Chapter 16

1.2K 190 21
                                    

Selalu.

Meski duniaku tertutup kabut, meski senyumku tidak dapat menghalau rasa takut. Aku tetap berdiri dengan segala luka-luka itu.

Selamanya.

Sudah dua setengah tahun berlalu, Stefan sungguh tidak menduga jika hubungannya dengan Yuki bisa berlangsung hingga sekarang. Niat awalnya memang hanya sekedar bermain-main, tapi pada akhirnya ia jatuh pada permainannya sendiri. Bodoh memang, laki-laki sepertinya ini tidak layak mendapatkan cinta. Berani bermain api, berani menyulut api, seharusnya yang dia dapatkan hanya nyala panas. Dari waktu ke waktu, hidupnya sedikit banyak mulai berubah. Menjalani rutinitas sebagai mahasiswa, Stefan cukup sibuk mengatur waktu untuk bisa berkencan dengan si perempuan. Sudah begitu, Ibunya terus-terusan menuntut Stefan untuk menjadi pribadi lebih serius mengingat ia bukan lagi seorang remaja. Tahun ini ia berusia dua puluh tahun, sama halnya Yuki.

"Anginnya terlalu kencang." Menghabiskan minggu sore berdua di tepi pantai, ada begitu banyak kebahagiaan yang menyertai. "Kau bisa sakit nanti."

Yuki tersenyum tipis, membiarkan Stefan menutupi tubuhnya menggunakan jaket milik laki-laki itu. "Terima kasih."

Sebisa mungkin mencari rasa nyaman, mereka sama-sama menikmati hening. Hanya terdengar tiupan angin kencang, ombak di lautan yang tanpa ampun menabrak karang, kemudian mendung yang semakin berkumpul hingga warnanya berubah pekat. Di detik ini, Yuki masih mengharapkan bisa berteman baik lagi dengan Yunav, sayangnya sejak kelulusan dia malah pindah ke kota lain untuk menempuh pendidikan lebih tinggi. Tidak satu kali pun mereka bertemu, berimbas pada Yuki yang enggan melupa kesalahannya tempo hari. Stefan selalu mengatakan untuk tidak kembali mengingat masa lalu, tapi Yuki tidak mampu melakukan.

"Aku bertemu Oliver kemarin di Bowling Centre, tapi aneh sekali karena dia tidak sedikitpun menggubrisku."

"Dia dengan siapa?"

"Dengan adiknya."

Sekali helaan napas, Stefan menatap jelaga Yuki semakin dalam. "Aku tidak pernah bertemu dengannya sudah lebih dari dua bulan, dia jarang ada waktu untuk bisa berkumpul."

"Apa mahasiswa Teknik Sipil sesibuk itu?"

"Mungkin saja, lagi pula dia sulit dihubungi." Tidak terhitung sudah ke berapa kali Stefan menghela napas. Ia lantas membuka minuman kaleng, lalu menyodorkannya pada Yuki. "Ini, minumlah."

Sesejuk embun pagi, tidak ada yang lebih meneduhkan selain senyum hangatnya. Yuki tersipu, pipinya memerah malu-malu. "Kau tahu Stef? Sepertinya aku harus mendengarkan nasihat Una agar segera melakukan program diet. Bobot tubuhku terus bertambah setiap minggunya."

Itu benar.

Semakin hari Yuki jadi lebih berisi, tapi Stefan justru sangat menyukai. "Untuk apa? Aku malah menyukaimu yang seperti ini, jika terlalu kurus maka tidak ada sensasi apa-apa ketika dipeluk."

Mesum seperti biasa, Yuki mendengus jengah. "Serius, aku benar-benar harus melakukan program diet."

Yuki memang lebih berisi, juga lebih seksi.

"Demi Tuhan aku sudah menahan diri cukup lama, jangan membuat harapanku pupus karena nantinya harus bercinta dengan perempuan kurus. Kau cantik sayang, kau sangat seksi. Aku menyukainya."

Lupakan tentang orang-orang di sekitar, tampaknya Stefan merasa jika dunia telah menjadi milik mereka berdua. Sejak awal begini, Geraldi Stefano sungguh tergiur akan tubuh Yuki yang tengah mekar-mekarnya layaknya bunga. Meski dia tidak setinggi Yunav, tapi lekuknya luar biasa mengundang. Stefan tertarik hingga rasanya seperti obsesi, ingin memiliki semua keindahan itu seutuhnya. Lalu sekarang, Yuki merasa tubuhnya berubah menjadi lebih kurvi. Porsi makanan serta kebiasaannya yang tidak suka berolahraga akhirnya menciptakan timbunan lemak di beberapa bagian tubuh. Awalnya ia masa bodoh, mulut besar Harunalah yang menyebabkan Yuki kurang percaya diri.

ResetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang