02. Tipe Ideal

6.8K 753 165
                                    



Musim dingin, tiga tahun yang lalu.



"Akk!"

Jongin menabraknya, kotak kacamata dan ponsel yang ada di tangannya bahkan terpental cukup jauh sehingga Jongin terpaksa memunguti sembari mulut mengucap kata maaf terus-menerus.

"Maaf, maafkan saya. Apa Anda tidak apa-apa?"

"Saya tidak apa-apa. Saya baik-baik saja."

Kala Jongin mengangkat kepala dan menyodorkan kotak kacamata dan ponsel, di saat itulah ia melirik sepenuhnya bagaimana teduh wajah putih bersih yang tanpa noda. Indah sekali.

Jongin sebenarnya selalu kontra dengan ungkapan terjatuh terpesona pada pandangan pertama, akan tetapi lelaki mungil ini mengalihkan segalanya. Benar, dia adalah seseorang lelaki yang mungil dan begitu padat; bukan gadis cantik jelita dengan buah dada yang membengkak.

Jongin suka mata yang bulat itu, begitu jernih dan berkilau. Jongin juga ingin memuja bibir tebal yang begitu merah, tanpa diberi pelembab apa pun, bibirnya terlihat begitu basah. Belum lagi aroma khas yang menguar dari tubuhnya, aroma buah stroberi yang disusul oleh aroma vanila, gurih sekali. Padahal itu adalah aroma yang begitu feminin, tetapi begitu cocok sekali untuk dia yang sejatinya adalah lelaki.

"Ah, maaf. Saya terburu-buru." Dengan cepat kedua tangan meraih ponsel serta kotak kacamata di tangan Jongin dan menyimpan barang-barang itu di saku celana. Sontak saja tangan yang bersentuhan membuat Jongin tersadar lamunan terbuai keindahannya.

Dia lantas menaiki elevator yang berada tepat di depan mata. Tak pula ia menahan pintu sembari berucap lembut. "Apa Anda mau menggunakan elevator juga?" tanyanya yang membuat Jongin cepat-cepat ikut menaiki.

"Lantai berapa?" Dia bertanya kembali setelah Jongin masuk ke dalam elevator.

"Lima," jawab Jongin.

"Ah, kita sama." Dia tersenyum sembari menekan tombol nomor lima. Tak lupa ia melirik Jongin sekilas dengan senyuman manis.

Ah, Jongin menjadi kacau balau; bertambah lagi poin keindahannya hanya dengan satu senyuman yang menyempil di wajah yang gembil. Bibir yang sekelebat menjadi berbentuk hati ketika tersenyum, membuat Jongin semakin berdesir. Dia sungguh tak habis pikir bagaimana Tuhan bisa menciptakan seseorang dengan begitu sempurna, begitu menawan. Dalam sekejap, lelaki mungil ini sudah menjadi tipe ideal pasangan hidup yang Jongin inginkan.

"Saya suka stroberi dan vanila." Jongin memecah keheningan, membuat ia menoleh ke belakang punggung dan berkernyit. "Aromamu, sungguh enak untuk dihirup." Jongin menambahkan ucapan sembari tersenyum tipis.

"Ah! Ini." Dia ikut menghirup lengan kiri dan kanannya kemudian. "Padahal banyak orang yang mengatakan ini tidak maskulin. Kekasihku bahkan membenci aroma ini."

"Sudah punya kekasih?" Sontak roman kecewa tersirat di wajah Jongin. Padahal baru saja ia akan menanyakan apa merek parfum yang digunakan dan lantas meminta nomor ponselnya untuk modus bertukar pendapat tentang pengharum tubuh sebagai usaha pendekatan.

Dia terkekeh. Demi Tuhan, semakin indah saja dipandang. Gigi-gigi yang putih bersih menyempil di sela-sela bibir berbentuk hati; Jongin semakin tergelitik. "Jika sudah sebesar ini belum memiliki kekasih, barangkali saya akan terkucil," candanya dengan kekeh rendah.

Baru saja Jongin akan menanggapi, tetapi pintu elevator sudah berbunyi dan terbuka begitu saja sehingga membuatnya dengan segera berpamitan.

"Ah, kalau begitu saya duluan." Tidak lupa ia menundukkan kepala; tanpa berniat mendengar jawaban Jongin, terburu-buru langkah kaki berderap meninggalkan elevator.

Love Affair Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang