4. Damn It!

631 121 9
                                    

Waktu menunjukkan pukul 2 pagi, dan Fajar baru saja menyelesaikan tugas kuliahnya. Cowok itu meregangkan otot-otot lengannya, lalu menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Berkutat di depan laptop hampir memakan waktu berjam-jam itu cukup membuat tengkuk lehernya pegal.

Fajar meraih ponsel yang tergeletak di meja. Ternyata ada pesan dari Senja yang tidak terbalas olehnya. Walaupun Fajar tahu gadisnya sudah memasuki dunia mimpi, tetap saja ia harus mengirimi kabar jika dirinya baru saja menyelesaikan tugas. Urusan diomeli atau tidak nantinya dipikirkan belakangan saja. Toh, keduanya sudah sangat mengerti bagaimana kehidupan kampus yang akan memasuki semester 6 beberapa bulan kedepan.

Setelah mengirim pesan, Fajar bergegas mematikan laptop dan bersiap untuk tidur. Tetapi kalender meja  di samping laptop menarik atensinya. Dua hari kedepan, tepatnya di tanggal 4 bulan September yang jatuh di hari Jumat adalah tanggal merah. Bertepatan sekali dengan hari ulang tahunnya.

Ada tiga hari libur panjang di awal bulan September. Semesta, apakah boleh Fajar menaruh tinggi harapan untuk diberikan kesempatan merayakan hari spesialnya dengan yang tercinta?

Dia pasti sibuk. Minggu depannya juga sudah mulai ujian tengah semester.

Begitu yang dikatakan sisi lain dari diri Fajar. Mematahkan harapannya setinggi langit. Membuatnya menguburkan keinginan bahwa ia sangat ingin Senja ada melalui hari spesialnya dengannya.










Pulang kuliah di hari Kamis sore itu Senja janjian dengan Regi untuk memanjakan diri mereka di tengah pusat perbelanjaan terbesar di kota Surabaya. Awalnya hanya sekedar lihat-lihat saja, tapi berujung dua cewek itu masing-masing membawa satu kantong belanjaan di tangan.

Mereka kini sedang berada di butik hitsnya anak muda. Memilah baju yang bagus, sekiranya bisa dipakai untuk ke kampus.

"Nja, lo udah tau belom?" kata Regi, sambil mencari ukuran kemeja bermotif polkadot yang pas di badannya.

Senja yang tak jauh darinya, juga sedang mencari kemeja bermotif lantas menoleh dan mengernyit. "Tau apaan?"

"Kata Ajay, mereka lagi mikirin surprise buat laki lo yang besok ulang tahun."

"Hah?!"

"Tuh, kan. Gue udah nyangka sih, lo nggak tau Fajar besok ulang tahun. Dih, gebetan macam apa sih lo?" ujar Regi sarkas—namun tidak benar-benar sarkas. Ia hanya ingin menggoda Senja saja. Dan lihatlah sahabatnya itu kini terbawa perasaan. Menundukkan wajahnya yang terlihat sedih, sekaligus merasa bersalah.

Karena ucapan Regi benar. Cewek macam apa sih dia, sampai ulang tahun orang yang sudah membuatnya terlanjur nyaman saja tidak tahu?

"Ih, maaf-maaf. Jangan gitu dong. Gue bercanda, Nja. Jangan diseriusin," giliran cewek bermata sipit dan galak itu yang merasa bersalah sudah mengatakan sesuatu yang membuat Senja bersedih.

"Nggak apa-apa. Emang gue nggak tau apa-apa tentang Fajar, tapi dia tau semua tentang gue."

"Makanya pekaan dikit."

Tadi merasa bersalah. Sekarang malah menceramahi. Yang ngomong barusan kayak nggak pernah ngaca sama dirinya di masa lalu juga tidak pernah peka.

Tapi yang namanya Senja, tidak pernah merasa kesal pada omongan blak-blakan Regi. Justru kekasih Jaya itu hanya ingin membuat dirinya terlihat lebih baik dalam urusan percintaan. Senja mengakui. Ini pengalaman pertama baginya membiarkan sosok lawan jenis masuk untuk mengenal hatinya lebih jauh.

"Terus Jaya bilang apa? Udah ada ide?" tanya Senja mengalihkan topik.

"Dia bilang udah ada sih. Ada hubungannya juga sama lo."

Senja kembali mengernyit, "Maksudnya?"

Regi berhenti sejenak dari aktivitas. Menatap gemas Senja yang terlihat clueless dengan ucapannya barusan.

"Senjaku sayang," kata Regi menangkup kedua tangannya di pipi Senja. Senyum tipis di bibirnya, "Mereka tuh pengen ngasih surprise ke Fajar lewat elo. Karena kan mereka—eh, enggak. Kita-kita kan tau kalau hubungan lo sama Fajar—yah, gitu deh."

Senja paham betul maksud yah, gitu deh-nya Regi. Seakan sudah cukup menjelaskan keabu-abuan hubungan dirinya dengan Fajar. Dikatakan teman, mereka lebih dari itu. Dikatakan pacar juga bukan, karena Fajar belum menegaskan hubungan mereka ke arah sana.

Membingungkan, memang.

Dan Senja tidak tahu menempatkan dirinya sebagai apa di samping Fajar.

"Bukan minta tolong sih, sebenarnya. Tapi lebih ke wish mereka aja ke elo. Dan gue rasa itu bakal jadi hal yang sia-sia aja."

"Loh, kenapa? Selagi gue bisa nyanggupin nggak akan jadi masalah kok," dengan percaya dirinya Senja berkata begitu. Regi sampai keheranan, menaikkan sebelah alisnya, lalu membalas,

"Emang nggak akan jadi masalah, kalau yang mereka mau justru pengen lo ke Bandung walau yang biayain tiket apa segalam macem adalah mereka? Terus lo ke sana tanpa izin orang tua, belum lagi mas-mas lo yang protektif itu? Dan yang bikin gue semakin yakin ide mereka bakal jadi sia-sia karena minggu depan udah mulai UTS. Lo yakin masih mau nyanggupin?"

Oh, sialan. Perkataan Regi barusan mampu membuat Senja terbungkam, sekaligus tertampar oleh perihnya realita.








Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Fajar & SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang