"Makasih ya, udah anterin."
Fany turun dari motor Fajar, tersenyum malu-malu seraya menyerahkan jaket Fajar yang tersampir di bahunya. Kemudian merapikan poninya yang sedikit berantakan karena diterpa angin. Fajar hanya mengangguk saja, sambil mengenakan jaketnya kembali.
"Sorry, udah repotin."
"Iya."
Dingin banget, ucap Fany dalam hati. "Mau mam—"
"Duluan." Fajar memotong, segera menarik gas dan melajukan motornya.
Fany menghela napas kecewa, menatap sendu motor Fajar semakin jauh. Dalam sekejap sudah hilang dari pandangannya. "Bener ya. Cowok dingin itu susah dideketin," sambil membuka pagar dan melangkah masuk ke dalam rumah yang tampak gelap gulita. Nggak ada yang bisa gantiin Richo.
Di lain sisi, Fajar mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Entah mengapa malam ini rasanya begitu dingin. Fajar tidak berani melaju kencang, bisa bahaya untuk paru-parunya—tidak sekarang, tapi nanti saat sudah menua. Omong-omong, Fajar masih berada di kawasan perumahan Fany. Letak blok rumah gadis itu cukup jauh dari gerbang masuk.
Keluar dari kawasan perumahan, tidak berapa jauh dari sana ada sebuah minimarket. Fajar teringat persediaan bahan makanan di dalam lemari sudah habis. Fajar menepikan motor dan berhenti di depan minimarket. Ia melepas helm, membiarkan rambutnya berantakan begitu saja. Kemudian masuk ke dalam dan menjelajah ke rak makanan instan. Ia juga mengambil beberapa bungkus camilan, yang akan menemaninya nonton bola tengah malam nanti.
Setelah semua barang masuk ke dalam keranjang, Fajar lalu membawanya ke kasir. Antri di belakang seseorang yang menutupi kepalanya dengan tudung jaket. Mengenakan celana training hitam dan sandal biru berbulu.
"Total belanjanya jadi 34.500," kata si penjaga kasir.
Fajar memerhatikan gelagat orang itu meraba saku celana dan jaketnya, tapi tidak ada apa-apa. Sepertinya lupa bawa uang, duga Fajar.
Atas inisiatifnya sendiri, Fajar mengeluarkan dompet dan mengambil selembar uang berwarna biru, menyerahkannya ke penjaga kasir. "Biar saya yang bayar."
Sontak orang itu menoleh ke belakang. Dengan senyum sungkan ingin mengucapkan terima kasih pada Fajar, namun tanpa sengaja laki-laki itu menjatuhkan keranjang belanjaannya sendiri. Orang itu berjengit kaget, sedang Fajar diam mematung. Pupil matanya membesar, bibirnya bergetar tidak percaya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya orang itu khawatir. Fajar tidak merespon sama sekali. Melihat barang-barang Fajar tercecer di lantai, lagi pula Fajar masih berdiri mematung, lantas ia berjongkok memungutnya dan memasukkannya ke dalam keranjang.
Fajar segera sadar dari lamunan. Ia beralih memunguti barang-barangnya, sambil menatap orang itu walau tertutup oleh rambut cokelatnya yang menjuntai. Dilapisi pula dengan tudung jaket. Tetapi Fajar masih mengingat wajahnya.
"London, 2 tahun yang lalu. Saya dan kamu pernah bertemu."
a/n:
pertemuan kedua yang tidak disangka-sangka. semesta mulai mendukung ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fajar & Senja
FanfictionSemesta selalu memiliki banyak cara yang terkesan misterius untuk menyatukan dua langit yang berbeda.