Sudah sepuluh menit, Yunav menguap malas menunggu kemunculan Oliver yang tidak kunjung terlihat. Situasi ini sungguh paling ia benci, menunggu di detik-detik membosankan. Lima menit lagi, jika sampai Oliver tidak juga menampakkan batang hidungnya maka Yunav memilih angkat kaki dari sini. Untung saja hal itu tidak terjadi lantaran Oliver terlihat baru saja membuka pintu kafe dan memesan minuman terlebih dulu. Matanya mencari, mendapati Yunav tengah mengangkat wajahnya hingga netra mereka saling berserobok. Oliver lantas melangkah santai ke tempatnya. Anehnya, tidak ada perasaan canggung atau pun gugup. Dia selalu kalem dan terkontrol, berbeda seratus derajat dengan Yunav.
"Kau sudah lama menunggu?"
"Sudah sejak satu abad lalu." Intonasinya kentara sangat datar. "Ayolah, jangan berlama-lama. Apa yang sebenarnya ingin kau katakan padaku?"
Oliver mengangguk sembari mendudukkan dirinya di kursi. "Biasakan bersikap tenang, kau selalu saja terburu-buru."
Itu benar, Yunav selalu tidak sabaran. "Waktuku akan sia-sia jika kau mengatakan hal yang tidak berguna, Olie. Jangan membuatku naik pitam."
Menyangkut kehidupan semua orang, Oliver perlu meluruskan masalah yang menjerat mereka. Stefan dan Yuki yang main belakang, Yunav yang terkhianati, bahkan dirinya yang juga berada di posisi serba salah karena telah melakukan suatu kekhilafan. Tidak! Itu tidak benar. Oliver mengakui jika ia cukup menikmati ciumannya tempo lalu bersama Yuki. Tiba-tiba muncul rasa ingin memiliki, ingin mendapatkan sesuatu yang lebih dari ini. Ayolah, Oliver lebih memilih tidak menjadi munafik. Godaan tubuh Yuki yang luar biasa menjadi idaman semua lelaki sungguh sulit ditepis. Setiap lekuknya menawan, dari kepala hingga ujung kaki. Ditambah lagi sifat malu-malunya, sisi feminim itu kentara mengundang.
"Katakan dengan jujur apa kau masih menyukai Stefan?"
Apa pertanyaan barusan penting?
Yunav mendengus sambil lalu menyedot jus jeruknya. "Aku malas membahas ini, kepalaku tiba-tiba pusing."
"Jawab saja, Nav. Aku hanya bertanya."
"Siapa yang akan menyukai laki-laki brengsek itu selain mantan temanku?" Terkesan cukup kasar. "Lagi pula, kau seharusnya tahu jika aku juga bermain belakang."
Oliver tahu, kekasih Yunav yang sekarang adalah teman kecilnya semasa sekolah dasar. Tidak ada yang tahu mengenai ini, beruntunglah Stefan karena Oliver dengan senang hati membuka mulut untuk membeberkan rahasia. Akan tetapi, rupanya Yunav lebih pintar dan piawai bersembunyi. Di luar dugaan Oliver, wajah bengisnya sama sekali tidak menyiratkan kesedihan apapun tatkala hubungannya dengan Stefan usai. Ada sesuatu yang lebih membebani, dan Yunav dua kali lipat lebih terpuruk hanya karena itu. Kepercayaannya pupus, Yuki yang telah ia anggap seperti keluarga nyatanya telah melakukan kesalahan besar. Cukup menunggu, Yunav bersumpah jika temannya itu lebih bersabar maka situasinya akan lain.
"Sudah jelas bukan? Aku pikir ini sama sekali bukan hal penting." Oliver belum selesai, masih banyak pertanyaan di kepala. Namun melihat Yunav membuka ponselnya, ia akhirnya memilih diam. "Maafkan aku, Leon telah menunggu di luar. Aku tidak bisa berlama-lama."
Leonard Narda.
Oliver mengingat wajah laki-laki keturunan Belanda itu sepersekian menit. "Aku bahkan belum sempat mengutarakan maksudku."
"Apa masih perlu?" Kecantikan wajah dan sifat yang tidak sikron, Yunav benar-benar bermulut tajam. "Dengar, Olie. Kau tidak bisa bertingkah seenaknya dan berpikir akan dengan mudah merebut Yuki, bermimpi saja sana!"
Dia pikir bisa mengelabuhi Yunav?
Itu hal bodoh.
"Tunggu, apa yang sedang kau bicarakan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Reset
FanfictionApa arti sebuah cinta? Oosaki Yuki tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini dirinya jadi mudah sekali terpedaya pada seorang Geraldi Stefano, kekasih teman dekatnya. Masalah kian rumit ketika Yuki sendiri tidak bisa menahan hatinya, hingga ia akhirnya...