Kita Akhiri Saja.

12 2 0
                                    

Dua minggu sudah hubunganku dengan Firman berjalan. Perasaanku masih belum berubah. Aku berusaha menerimanya, karena banyak cinta yang Firman berikan padaku. Namun hal itu hanya membuatku terisak sendirian.

"Apa aku kurang bersyukur?" Aku menatap kosong langit-langit kamarku. Aku merasa perlahan ini sangatlah menyiksa. Firman berusaha keras membuatku menyukainya. Tapi aku hanya diam di tempat, membuatnya semakin terluka.

"Aku bersandar pada seseorang
Namun hanya kehampaan yang menopang.
Aku berjalan beriringan
Namun hanya sepi yang memperhatikan.
Aku melihat senyumnya kembali
Namun kepahitan ini begitu menyakiti.
Ini menyiksa bukan?

Bagimu juga."

Aku tahu Firman sebenarnya sudah begitu putus asa denganku. Selama ini ia memang tidak banyak mengeluh namun aku bisa melihat kesedihan di matanya tiap kali melihatku. "Apa aku harus mengakhiri ini?" Tapi aku tak berani.

***

Siang ini Tsana tiba-tiba muncul di kelas Amei. Amei pun menghampirinya. Kemudian Tsana mengajak Amei ke teras kelasnya. Amei tidak mengerti dengan tingkah sahabatnya itu kali ini, Tsana terlihat lebih pendiam dari biasanya.

"Tsan kit ke kantin yuk!" Ajak Amei memulai obrolan.

"Disini dulu ya." Tsana membalas dengan pelan dan melengkungkan senyum. Tapi senyum itu terlihat tidak tulus. Menyadari itu Amei diam sejenak. Mereka berdiam diri di tempat masing-masing. Akan tetapi karena khawatir, Amei berusaha memulai pembicaraan lagi.

"Tsan..." Panggil Amei pelan.

"Hmm." Jawab Tsana berdehem.

"Kamu gakpapa kan?" Amei mulai bertanya.

"...." Tidak ada jawaban.

"Tsan..." Panggil Amei lagi.

"Mei, langit hari ini bagus ya." Sahut Tsana. Amei semakin bingung kenapa Tsana tiba-tiba membahas langit. Amei pun mendongakkan kepala melihat langit mengikuti Tsana.

"Iya. Tapi cuaca akhir-akhir ini menipu biasanya bentar lagi ujan." Jawab Amei dengan jujur mengenai perkiraan cuaca.

"Mei, ayahku nikah lagi." Ucap Tsana tiba-tiba, masih dengan senyum yang ia lengkungkan secara paksa. Amei melihat keadaan sahabatnya itu kurang baik. Ia melihat tangan Tsana yang dikepalkan kuat-kuat seperti menahan sesuatu.

"Selama ini aku nggak pernah protes, tidak pernah rewel terhadap semua ini. Ia juga jarang mengunjungiku dan tiba-tiba ia telah menikah lagi seminggu yang lalu. Dan aku? Aku nggak tahu apapun. Apa dia benar ayahku?" Kemudian air mata mulai menetes di pipi Tsana. Amei memeluk Tsana. Membiarkan tangis sahabatnya keluar.

"Hiks.. hikss.. aku benci orang tuaku! a.. aa..k..ku.. b..ben..ci me...re..kaaaaa!!!" Tsana terus meraung dalam pelukan Amei. Ia terus mengungkap kepedihannya dengan tangis sesenggukan. Amei semakin mengeratkan pelukannya.

"Benar. Kamu berhak protes. Kamu berhak marah. Keluarkan saja semuanya." Ucap Amei sembari mengelus pelan kepala sahabatnya.

"Hikss...hikksss. Mei a..akku tida..kk ku..aatt lagi.." Keluh Tsana melemas. Melihat sahabatnya yang terlihat begitu putus asa Amei juga mulai meneteskan air mata. Betapa berat selama ini sahabatnya menahan seorang diri, bahkan ia sama sekali tidak pernah mengeluhkan masalah ini pada Amei.

"Hiks.. Hikss" isak mereka berdua yang masih saling berpelukan.

Dua orang sahabat itu saling berbagi duka siang itu. Mereka tak lagi memperdulikan keadaan sekeliling. Mereka hanya ingin melepas duka yang tengah dirasakan salah satunya. Benar, satu sakit maka satu lainnya merasakan pula. Mungkin membiarkan Tsana meluapkan rasa sakitnya adalah cara Amei untuk menghibur sahabatnya.

IsyaratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang