Sementara itu di tempat lain, Anbar sedang berada dalam hutan dengan pohon yang mempunyai dahan-dahan besar dan tidak teratur bentuknya. Ia terus bersiah; berlari untuk menghindari si predator.
Selia, si Pejalan Waktu, mengintainya dari kejauhan. Ia berpangku di atas dahan pohon sambil menunggu waktu yang tepat untuk menampakkan diri. Karena menjumpai Anbar yang sedang duduk di batang pohon karena kelelahan setelah berlari jauh, ia turun dari atas dan berdiri di hadapannya. Dengan lembut dan senyuman manis, ia menyapa, "Halo,"
Anbar terperanjat dengan kehadiran Selia yang tiba-tiba. Anbar pun segera masuk ke dalam lubang batang pohon yang didudukinya. Ia masuk ke dalam sampai tidak terlihat lagi.
"Tenang," kata Selia. "Aku tidak akan menyakitimu,"
"Aku tidak percaya denganmu," kata Anbar.
"Bagaimana jika aku memberikanmu senjataku?" bujuk Selia. "Apa kau akan keluar dari sana?"
"Boleh dicoba," kata Anbar.
Selia pun menggeserkan belatinya ke dalam batang pohon. Belati itu berhenti di sebuah titik cahaya yang berasal dari lubang kecil di atas batang sehingga Anbar dapat meniliknya dengan jelas.
"Apa teman-temanmu ada di luar?" tanya Anbar.
"Tidak," kata Selia. "Hanya ada aku sendiri di sini,"
"Baiklah, aku akan keluar," kata Anbar. "Tapi sebelum aku keluar, bisakah kau mundur jauh ke belakang?"
Setelah Selia menjauh dari batang pohon, Anbar keluar dengan belati menodong ke arah Selia yang jauh di seberang. Anbar tampak kegentaran; kedua tangannya gemetar saat menggenggam belati berat itu.
"Lihat," kata Selia sambil tersenyum. "Tidak ada yang melukaimu di sini."
Tanpa disadarinya, Anbar menginjak punggung binatang yang sangat besar. Binatang itu tidur di bawah tanah. Benda hitam besar di samping mereka, yang pada awalnya dikira batu, ternyata adalah sebuah kepala. Kepala hitam itu mencelikkan matanya dan memperlihatkan kengerian yang mendalam.
Itu adalah heravos, binatang bertubuh hitam kelam. Dia memiliki tinggi enam meter, dan panjang dua belas meter termasuk ekor. Dia berdiri hanya dengan dua kaki, dan tidak memiliki tangan. Di bagian kepalanya, terdapat tulang hitam yang berbentuk seperti perisai, dan tulang-tulang hitamnya juga menembus kulit di sekitar ekor, punggung, dan kakinya.
Binatang itu mulai bangkit dari tidur panjangnya; dia bangun dari tanah yang mengubur tubuhnya. Dia menunjukkan taring-taringnya yang tajam di hadapan mereka. Anbar tidak bisa bergerak karena takut yang luar biasa. Karena sudah lama tidak memandang sinar matahari, mata heravos tidak bisa melihat dengan jelas; dia hanya menatap Anbar dengan jarak yang sangat dekat. Mata kuningnya membuat Anbar perlahan mundur ke belakang, dan memegang erat tangan Selia.
Tiba-tiba, Helen berlari ke arah mereka, lalu menjotos Selia dengan keras hingga terpental jauh. Karena yang dipikirkannya hanya keselamatan Anbar, Helen yang terburu-buru tidak menyadari kehadiran heravos sejak awal. Tidak banyak berpikir lagi, Helen langsung menyentak tangan Anbar dan lari bersamanya. Mereka meninggalkan Selia di belakang.
"Tunggu dulu," kata Anbar. "Bagaimana dengan Pejalan Waktu itu? Kita tidak bisa membiarkan dia sendirian di sana,"
"Kurasa bisa." kata Helen dengan santai.
Heravos menyusul mereka dengan cepat. Menggunakan kepalanya, binatang besar itu menumbangkan Helen dan Anbar. Ketika membuka matanya, Helen menjumpai heravos berdiri di antara dirinya dan Anbar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Sisi: Zaman Baru (TAMAT)
FantasíaDi suatu jajaran vana (istilah untuk planet-planet) yang lain, hiduplah dua sosok legendari yang disebut Adam dan Hawa. Jika keduanya "dinikahkan", pihak ketiga yang mempersatukan mereka berdua memiliki satu permintaan bebas. Andre Vellanhar dan Anb...