Π THIRTY-ONE Π

4.7K 309 10
                                    

"Pemikiran kayak gitu gue nggak setuju banget. Siapa sih yang bilang?"

***

Suara decitan pintu terdengar, Niken segera mengalihkan pandangannya. Wanita itu langsung berdiri, menghampiri Ralika dengan sorot khawatir, lalu memeluk erat keponakannya itu yang hanya diam menerima.

"Kamu buat Tante khawatir," ucap Niken disela-sela pelukan, "jangan lakuin hal yang bahaya kayak gitu lagi Ika."

Elusan lembut itu membuat senyum kecil di bibir Ralika. Sebenarnya ia juga tak bisa mengelak kalau pecahan kaca tadi membuatnya sakit kepala, walaupun sebisa mungkin ia melawan rasa takut di hatinya.

Ralika berusaha untuk kuat dari dulu, tapi betul kata orang. Hal yang paling ingin dilupakan justru malah akan selalu terekam di memory. Selalu saja seperti ini, dari kecil pun ia tak bisa melawan pria itu, mungkin tubuhnya bisa tapi hatinya, tak akan pernah sanggup.

Suara erangan kecil terdengar, Niken merenggangkan pelukannya. Melihat ke belakang di mana Nilam membuka matanya perlahan, mengerjap-ngerjap menyesuaikan cahaya yang terkena irisnya.

"Kakak." Mereka berdua segera mendekat. Begitupun El yang diam layaknya anak baik di depan pintu tadi. Ia hanya tak tau harus bertanya apa, penasaran tapi takut salah.

"Ika."

Nilam sedikit kesulitan bangun, mungkin karena tubuhnya yang melemah. Tanpa diminta, Niken segera membantunya. Tatapan Nilam tak henti-hentinya memandang Ralika, ia menatapi tiap inci wajah putrinya itu dengan lembut. Ralika masih tetap sama. Tapi perbedaan pasti ada, Nilam tak pernah melihat Ralika tersenyum, rambutnya yang dulu suka diurai kini terlihat rapi dengan kuncir satu. Matanya tetap indah, meski sekarang lebih tegas.

Wanita itu merentangkan tangannya, dengan air mata yang mulai menggenang. Tak ada suara ketika Ralika menyambut pelukan itu, ia melepas seluruh rasa rindunya. Ingin rasanya waktu terhenti saat ini, sekalipun mimpi Ralika tak akan mau ini berakhir.

"Maafin Mama, mama udah lupa sama kamu, sama Nayla."

Tak ada jawaban dari Ralika. Ia hanya menutup matanya. Dari dulu, Nilam selalu saja menangis. Ralika benci akan hal itu, dan penyebabnya tetap sama. Satu pria yang bahkan tak pernah menganggapnya manusia, yang selalu menyalahkannya setiap saat padahal ia tak melakukan kesalahan apapun.

Mungkin benar, keinginan Hendra telah menjadi obsesi. Bukan salah Nilam yang tak memberi keturunan laki-laki seperti yang diharapkan pria itu. Kilasan demi kilasan memutar, Ralika ingat betul bagaimana mamanya dulu yang setiap hari harus menyembunyikan luka disekujur tubuhnya dengan baju panjang agar tak terlihat olehnya.

"Nggak, sekarang nggak ada namanya air mata. Mama nggak salah."

Ralika langsung menghapus buliran itu dari pipi Nilam, lalu menggeleng menyakinkan.

"Mama ingat Ika itu udah cukup, udah banyak yang mama alami, tolong jangan minta maaf."

Tatapan Nilam berubah meredup, bukan hanya luarnya saja Ralika berbeda dari sewaktu dirinya belum koma. Tak ada air mata yang biasanya selalu tumpah. Nilam menatap Niken seolah meminta jawaban, ia memang ingin Ralika kuat. Tapi kenapa sekarang hatinya seolah membatu?

Ralika menatap sebentar Niken lalu berkata, "Tante, Ika udah telfon Bi Leli buat antar Nayla ke sini."

Niken hanya mengangguk, ia tak bertanya apapun meski dirinya mau.

"Ma, Mama harus istirahat, untuk kejadian tadi biar Ika yang urus. Jangan banyak pikiran."

Ralika melangkah keluar dengan cepat. El masih di ruangan, pandangannya sedikit kebingungan. Dengan pikiran yang masih terkontrol, cowok itu mendekat lalu meraih tangan Nilam.

RA-EL✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang