Nekat.
Adalah hal yang Fajar lakukan di pagi buta tanpa pikir panjang risiko yang dialaminya saat mengajak Senja menghabiskan satu hari penuh di belahan bumi Brawijaya. Perjalanan yang cukup memakan waktu lama, apalagi di hari libur panjang yang semua orang akan pergi berkreasi ke sana. Hanya bermodal motor Scoopy milik Jovi, sohib dekat Jaya yang memang berkuliah di Surabaya, pemuda Langit itu mengendarainya dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan yang ramai kendaraan di pagi buta. Memboncengi Senja yang taku-takut akan aksi nekatnya, dipikir sudah tidak waras.
Iya, itu juga karena kamu, gadis Senja.
Tiga jam perjalanan yang ditempuh cukup membuat tulang ekor dan punggung mereka sedikit encok. Fajar tidak singgah di satu tempat untuk beristirahat. Berhenti hanya untuk mengisi bahan bakar, itu pun sebentar sebelum akhirnya kembali melanjutkan perjalanan.
Berpijaklah dua sejoli itu di kota wisata. Sejuknya udara meskipun matahari sudah naik ke singgasananya masih dapat dirasakan. Benar, bumi Brawijaya memang berbeda. Sepanas apapun kota Paris of East Java ini, hawa sejuk masih mendominasi serta keindahan alam yang mampu memikat wisatawan dari luar.
"Tujuan kita kemana?" tanya Senja saat laju motor Fajar berhenti di prapatan lampu merah.
"Sarapan dulu," jawab pemuda Langit itu. Sambil melirik arlojinya, "Tapi jam segini belum ada restoran yang buka. Kecuali cepat saji yang 24 jam," katanya lagi.
"Kamu lupa ya, kalau kota ini bukan metropolitan?"
"Oh, iya. Maaf."
Senja terkekeh. "Di sini banyak yang murah, tapi enak. Kalau kamu mau..."
"Enak tapi nggak sehat. Sama saja bohong, Matahari."
"Berarti kamu pemilih."
"Kalau urusan rasa, pilihnya cuma kamu."
"Terusin aja. Terusin, Langit."
Fajar tertawa di balik masker yang menutupi wajahnya. Netra cokelat itu melirik Senja yang berpaling dari kaca spion. Gadis Mataharinya mencuatkan bibir seraya melipat tangan di dada.
"Jadi, kamu mau di mana?" tanya Fajar yang siap-siap menarik pedal gas ketika lampu merah mulai berhitung mundur dari angka 10.
Senja menatap pantulan Fajar dari kaca spion. Bibir ranum itu lantas tersenyum lebar.
"Ke tempat yang bikin kamu nggak akan milih-milih, juga bakal jatuh cinta sama makanannya."
—
Fajar diam menatap piring di hadapannya. Asing dengan nasi yang disajikan hanya terdiri dari sambal goreng, tempe, telur bulat, sepotong empal daging yang sangat kecil dan taburan serundeng di atasnya. Lalu hanya ada dua pilihan minum; air putih atau teh yang bisa direquest hangat maupun dingin. Sementara Senja menikmati sekali menu sarapan yang tidak berbeda jauh dengannya.
"Nggak dimakan?" pertanyaan Senja barusan berhasil membuyarkan lamunan Fajar sampai tidak sadar kalau dirinya sudah lama berdiam menatap kosong piringnya di meja.
"Iya. Dimakan," jawab Fajar singkat. Segera mengambil sendok yang sudah bengkok ujungnya. Membuatnya terdiam sejenak dengan alis bertautan menatap sendok di genggaman.
"Udah, dipake aja. Sisanya cuma ada yang kayak gitu," ujar Senja tersenyum tipis. "Tapi saya jamin deh. Sendok yang kamu pegang nggak seberapa dari enaknya nasi campur Madura."
Walaupun sebelumnya Fajar tidak yakin, tapi begitu sesuap nasi campur masuk ke dalam mulutnya, Fajar membenarkan ucapan Senja tadi. Nasi Madura yang ia coba memang enak. Dan pertama kalinya ia jatuh cinta dengan makanan sesederhana itu.
Pertama pula baginya belajar menghargai sesuatu yang tidak bisa dinilai dari bentuk luarnya.
"Kamu tau, Fajar?" Senja menjeda kalimatnya untuk menelan sisa makanan di dalam mulut sembari menyeduh teh hangat yang sebelumnya sudah ditiup-tiupi. "Hidup yang kita jalani ini nggak melulu tentang kemewahan. Ada kalanya kita harus bersikap sederhana di belahan bumi mana pun kaki kita berpijak."
"Kesederhanaan banyak mengajari kita untuk menghargai sesuatu yang bernilai kecil tapi punya makna lebih dalam hidup. Dibanding bergelimang dalam kemewahan, diisi dengan kekosongan hati, tersiksa lalu lenyap dalam sekejap. Namun kesederhanaan, rasa syukur yang kamu dapatkan di dalamnya senantiasa membawa kamu dalam kecukupan," ujar Senja dengan kata-kata bijaknya. Lagi-lagi membuat Fajar jatuh dalam pesonanya, yang hanya dia saja yang bisa membutakan mata Fajar.
Karena gadis Februari ini, ia mengajarkan banyak hal yang tidak bisa Fajar temukan pada gadis lain.
"Kalau begitu, sama seperti rasa yang saya punya buat kamu." Fajar menatap Senja tepat pada bola matanya yang indah. Lalu tersenyum penuh makna.
"Sederhana, bukan hanya karena apa adanya kamu. Tapi ketika saya ada bersama kamu, menikmatinya, membiarkan mengalir dan meresapi tanpa ada tetapi."
a/n : selamat malam minggu! masih ada sisa nyawa baca chapter ini? :')
KAMU SEDANG MEMBACA
Fajar & Senja
FanfictionSemesta selalu memiliki banyak cara yang terkesan misterius untuk menyatukan dua langit yang berbeda.