Chapter 12

1.3K 211 25
                                    

Perasaan kita rusak, retak satu-satu.

Betapa tidak ada yang dapat mengerti tentang hati, segalanya hanya menjadi pertanyaan besar. Yuki termangu, ia baru tersadar tatkala suara berat Stefan menginterupsi. Laki-laki itu mencoba memakaikan jaketnya ke tubuh si perempuan lantaran hujan deras tiba-tiba menghantam bumi, padahal mereka masih dalam perjalanan pulang ke rumah. Hati berdebar, butiran-butiran basah bercampur aroma menyegarkan layaknya embun pagi tercium damai. Stefan sangat perhatian, dan ini begitu dirasakan Yuki. Sekalipun hubungan mereka menjadi sebuah kesalahan, sedari awal perasaannya tidak berubah. Semakin dingin, tangan Stefan tergerak menutup kepala Yuki dengan tudung jaketnya. Dia lucu, tubuhnya yang tidak lebih besar dari Stefan terlihat kebesaran mengenakan itu.

Ada kebahagiaan di tengah kepedihan hati. "Sudah merasa lebih baik?"

Jaket berwarna merah dengan tekstur kain yang lembut juga hangat, Yuki mengangguk menjawab pertanyaan Stefan. "Terima kasih."

Lupakan tentang luka-luka, aku sudah berjanji akan memelukmu.

Hanya ada mereka berdua, berdiam di halte menunggu sampai hujan mereda. "Stef."

"Ya?"

"Kita..." Yuki menggigit bibirnya takut-takut. "Apa akan terus seperti ini?"

Dan ternyata, kenyataan lebih menampar dibandingkan keinginan. Untuk sesaat Stefan menyisir poninya dengan tangan, lalu menunduk agar bisa menembus langsung jelaga Yuki. "Kau takut?"

"Aku bukannya takut, tapi khawatir."

Memangnya apa yang bisa mereka lakukan? Yunav sudah tahu seluruhnya, kapanpun dia bisa seenak hati membuka mulut pada semua orang mengenai perlakuan Yuki di belakang. Melihat kecemasan itu, Stefan juga memikirkan hal sama. Hari ini hujan seperti hari-hari lalu, dan mereka masih saja mengharapkan tetesan yang sama. Balok-balok es mulai mencair, sekeping hatinya kian meluluh bersamaan dengan suara guntur yang saling bersahutan. Di dalam lubuk terdalam, sekeping hati Yuki menyuarakan. Bolehkah ia berhenti? Hujan ini, adalah air matanya. Tidak henti ketakutan itu terus menyadarkan.

"Yuki, jangan terlalu membebani dirimu."

"Tapi..."

"Kau tidak perlu khawatir." Terjebak bersama dalam ilusi, Yuki balas menatap karamel indah milik Stefan. Mereka terus bertatap, hingga tanpa segan menempelkan bibir masing-masing yang hanya berlangsung lima detik. "Aku baru menyadari, kau sekarang terlihat semakin berisi."

Ini bukan waktu yang tepat untuk melucu, namun ucapan Stefan membuat Yuki mendengus. "Kau menyadari?"

"Pipimu semakin bulat, matamu bahkan hampir tidak terlihat." Berlebihan.

"Kenapa kau tidak berbohong saja seperti kebanyakan laki-laki dengan mengatakan aku seksi?"

Justru karena jawaban polos Yuki, senyum Stefan semakin lebar. "Memangnya siapa yang bisa menyangkal keseksianmu?"

"Stef, kau tidak bisa seenaknya mengatakan hal itu pada gadis sepertiku."

Waktu mungkin terus berlalu, namun sejauh ini mereka saling mengharapkan agar perasaan masing-masing tetap sama. "Kita sudah lama tidak berkencan, kau mau malam ini pergi denganku?"

"Apa aku bisa menolak?" Rintik hujan yang tudak kunjung mereda, Stefan merangkul tubuh Yuki erat lantaran mendengar jawaban yang keluar dari mulutnya.

Mereka egois.

Yuki membiarkan dirinya terlena.

Setidaknya, dengan bersandar di bahu lebar Stefan dapat membuat hatinya tenang sejenak.

ResetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang