Fajar berdiri di depan cermin besar, melihat pantulan dirinya berbalut kaos hitam polos yang dipadukan dengan jaket denim dan celana jeans gembrong yang membuatnya tampak seperti anak muda 90an. Ia mengusap-usap rambut, menatanya dengan rapi, sambil bersiul.
"You look good!"
Setelah memuji penampilannya, Fajar menyambar kunci motor di atas nakas dan helm yang tergantung di tempatnya. Yap! Weekend ini Fajar ada janji nonton bareng sama teman-temannya. Film yang lagi booming, salah satu film andalan Marvel yaitu Guardian of the Galaxy. Rencananya mereka akan menonton di hari pertama film tersebut dirilis, tetapi karena antusias dari penggemar Marvel sangat tinggi, penjualan tiket pun hanya tersisa bangku barisan depan yang membuat mereka enggan mengambilnya dan mengubah rencana jadwal nonton di hari weekend berselang satu minggu setelah film dirilis.
Fajar melirik jam tangan. Masih ada waktu untuk bersantai sekedar duduk-duduk di teras rumah, sambil menikmati taman buatan Mama yang sangat indah, yang selalu bibi rawat meski Mama sudah tidak lagi tinggal di rumah. Fajar tersenyum tipis. Andaikan waktu bisa terputar kembali, ia ingin hubungan Mama dan Papa harmonis selalu. Setidaknya sampai ia bisa memberikan cucu. Sayangnya, harapan Fajar tersebut sudah pupus karena mereka saling memilih ego dan bahagia dijalannya masing-masing.
Fajar mengambil buku catatan kecil dan penanya di dalam tas. Lalu menuangkan apa yang ada di dalam pikirannya pada lembar baru.
Fajar berhenti menulis. Bagai kaset yang sudah usang, memori dalam ingatan membawanya ke masa lalu. Saat di mana Fajar merasa orang tuanyalah yang paling harmonis di dunia ini. Namun nyatanya tidak sedangkal pemikiran konyol tersebut.Ponsel Fajar tiba-tiba bergetar, membuat lamunannya buyar seketika. Ia mengambil ponsel dalam saku celana. Jaya menelpon.
"Woy! Masih di rumah kan?"
Fajar memutar bola matanya. Kebiasaan banget Jaya kalau nelpon, terutama ke anak-anak kostan, nada bicaranya itu kayak orang mau ngajak tawuran.
"Iya. Kenapa?"
"Gua bisa minta tolong nggak?"
Fajar hanya diam. Alisnya terangkat sebelah.
"Tolong jemput temennya Regi dong, Jar. Dia minta nebeng, tapi pas gua sama Regi baru nyampe di tkp. Ini gua lagi sama Gibran ngantri beli popcorn sama minum. Gua barusan minta tolong Julian, cuman dianya ke sini naik kereta ama Kinan. Merakyat, katanya."
"Siapa? Fany?"
"Bukan. Bukan Fany. Aduh, gua lupa lagi namanya siapa. Intinya, jemput sama lu ya. Alamat dia deketan kok ama rumah Fany. Blok paling depan. Nomor 3, kata cewek gua tadi. Oke? Gpl, Jar. Buru."
Sambungan telepon terputus begitu saja. Fajar menghela napas kasar seraya memasukkan ponselnya ke dalam tas. Kemudian bangkit berdiri, beranjak mengunci pintu sebelum menaiki motor dan melajukannya ke jalanan.
—
"Iya, Gi. Ini gue mau nyamperin temen lo. Udah di depan kan dia? Oke, oke. Minuman? Terserah lo aja. Yang penting popcorn caramel ya. Ntar gue ganti. Oke. Siap bos!"
Senja mematikan telepon kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas dan menyambar jaket denim yang tersampir di punggung kursi. Ia keluar dari kamar, menghampiri bibi di ruangannya sedang mengupas bawang sambil menonton sinetron.
"Bi, kalau ayah tanya aku kemana, bilang aku nongkrong sama temen-temen ya. Pulangnya nggak malam kok. Paling lambat jam 8."
"Iya, non. Nanti bibi bilangin ke bapak."
"Yaudah. Aku pergi dulu ya. Jangan kebanyakan nonton sinetron, bi. Racun. Dadah."
Setelah pamit sama bibi, Senja lekas keluar dari rumah. Cuaca panas dan terik. Senja berjalan menunduk seraya mengangkat tangan menutupi pandangan matanya karena sinar matahari cukup menyilaukan. Hingga ia belum sadar seseorang yang kini duduk menunggu di atas motor di tengah teriknya matahari adalah Fajar.
"Temennya Regi kan?"
Fajar menoleh, segera membuka kaca helm.
"Kamu?"
Keduanya serentak berkata dan saling menunjuk. Untuk beberapa saat mereka tertegun diam, yang selanjutnya disusul kekehan Senja.
"Dunia sempit banget ternyata ya."
Senyum tipis Fajar menanggapi. "Hanya kebetulan."
"Yang namanya kebetulan cuma terjadi sekali."
"Saya rasa juga begitu, tapi entahlah." Fajar mengendikkan bahu. "Mungkin ini yang namanya permainan semesta."
"Bisa jadi. Dan kalau dipikir-pikir, kan semesta yang mengatur segalanya."
"Benar." Fajar mengangguk setuju. "Oh, iya. Saya Fajar, dan kamu?" Ia mengulurkan tangan. Senja menyambutnya dengan hangat.
"Senja."
Senyumnya sangat manis. Fajar terpana sepersekian detik.
"Oke, Senja. Omong-omong, kamu bisa naik ke motor saya?"
Senja tadi sempat melirik jok belakang motor Fajar yang memang tinggi. Ia pun ragu bisa menaikinya.
"Dari reaksi kamu, saya sudah paham. Kalau begitu, kamu bisa jalan sebentar sampai ke pos satpam? Terasnya di sana lumayan tinggi. Nggak apa-apa kan?"
"Iya, nggak apa-apa. Malah saya yang ngerepotin kamu." Senja tersenyum sungkan.
"Sama sekali tidak."
Fajar kemudian turun dari motornya. Ia melepas helm dan menggantungnya di kaca spion. Senja mengernyit keheranan. Pikirnya, kok dia nggak langsung pergi aja? Kan bisa?
"Ayo, jalan ke sana sama-sama. Saya temani."
a/n: mon maap ini saya gemas sama mas dan mbaknya. soft banget😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Fajar & Senja
FanfictionSemesta selalu memiliki banyak cara yang terkesan misterius untuk menyatukan dua langit yang berbeda.