Chapter 1

2.9K 305 42
                                    

Sepanjang sisa pelajaran, Yunav tidak hentinya bercerita mengenai kejengkelannya pada Stefan. Akhir-akhir ini hubungan mereka memang merenggang, dan Yuki cukup sadar diri. Yuana Navilia Tessa menjalin hubungan dengan Geraldi Stefano semenjak sekolah menengah atas, Yuki sedikit menahu tentang itu dari beberapa orang. Bukti semakin kuat ketika Yunav dengan senang hati membenarkan. Akan tetapi, sebenarnya hubungan mereka sedikit rumit. Sejak awal si lelaki agak dingin, dia tidak begitu perhatian dan lebih sering seenaknya sendiri. Aneh sekali, padahal jika bersamanya Stefan hampir tidak pernah berlaku demikian. Lantas, Yuki melirik ke arah bangku di baris depan. Stefan terlihat tenang, mendengarkan dengan seksama penjelasan Pak Fujiwara.

"Beritahu aku bagaimana cara mengatasi laki-laki sepertinya?" Emosi Yunav mudah meledak. Sekali waktu Yuki pernah mendapatinya bertengkar dengan Stefan, tidak tanggung-tanggung perempuan itu melayangkan sebuah tamparan. "Kau tahu sendiri kan Yuki bagaimana tabiatku? Aku benar-benar tidak sabaran."

Mungkin ini yang mendasari ketertarikan Stefan padanya, sikap Yuki selalu lembut dan terkontrol. "Dia mungkin sedang lelah, aku melihat kalian bertengkar minggu lalu. Ingat? Kau mendorongnya cukup keras."

"Tapi tidak perlu dengan cara seperti ini juga, menghindariku sepanjang hari. Dasar menyebalkan!"

Berapa kali Yuki sudah menuturkan untuk tidak bersikap kasar, perempuan sepertinya harus memiliki kesabaran besar. Diam-diam memikirkan sesuatu, entah apa jadinya nanti jika Yunav tahu mengenai perilaku Stefan di belakang. Senang menggoda teman kekasihnya, melakukan hal di luar batas. Sialnya, Yuki juga tergoda. Stefan sangat tampan, boleh dibilang ia menyukai laki-laki itu mulai dari masa orientasi. Tapi semua tidak berjalan mulus, ini lebih gila karena Stefan setiap saat terus mendesaknya, memberinya tipu daya agar Yuki mau dengan senang hati mengangkang untuknya. Lalu sekelibat fantasi buruk kembali bermunculan, berani bertaruh Yunav akan membunuhnya nanti.

"Aku tidak mengerti sejak kapan kau memiliki kebiasaan melamun ketika temanmu mengajak berbicara?"

"Nav, kecilkan volume suaramu. Pak Fuji bisa menghukum kita jika sampai dia tahu kita terus mengobrol sejak awal pelajaran."

Rautnya berubah datar. "Baiklah, baiklah."

Yuki berteman baik dengan Yunav semenjak sekolah menengah pertama. Tidak seperti kebanyakan orang yang menjadi akrab karena terbiasa bersama, keduanya justru sempat terlibat adu mulut karena sebuah masalah sepele. Dua puluh lima menit terlewati, bel baru berbunyi hingga membuat Pak Fujiwara mengakhiri mata pelajarannya kali ini. Guru itu memberikan salam terlebih dulu, lalu pergi dengan menenteng dua kitab tebal. Masih diliputi amarah, Yunav memandangi Stefan yang mengenakan tas ranselnya sembari keluar dari kelas. Yuki jadi heran, mereka sepasang kekasih tapi perlakuan satu sama lain layaknya musuh bebuyutan. Hanya sesekali saja ia pernah melihat kemesraan mereka, itu pun sebelum kenakalan yang diperbuat Stefan padanya.

"Lihat, dia langsung pergi seenaknya."

"Ini hari selasa Nav, ada jadwal ekskul basket."

Benar juga, Yunav memilih menghela nafas jengah. "Kau piket hari ini?"

"Ya."

"Aku tinggal terlebih dulu apa tidak masalah? Oscar dan Dipa terus mengomeliku karena pulang terlambat." Satu-satunya anak perempuan di keluarga, Yunav kehilangan sang Ibu saat baru berusia dua bulan. Selama itu, ia tumbuh dengan dua kakak laki-laki dan Ayahnya. Yuki maklum, mengangguk tenang sambil lalu memasukkan perlengkapan sekolahnya ke dalam tas. "Aku pulang dulu, Yuki."

"Hati-hati Nav."

Tersisa ia sendiri, Yuki lagi-lagi harus menghela napas dan mulai mengambil penghapus. Seharusnya jadwal piket hari ini dengan Dinda, namun anak itu absen karena sakit. Omong-omong, Yuki jadi penasaran apa benar Stefan ada ekskul basket. Tadi itu ia menjawab pertanyaan Yunav sekenanya, secara tidak langsung malah memberi pembelaan pada Stefan. Yuki meringis geli, beralih menyapu lantai kelas. Sampai saat ini, hubungannya dengan Stefan masih ambigu. Kepalanya masih batu untuk menerima segala bujuk rayu, Stefan dan segala ketidak baikan pada dirinya membuat Yuki was-was. Lebih cepat lebih baik, ia segera meninggalkan kelas setelah seluruhnya bersih. Masih pukul dua lebih lima belas, sekolah terlihat cukup sepi.

ResetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang