Balikan?

22 3 0
                                    

Dua tahun lalu, ketika aku masih duduk di kelas satu SMP. Aku siswi 7 D. Di kelas itulah aku bertemu seorang Alissa. Gadis mungil yang memiliki senyum manis. Ia cukup pendiam saat pertama kali bertemu, tidak banyak bicara dengan siapapun di kelas. Pagi itu ketika akan ulangan bahasa Indonesia, kotak pensilku ketinggalan di rumah. Aku sangat panik karena ulangan segera di mulai. Perempuan dengan gaya sederhana itu tiba-tiba melemparkan pensil ke mejaku. Tanpa sepatah katapun, seolah tidak ada yang terjadi. Berkat Alissa aku dapat mengerjakan ulangan itu dengan lancar. Sejak itu aku memtuskan untuk berteman dengannya. Hingga kami menjadi dekat. Sangat dekat.

Namaku Tsania Almira. Amei adalah orang pertama yang memanggilku Tsana dan panggilan itu melekat padaku hingga kini. Bersahabat dengan Amei adalah anugerah bagiku. Aku kerap kali mampir ke rumahnya. Disana ibu dan bapaknya sudah menganggapku seperti anak mereka sendiri. Aku juga dekat dengan ibunya. Suatu ketika ibunya banyak ingin tahu tentangku dan itu pertama kalinya aku merasakan bagaimana menyenangkan mempunyai seorang ibu.

"Buk, aku ke toilet sebentar. Tsan kamu disini dulu ya, ngobrol dulu sama ibuk." Ijin Amei meninggalkan obrolan bersama aku dan ibunya.

"Iya, Nduk. Sudah cepat ke kamar mandi sana." Suruh ibuku.

"Iya udah sana. Aku aman kok disini." Sahutku kemudian. Amei pun meninggalkan kami.

"Nduk Tsana sudah makan?" Ibu Amei memulai obrolan.

"Sampun Buk. Hehe." Jawabku pelan.

"Walah padahal mau ibuk belikan bakso lo tadi." Tawar ibu Amei dengan melengkungkan senyum.

"Hehe nggak papa Buk. Nggak usah repot-repot."

"Ah ndak repot kok. Lama juga nduk Tsana gak main kesini."

"Beneran Buk. Ndak usah repot-repot."

"Yasudah. Kalau gitu makan baksonya nanti malam saja. Tsana nginep ya." Ajaknya ramah.

"Hehe endak Buk."

"Loh kenapa?"

"Alis loh tidurnya sendirian. Nanti bisa kamu temani." Ajaknya lagi.

"Endak Buk. Mbah saya di rumah sendirian, jadi saya harus pulang."

"..." Entah aku salah ngomong atau bagaimana, tiba-tiba ibu Amei terdiam. Namun beliau masih menatapku.

"Nduk Tsana hanya tinggal sama mbah di rumah?" Beliau bertanya kemudian.

"Iya Buk." Tiba-tiba beliau mengelus bahuku pelan. Hangat. Terasa menghangatkan. Di hatiku. Entah apa yang kurasakan. Perasaan ini belum pernah ku rasakan.

"Jadi anak gadis yang rajin dan pintar ya cah ayu." Beliau sembari tersenyum dan masih mengelus pelan bahuku.

"Iya Buk. Amiin. Hehe" Aku juga membalas senyum beliau.

"Ibuk sama bapakmu kalau boleh tahu ada dimana Nduk?" Kemudian beliau lanjut bertanya.

"Ah ibuk sama ayah Tsana sudah pisah sejak Tsana masih bayi Buk. Sejak pisah ibuk tinggal di Bali dan menikah lagi. Bapak sih masih di Malang tapi di Malang daerah kabupaten. Bapak juga sudah berkeluarga disana." Jawabku agak panjang lebar. Saat itu aku hanya ingin menceritakannya.

"Kamu ingat pesan ibuk tadi ya, Nduk. Masalah di hidup ini memang tidak akan pernah berhenti, kecuali kita selalu syukur. Dan seberapa berat masalah itu kita juga harus tetep menjaga diri kita untuk melakukan hal positif."

"Iya Buk. Terima kasih sudah banyak memberi dukungan buat saya. Hehe."

"Iya sama-sama. Kita saling mendoakan ya. Ibuk juga sebenarnya banyak cobaan berat ketika berumah tangga, doakan saja Alis tidak mengalami hal-hal buruk di dalam keluarganya ya? Semoga Alis bisa sekuat Tsana" Ketika mengatakan kalimat itu, aku melihat beliau seperti memendam pilu. Matanya seolah menangis tapi aku tak melihat sebutir pun air mata. Aku tidak ingin sok tahu. Akhirnya aku mengangguk-angguk saja.

IsyaratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang