10.Loss

38 6 5
                                    

Kelas XII Mipa 1 semua sudah bersiap mengganti baju putih abu-abunya dengan stelan training. Beberapa murid cewek sudah keluar dengan membawa training yang di dekap di dadanya. Biasanya, cewek-cewek disini akan meminta anak cowok untuk keluar, namun karena ulah Bagas si anak yang super duper cerewet meminta emansipasi pria yang tak lagi mau diperbudak wanita. Padahal, ibu kita Kartini sudah mati-matian memperjuangkan emansipasi wanita, namun gara-gara Bagas semua yang diperjuangkan ibu kita Kartini, tak berguna di kelas ini.

"Na ayo!" seru Tika di ambang pintu dengan menenteng paper bag berisi setelan training.

"Iya nih, ayo Liana! Nanti pak Indro bisa ngamuk lho kalau kita telat ke lapangan." tambah Elen.

Liana tak menggubris teman-temanya. Ia masih sibuk mengaduk-aduk isi tas miliknya. Ia ingat betul jika semalam dirinya sudah memasukkan celananya ke dalam tas. "Bentar, atau kalian duluan aja. Celana gue enggak ada nih."

"Yah, gimana dong? Ini kan pengambilan nilai basket kita," ucap Tika sambil berjalan mendekat ke Liana. "coba lo cari-cari lagi, siapa tau keselip."

Liana mendengkus. Dari tadi dirinya mengubek tas nya buat apa dong? Kalau tidak mencari celana trainingnya? "Yaudah, kalian ganti duluan aja!"

"Enggak apa-apa nih kita tinggal?" tanya Tika memastikan yan diikuti anggukan dari Elen.

Liana menghela nafasnya panjang. "Iya...udah sana hush!"

Sepeninggalan kedua sahabatnya, cewek itu kembali melongok melihat kolong mejanya, namun hanya ada sisa rautan pensil dan beberapa kertas coretan yang berbentuk bulat-bulat bekas remasan.

"Aduh, gue ingat kok...kalau semalam sudah gue masukin," gumamnya.

Sementara itu, Azka, Edo dan Rafif sudah siap dengan memakai kaos dan celana training. Sedangkan Bagas, jagankan sudah berganti, kancing seragam putih abu-abunya saja, belum terlepas sama sekali.

"Gas, lo enggak ganti?" tanya Azka.

"Wah iya nih, lo mau di semprot pak Indro?" tambah Edo. "dia kan kalau nyemprot suka bawa-bawa azab."

Alih-alih menjawab pertanyaan temanya, Bagas tertawa renyah. Cowok itu jadi teringat dimana saat dirinya masih duduk di kelas sebelas. Saat itu Bagas,Edo dan Rafif tengah bermain futsal dilapangan tengah yang jelas-jelas bukan lapangan futsal, melainkan lapangan khusus untuk upacara. Dengan keras Edo menendang bola hingga mengenai kaki Bagas. Kemudian dengan refleks pula Bagas mengerang sambil melemparkan bola tersebut ke sembarang arah hingga terdengar bunyi dubrakan yang sangat keras.

Ternyata bola mereka mengenai seseorang. Bukannya meminta maaf dengan sopan, Rafif malah berteriak dengan keras meminta agar bolanya dikembalikan. Saat ada suara deheman seseorang, barulah mereka bertiga memutar kepalanya serempak pada sumber suara.

Ketiganya kontan membeku saat melihat bahwa Pak Indro lah korbannya. Satu-satunya guru yang berhasil membuat mereka mati kutu setelah Bu Nabel. Beliau memang tidak pernah memarahinya, namun, semprotan rohani nya benar-benar bisa membuat murid Trunajaya tak berkutik. Apalagi, jika sudah menyangkut dengan azab.

Rafif yang melihat Bagas tertawa pun menjitak dahi cowok itu. "Malah ketawa. Cepetan ganti, udah enggak ada cewek, ganti disini cepetan!"

"Lo enggak lihat cewek segede gitu?" tunjuk Azka pada Liana yang sibuk mengaduk-aduk tas.

"Dia lagi sibuk. Enggak bakalan lihat," ujar Rafif. "Udah deh cepetan, lagian kan elo juga yang menuntut emansipasi pria dikelas ini."

"Kalian duluan aja deh. Gue pengen ganti di toilet sekalian mau buang hajat."

PRIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang