpapasan banyak warga Amarei yang sedang mengungsi dengan bantuan polisi lokal dan beberapa pasukan Parson yang masih hidup. Orang-orang yang sedang putus asa itu sedang menuju ke pusat kota. Tanpa sengaja, Marko menatap wajah wanita yang kehilangan sanak saudaranya. Wanita itu mengingatkannya dengan Dian yang berada jauh di rumah.
Semakin jauh, jalan semakin sepi. Marko pun mendapati jalan buntu dalam pencariannya. Tanpa disadari, ia berada di ujung Kota Amarei. Di sana, hanya ada rumah susun yang ditinggalkan oleh penghuninya untuk mengungsi. Tepat di belakang rumah susun itu, terdapat ngarai yang sangat dalam. Rumah susun yang biasanya dihuni sekitar seratus orang itu sangat hening, bahkan pemakaman masih lebih ramai dari tempat itu.
Marko lebih memilih menjelajahi rumah susun itu daripada kembali ke tempat awal. Ia melangkah masuk ke lapangan di tengah rumah susun. Di pinggir lapangan, hanya ada satu lampu jalan yang menerangi seluruh tempat.
"Andre!" seru Marko. "Apa kau di sini?!"
Tidak jauh dari tempat Marko meneriakkan nama Andre, tiga Rengkra sedang mengawasi. Dengan menggunakan yarem—kendaraan mereka—yang kuku-kukunya tajam dan panjang, salah satu Rengkra naik ke puncak rumah susun.
"Sepertinya aku sudah terkepung!" teriak Marko tiba-tiba.
"Kau menyerukan nama orang yang sedang kami cari," kata Rengkra Pertama yang berada di atap rumah susun. "Sejauh mana kau mengetahuinya?"
"Aku tidak begitu mengerti situasinya," kata Marko. "Namun aku tidak akan menyerahkan Andre begitu saja."
Tiba-tiba, hujan turun di malam itu, yang membuat perselisihan semakin menegangkan. Rengkra Kedua yang berada di lantai dasar muncul di hadapan Marko, dan Rengkra Ketiga yang berada di lantai dua turun ke bawah. Saat Rengkra Kedua maju dengan perlahan, yarem miliknya menunjukkan gigi-giginya. Bunyi air hujan yang menitik di baju baja berang-berang raksasa itu kian nyaring terdengar ketika mereka berjalan menuju Marko.
"Sepertinya pertarungan ini sangat tidak seimbang," kata Marko. "Tiga melawan satu,"
"Apa kau takut dengan berang-berang besarku?" tanya Rengkra Kedua.
Marko pun bersiap-siap dengan pistol yang sudah terisi peluru. Namun ia hanya punya satu tembakan untuk satu waktu saja, jadi ia harus memikirkan baik-baik sebelum mencetuskan pistol tua itu.
"Apa kau akan menembakkan pistol yang tidak berguna itu?" tanya Rengkra Ketiga sambil tersenyum.
"Sebaiknya cepat," kata Rengkra Pertama. "Pistol itu hanya bisa menembak sekali saja."
Suara keras pun terdengar; Marko telah menembakkan pistolnya. Bukannya menembak Rengkra, Marko mematikan satu lampu yang menerangi lapangan. Kegelapan pun tidak dapat dihindari. Bersama kudanya, Marko pergi ke samping rumah susun. Dalam keadaan gelap gulita dan hujan deras, dua Rengkra mengejar Marko.
Rengkra Pertama baru turun dari puncak rumah susun. Dia turun dengan melompat langsung ke tanah sehingga tanah sekitar tempat dia mendarat melendut karena beban yarem yang berat.
Sementara itu, dua Rengkra yang membuntuti Marko hanya menemukan kudanya yang ditinggalkan begitu saja. Setelah membelalakkan mata ke atas, barulah mereka sadar, Marko menggunakan batu canium untuk memanjat dinding rumah susun. Dia terus merayap di dinding tanpa memandang ke bawah.
"Dia memanjat dinding!" teriak Rengkra Kedua. "Kejar dia!"
Marko melangkah ke lantai tujuh rumah susun dan langsung masuk ke koridor. Ia membalikkan meja yang berada di tengah koridor dan segera mengisi pistolnya selagi ada kesempatan. Sesekali ia mencerling untuk memastikan apakah musuh sudah di dekatnya. Tangannya gemetar saat mengisi peluru karena gemuruh hujan saat itu. Ketika pistolnya belum terisi, tiba-tiba, ia dikejutkan dengan kemunculan yarem di belakangnya. Yarem tanpa tuan itu datang secara diam-diam dan menindih tubuhnya. Hewan itu berusaha menggigitnya dengan gigi-gigi tajamnya. Setelah menendang hewan itu hingga terlontar jauh, ia terpaksa lari lagi.
Tidak lama setelah berkejar-kejaran dengan yarem, Marko menemukan jalan buntu; ujung jalan hanya dibatasi dengan pagar. Di samping kiri dan kanannya, terdapat atap dari balkon di lantai bawah. Dengan keterpaksaan, ia menaiki atap tersebut untuk menghindari yarem yang sedang mengincar dirinya.
Tidak lama kemudian, yarem menjumpai dirinya. Hewan itu hanya menggeram ke arahnya tanpa bisa menggapainya. Marko mencoba berjalan ke pagar yang lain. Karena hujan deras membuat licin genteng-genteng yang diinjaknya, ia harus melangkah dengan hati-hati. Genteng-genteng merah mulai berguguran ke dalam ngarai saat ia menapaki mereka. Ia merasa sedikit ngeri jika memerhatikan ke bawah.
Tiba-tiba, genteng yang diinjaknya hancur seketika. Semua atap yang menjadi tempat ia berpijak jatuh ke ngarai tanpa sisa. Marko masih diselamatkan oleh kabel-kabel listrik yang tersangkut di kakinya. Dalam keadaan terbalik, ia menjatuhkan persediaan peluru yang berada di kantongnya. Ia berusaha merangkap peluru-peluru itu. Namun pada akhirnya ia hanya berhasil menangkap satu peluru saja.
Dengan penuh keberanian, Marko menaiki kabel yang menyangkut di kakinya. Setelah berhasil menaklukkan ketinggian, ia masih harus bersiap dengan yarem yang akan menyerangnya.
Firasatnya mengatakan yarem akan berlari menuju ke arahnya dari depan. Maka dari itu, ia mengisi ulang pistol dengan satu peluru yang ditangkapnya tadi, dan mengarahkannya ke depan; tepat di tikungan koridor. Firasatnya terbukti benar; yarem muncul dari depan. Tanpa banyak berpikir, Marko langsung menembaknya. Hewan itu mati seketika. Karena semua peluru telah tiada, ia terpaksa menghunuskan pedang kecilnya.
Setelah mengelilingi rumah susun, Marko tidak menemukan salah satu Rengkra. Di lantai dasar sendiri tidak ditemukan tanda-tanda musuh. Pada saat berpikir bahwa musuh sudah meninggalkannya, Marko melihat kesempatan; kudanya berdiri di tengah hujan dan siap untuk berangkat. Ia pun berpikir untuk melarikan diri dari pertarungan sia-sia itu. Setelah meninjau sekeliling, ia memutuskan untuk pergi. Ia berlari menembus hujan dan berhasil mencapai kudanya. Ia langsung memacu kudanya untuk berlari kencang.
Namun Rengkra yang dilewatkan Marko merencanakan sesuatu. ia menunggu di balik bayangan, di lantai dua, sambil menyiapkan sebuah senjata istimewa untuk pengendara kuda yang lari darinya. Senjata itu menggunakan dua bola besi yang dihubungkan dengan rantai. Sebentar dia memutar senjatanya di atas kepala, lalu melontarkannya ke arah kuda Marko.
Kuda yang Marko kendarai pun terambau.
Marko sendiri terseret beberapa meter ke depan. Pedang yang dipegangnya terlepas, dan kedua kakinya tersangkut di bawah kuda yang berat. Ia tidak bisa lagi menghindari kematian. Marko hanya dapat menatap langit yang sedang hujan deras sambil merasakan rintik di wajahnya ketika kematian mendekat.
"Kau membunuh temanku!" kata Rengkra Ketiga sambil menendang kepala Marko dengan sepatu hitam kerasnya.
"Sebaiknya kau tidak membunuhnya!" bentak Rengkra Pertama. "Sepertinya dia tahu banyak tentang seorang Haegil kecil bernama Andre. Bos pasti akan senang jika kita membawanya sebagai tawanan."
Rengkra Pertama menendang kepala Marko dengan sangat keras sampai-sampai telinganya mendengung dan kegaduhan hujan tidak sama lagi seperti sebelumnya. Pada tendangan kedua, Marko tidak sadarkan diri. Kemudian, para Rengkra itu membawa Marko dengan tangan terikat di belakang yarem miliknya, dan beranjak pergi dari tempat itu.
Semakin malam, hujan semakin deras mengguyur. Hujan itu membuat baju Regald yang putih basah. Karena hujan itu pula, Regald tidak bisa memandang dengan jelas apa yang berada di depannya. Namun ia masih terus mencari Andre di bagian utara Kota Amarei.
Saat melaju pelan dengan kudanya, Regald berhenti karena menyaksikan sesuatu yang aneh di jalan. Ia turun dari kuda untuk melihat benda kecil yang berada di bawah kakinya. Benda itu adalah sehelai bulu putih yang cukup besar. Setelah memandang ke depan, ia menemukan bulu itu lagi. Bukan hanya satu, melainkan sangat banyak. Itu berurutan membentuk suatu jalan.
"Jangan-jangan ini adalah...," kata Regald menduga-duga.
Bulu-bulu itu menuntun Regald ke sebuah taman kecil di antara tingginya bangunan-bangunan kota. Bulu-bulu itu berhenti menuntunnya. Sosok asli dari makhluk yang menyebar bulu tersebut mulai menampakkan diri. Itu adalah seekor merak putih yang muncul di hadapannya. Regald terkesiap karena menemukan makhluk indah itu berada bukan di tempat yang seharusnya. Ia sering menjumpai merak putih di berbagai tempat, tetapi bukan di Dela Vana. Merak itu perlahan berjalan ke hadapannya dan melebarkan bulu-bulu ekornya yang memukau.
Karena masih tidak jelas apa maksud makhluk itu membawanya ke sana, Regald bertanya, "Kenapa kau membawaku ke tempat ini?"
Makhluk itu tidak menjawab pertanyaan Regald, dia malah terbang jauh ke jalan di sampingnya sambil meninggalkan bulu-bulu untuk diikuti lagi. Karena penasaran, Regald mengikuti makhluk itu.
Di jalan, merak itu berbelok; mengambil jalan sempit. Regald berakhir di sebuah gang kecil. Si merak yang menuntunnya hilang entah ke mana. Di ujung gang itu, ia menyaksikan cahaya terang yang membentuk suatu pintu. Dari pintu bersinar itu, keluar seseorang. Ia tidak bisa melihat wajahnya karena cahaya yang sangat terang; yang dilihatnya hanya bayangan hitam.
"Siapa di sana?!" tanya Regald. "Tunjukkan wajahmu!"
"Masuklah Regald Delwyn!" katanya. "Aku adalah temanmu!"
Bayangan hitam itu menjulurkan tangannya untuk mengundang Regald masuk ke dalam cahaya putih. Seakan-akan terhipnotis, Regald meraih tangan bayangan itu dan melangkahkan kakinya ke dalam pintu bersinar.
"Selamat datang di Bintang Putih," kata bayangan hitam itu.
Setelah cahaya sedikit demi sedikit meredam, bayangan yang mengajaknya masuk mulai menampakkan diri. Dia adalah Kepala Akademi Laxondra yang telah meninggal beberapa saat yang lalu, Alf Lamuel. Karena sudah sangat lama sekali tidak bersua dengan temannya, Regald langsung memberikan Alf pelukan persahabatan.
"Ke mana saja kau selama ini?" tanya Regald.
"Hanya di sekitar sini, teman lama," kata Alf.
Mereka berdua berada di sebuah tempat yang sangat luas. Di sekitar mereka, bangunan-bangunan dan batu-batu besar melayang tidak tentu arah. Ada batu terbang yang membawa pohon, dan ada juga yang membawa rumah kecil. Sepanjang mata memandang, hanya ada awan putih, langit biru, dan vana bulat di kejauhan. Di sana, jarang ada tanah atau lantai untuk dipijak. Regald sendiri berdiri di jembatan yang menuju ke sebuah bangunan. Di belakangnya, ada sebuah pintu cokelat tempat ia masuk. Di sekelilingnya, terdapat tujuh gerbang yang dihubungkan dengan tangga yang hancur di pertengahan.
"Sebenarnya di mana kita?" tanya Regald.
"Kita berada di alam sesudah mati, Bintang Putih," kata Alf.
"Apa aku sudah mati?!" tanya Regald.
"Tidak, belum saatnya kau mati. Hanya aku yang sudah mati. Eregos memaksaku menggunakan teknik Dera Wihsavar. Teknik itu membakar tubuhku hingga berbau seperti daging panggang," kata Alf sambil tersenyum. "Namun yang terpenting, aku ingin kau bertemu dengan yang lain."
Regald pun mengikuti Alf. Mereka berakhir di sebuah bangunan dengan kubah kaca di atasnya. Bangunan itu berantakan dan hampir hancur. Beberapa bagiannya sudah terpisah dan hanya melayang-layang di sekitar. Di sana, ada dua orang sedang duduk di sofa panjang.
"Marius Hawor dan Gavin Lare!" kata Regald. "Sudah lama aku tidak bertemu dengan kalian berdua,"
Marius Hawor adalah seorang Haegil yang berjanggut, berambut, dan berkumis hitam panjang. Sementara Gavin Lare adalah seorang Aldera bertubuh pendek yang hampir tidak memiliki rambut di kepalanya, tetapi memiliki kumis dan janggut putih yang sangat panjang hingga melampaui tubuhnya.
"Oh, Regald, teman lama," kata Gavin. "Aku sangat merindukan suasana putih yang biasa bersamamu,"
Regald, Marius, dan Gavin saling berpelukan sebagai tanda pertemuan yang sudah lama tidak terjadi.
"Apa yang kalian semua lakukan di tempat ini?" tanya Regald.
"Alf, apa kau sudah memberitahunya?" tanya Marius.
"Tidak," kata Alf. "Aku ingin kalian yang memberitahunya,"
"Memberitahuku tentang apa?" tanya Regald.
"Jawab pertanyaanku," kata Gavin. "Apa kau sedang bersama dengan Adam bernama Andre Velanhar?"
"Ada apa dengannya?" tanya Regald.
"Maaf memberitahukan ini kepadamu," kata Alf. "Tapi dia akan menyebabkan seluruh alam semesta dalam kehancuran,"
"Ini terdengar aneh tapi...," kata Gavin.
"Kami semua sudah menyaksikan masa depan. Masa depan yang suram dengan kegelapan menyelimuti vana-vana, kematian di mana-mana, dan matahari tidak bersinar lagi. Dan yang paling penting, tidak ada yang selamat dari kiamat itu," kata Marius.
"Kami tidak tahu kenapa Bunda Pembimbing tidak memberitahukan kita semua tentang ini," kata Alf.
"Inti pertemuan ini adalah kami ingin kau membunuh sang Adam atau sang Hawa," kata Gavin. "Atau bahkan keduanya sebelum itu terjadi,"
"Apa kalian sudah gila?!" bentak Regald. "Ini ketidakwarasan. Aku tidak akan membunuh anak-anak!"
"Kami tahu kau akan berkata seperti itu," kata Gavin. "Maka dari itu, kami membawamu ke tempat ini. Tempat di mana kau dapat melihat masa depan,"
"Atas izin yang diberikan Yang Maha Tertinggi, kami ingin kau menyaksikan masa depan yang kelam. Ikut denganku," kata Marius sambil menuntun Regald ke air mancur yang berada di tengah ruang.
"Apa kau siap dengan kenyataan pahit?" tanya Marius.
"Aku siap dengan apa pun itu."
Sementara Regald berada di Bintang Putih, Ari dan Noura masih mengejar Andre yang sedang diculik oleh mogai. Hujan mulai turun, itu menyulitkan mereka dalam pengejaran dan membatasi penglihatan mereka. Noura tidak yakin dengan pengejaran yang sia-sia itu. Namun memerhatikan kegigihan Ari yang terus memacu kudanya, Noura sedikit terpacu semangat juangnya.
"Lihat!" teriak Ari. "Ada seseorang di atas jembatan!"
Dari jarak yang sangat jauh, Ari melihat seseorang berdiri di atas jembatan penghubung antara dua bangunan besar yang berada jauh di depan mogai yang sedang berlari. Orang itu mengenakan jubah, membuatnya sulit untuk dikenali.
Dengan membuang jubahnya ke udara, orang itu mulai membuka jati dirinya. Dia adalah seorang Pejalan Waktu.
Pejalan Waktu itu melompat ke mogai yang menculik Andre. Dia menendang Mogura—pengendara mogai—hingga terlepas dari pijakannya. Dia mendarat di tubuh mogai dengan selamat. Namun sebuah cambuk tersangkut dan menyeret kaki Pejalan Waktu itu. Ternyata Mogura yang ditendangnya tadi masih bertahan dengan berpegangan cambuk yang digunakan untuk memerintah mogai.
Pada akhirnya, Pejalan Waktu dan Mogura tergelingsir. Dengan refleks, Pejalan Waktu itu menikamkan belatinya ke baju-baja bagian-belakang-leher mogai agar tidak jatuh. Dengan cambuk dan Mogura yang masih menyangkut di kakinya, Pejalan Waktu itu mencoba tidak luruh.
Berat dua orang yang menggantung mengakibatkan belati Pejalan Waktu semakin terseret ke bawah, dan masuk ke dalam baju baja mogai. Belati itu sangat tajam; walaupun hanya menyentuh kulit saja, dapat menyayat daging. Mogai itu mulai merasakan sakit di bagian lehernya. Mogai itu berhenti untuk menggoyang-goyangkan tubuhnya; berharap penyebab sakit dapat hilang terbawa air hujan. Namun rasa sakit itu tidak hilang, malah bertambah parah dengan belati semakin masuk ke dalam seiring dengan banyaknya gerakan yang dibuat oleh mogai.
Frustasi dengan rasa sakit yang semakin parah, mogai itu berlari. Jalan yang licin menjadikan mogai tergelincir dan menghantam bangunan dengan keras. Bangunan yang ditabraknya hancur setengah, dan menimpa mogai itu sendiri. Mogai itu terkubur dalam-dalam; dia meninggal dalam reruntuhan.
Sebelum terjadi tabrakan, Pejalan Waktu beserta Mogura terpental ke dalam bangunan melalui jendela kaca. Sementara Mogura terlempar hingga menerobos bangunan yang terbuat dari kaca di kedua sisinya, Pejalan Waktu itu berakhir di sebuah taman, di lantai yang sama, di bangunan tersebut. Mogura jatuh dari ketinggian dan mati seketika, sementara Pejalan Waktu tidak meninggal meskipun seluruh tubuhnya dipenuhi dengan serpihan kaca. Pejalan Waktu itu hanya kehilangan kesadaran setelah terbentur tembok.
Noura dan Ari sampai di reruntuhan bangunan tempat mogai menabrakkan dirinya. Mereka hanya menjumpai mayat mogai, dan tidak menemukan satu pun tanda-tanda kehidupan di sana. Ari pun segera bergegas untuk mencari Andre.
Hujan telah mencuci darah mogai. Darah itu mengalir ke kaki Noura dan Ari. Ketika Noura berdiam diri sambil bercermin di kubangan darah, Ari mendengar suara kecil di antara riuh hujan. "Sepertinya aku mendengar sesuatu. Sepertinya itu adalah suara Andre yang sedang meminta pertolongan," kata Ari. "Cepat ikut aku!"
Ari menuntun Noura ke sebelah kanan tubuh mogai yang wafat. Dengan melalui batu-batu besar yang runtuh dan kubangan air, mereka menjumpai Andre yang tersangkut dalam genggaman mogai. Tangan mogai yang sangat besar menindih tubuh kecil Andre.
"Tolong aku!" teriak Andre. "Seseorang tolong aku!"
"Aku datang!" seru Ari. "Noura, bantu aku menolongnya!"
Ari mengangkat telunjuk mogai, sementara Noura menyentak Andre yang berada di bawahnya. Celana panjang Andre tersangkut di pergelangan tangan mogai, tetapi Noura terus memaksanya keluar dengan sekuat tenaga. Dengan sedikit kerjasama, mereka dapat mengeluarkan Andre. Ketika menghirup udara segar, Andre menemukan celananya sedikit robek.
"Sekarang bukan saatnya untuk bersantai-santai," kata Ari. "Kita harus pergi dari sini secepatnya."
Ketika hujan semakin mereda, mereka berpapasan dengan satu keluarga: 1 pria dewasa, 2 anak laki-laki yang masih balita, dan 1 anak perempuan yang umurnya sekitar sepuluh tahun yang sedang menggandeng boneka.
Ketika boneka yang dibawa oleh anak perempuan dari keluarga itu jatuh ke selokan, Andre segera mengambilnya dan mengembalikannya kepada si pemilik. Namun pria yang sepertinya pemimpin kelompok kecil itu menodongkan pistolnya ke arah Andre. Pria itu bertanya, "Siapa kalian?! Dan mau apa kalian dengan putriku?!"
"Dia hanya mengembalikan bonekanya," kata Ari.
"Dia benar, Pak," kata anak perempuan itu sambil menenangkan pria itu.
"Maafkan aku, aku terlalu ketakutan," kata pria itu sambil mengantongi pistolnya. "Banyak warga yang sudah gila. Mereka menjarah semua harta, membunuh musuh-musuh mereka, dan memperkosa wanita-wanita. Aku hanya ingin melindungi keluargaku,"
"Kalau kami boleh bertanya, ke mana semua orang pergi?" tanya Noura.
"Semua orang pergi ke menara yang berada di tengah kota. Di sana ada jalan menuju ke bawah ngarai," kata pria itu. "Sekarang bolehkan aku dan keluargaku pergi?"
"Tentu saja," kata Andre. "Terima kasih atas informasinya."
Semakin jauh melangkah, semakin banyak warga Amarei yang terlihat. Mereka memanggul anak-anak di pundak. Ada yang menjinjing semua pakaian di tas, dan juga ada yang tidak membawa apa-apa selain baju yang melekat di tubuhnya.
Andre, Ari, dan Noura mengikuti arus mereka yang sedang mengungsi. Setelah sampai di menara, di tengah Kota Amarei, Andre menyaksikan banyak orang yang sedang menunggu giliran untuk masuk ke dalam menara.
Di tengah hujan, Andre terpaksa berdiri di tanah lapang. Di tengah kerumunan orang, ia menatap seorang anak kecil kehilangan ibunya. Anak kecil itu berkeriau di tengah orang banyak, tetapi tidak ada yang mau menolongnya.
Seorang wanita menghampirinya dan bertanya, "Di mana ibumu?"
"Ibuku meninggalkan aku," jawab anak kecil itu.
Karena perasaan iba, wanita itu mengajaknya bersama. Anak kecil itu tetap menangis meskipun wanita itu menggendongnya.
Tidak lama kemudian, keramaian berubah menjadi kericuhan. Lift, yang digunakan untuk menuruni orang-orang, anjlok karena kelebihan beban. Orang-orang semakin panik; mereka berlarian seperti semut yang mengincar gula. Meskipun demikian, orang-orang tetap menuju ke dalam menara dan menggunakan tangga darurat untuk turun ke bawah.
Keadaan semakin memanas dengan adanya perkelahian di antara kerumunan. Mereka saling memaki dan memukuli di tengah bencana yang melanda kota. Perkelahian itu memicu banyak pihak untuk ikut serta. Perkelahian kecil berubah menjadi tawuran.
Ari, Noura, dan Andre memilih jalan aman; mereka menjauh dari orang banyak. Mereka berlari sangat jauh hingga suara perselisihan tidak terdengar lagi. Namun lari bukanlah akhir dari mimpi buruk. Tiba-tiba, Ari berhenti dan berkata, "Oh, tidak... dia akan datang kemari. Kita harus bersembunyi!"
Kemudian, mereka bertiga masuk ke sebuah rumah dengan menerobos pintu yang terkunci. Mereka langsung bersembunyi di lantai paling atas. Noura dan Andre masih tidak tahu apa yang akan muncul, tetapi mereka percaya dengan naluri Ari yang tajam.
Beberapa saat kemudian, gempa terjadi. Kubangan air di tengah jalan beriak senada dengan getaran, lampu-lampu jalan gemetaran, dan suara langkah kaki raksasa mulai terdengar. Suasana horor kembali ke hadapan mereka.
"Menjauh dari jendela!" bisik Ari.
"Ada apa?" tanya Andre. "Apa yang terjadi?"
Tiba-tiba, mata-kuning besar menatap ke dalam jendela. Beruntung Noura dan Andre mengikuti saran Ari untuk menjauh dari jendela. Mereka sempat menghindar sebelum mata itu menemukan mereka. Ternyata mata itu milik mogai yang berukuran sangat besar; tingginya sekitar empat puluh meter.
Mogai itu terus berjalan ke arah menara di tengah kota; menuju ke kerumunan. Orang-orang yang tadinya berkelahi satu sama lain kini berlarian; bercempera ke mana-mana. Mereka yang berada jauh dari menara mencari sudut untuk bersembunyi meskipun harus saling menginjak.
Mogai raksasa itu mulai melakukan serangan pertamanya. Dia mengambil sebuah rumah, mencangkingnya tinggi-tinggi, dan melemparkannya ke pintu masuk menara.
Sekarang orang-orang tidak dapat masuk lagi ke dalam menara. Mereka yang masih di luar berlindung ke tempat apa saja yang bisa dimasuki. Mereka bersembunyi di dalam rumah orang lain yang tidak mereka kenal, toko yang berada di pinggir jalan, dan selokan yang penuh dengan limbah.
Kemudian, mogura memerintahkan mogai raksasa miliknya untuk menghancurkan menara yang mencuar tinggi di tengah kota. Dengan tangan yang penuh baja, hewan raksasa itu memukul-mukul dinding menara. Perlahan menara miring, dan pada akhirnya lingsir.
Pada saat yang bersamaan, ketika Ari sedang memerhatikan jalan di jendela, ia menyaksikan bayangan menara jatuh yang diterangi oleh cahaya kilat. Ia menyaksikan itu semua seolah-olah waktu berjalan dengan sangat lambatnya.
"Awas!" teriak Ari memperingatkan teman-temannya.
Namun semua itu terlambat; menara mendarat di belakang rumah yang mereka tempati. Rumah hancur total karena hempasan batu dan angin. Tiupan angin juga mengakibatkan Ari, Noura, dan Andre terlempar keluar rumah.
Dalam keadaan setengah sadar, Andre memandang sekitar yang sudah menjadi reruntuhan. Ia melihat Noura dan Ari tergelintang tidak berdaya di belakangnya. Sejenak ia berpikir perjalanan yang sangat jauh itu akan berakhir di sana. Ia berpikir tidak akan bisa kembali lagi ke rumah. Perlahan kesadarannya mulai luntur, dan pada akhirnya kegelapan memenuhi matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Sisi: Zaman Baru (TAMAT)
FantasyDi suatu jajaran vana (istilah untuk planet-planet) yang lain, hiduplah dua sosok legendari yang disebut Adam dan Hawa. Jika keduanya "dinikahkan", pihak ketiga yang mempersatukan mereka berdua memiliki satu permintaan bebas. Andre Vellanhar dan Anb...