16. Bingung

22 4 6
                                    

"Eitt...stop stop!" Liana memukul punggung Azka beberapa kali hingga membuat motor berdecit dan dia menabrak punggung Azka.

"Bisa mati ini kita. Lo kenapa sih? Rumah lo kan masih disana?" sungut Azka sambil menunjuk rumah Liana yang masih sekitar 200 meter dari tempat mereka berhenti.

"Sampai sini aja deh, tetangga gue kemarin baru beli anjing galak so'alnya. Jadi gue jalan aja kesananya."

"Anjingnya diikat kan?" tanya Azka menoleh kebelakang.

Liana berfikir sejenak, mencari-cari alasan agar Azka tak mengantarnya sampai depan rumahnya. "Ng...itu Ka jadi anjingnya—,"

"Banyak mikir lo! Paling juga masih galakan lo dibanding anjingnya." celetuk Azka kemudian menyalakan mesin motornya kembali.

"Maksud lo?"

Azka bisa melihat raut kesal wajah Liana lewat kaca spion, tanpa sadar sudut bibirnya terangkat membentuk seulas senyum. "Lo betah banget ya duduk di jok motor gue?" sindir Azka.

Liana mendelik dan segera meloncat dari atas motor Azka. Tadinya, Liana ingin mengomel pada Azka yang tingkat kepedeannya diatas rata-rata,namun diurungkan saat melihat Mama sudah berada di depan pagar yang terbuka dengan tatapan penuh kemurkaan.

"Liana, kamu masuk!" titah Mama tegas,yang mau tak mau Liana segera masuk.

"Ng...hai Tante, saya Az—,"

"Kamu, silahkan pulang," potong Maya kemudian menutup pagar rumahnya. Wanita itu lantas mencari keberadaan Liana. Menjelajahi seluruh ruangan,yang akhirnya ia dapat menemukan anaknya sedang duduk di ruang keluarga.

"Itu yang kamu bilang olimpiade?" tanya Maya sinis. "Mau jadi apa kamu berbohong dengan saya?"

"Ma, tapi Ana benar ikut olim—,"

"Olimpiade untuk menjadi jalang?"

Ada ribuan jarum menusuk dada Liana, pertanyaan yang begitu menohok dan yang tak pernah diduganya. Ralat, pernyataan. Bahkan kata-kata itu keluar dari seseorang yang dianggapnya sangat mulia, meski akhir-akhir ini sikap beliau tidak bersahabat sama sekali dengannya.

"Jawab saya! Saya sudah mendidik kamu dari kecil hingga besar. Membiayai kamu sekolah supaya kamu menjadi pintar, bukan menjadi wanita rendahan semacam itu! Saya sudah keluar uang banyak untuk pendidikanmu dan hidupmu!"

Hati Liana kian mencelos mendengar penuturan mamanya. Air mata dipelupuk matanya pun mulai turun membasahi pipinya. Dadanya terasa sesak,tubuhnya bergetar.

"Kalau kamu seperti itu, bagaimana bisa kamu jadi dokter?"

Cukup! Sudah cukup Liana menahan semuanya. Liana lelah. Dengan secuil keberanian, gadis itu mengusap air matanya kasar lalu maju selangkah lebih dengan dengan posisi mamanya. "Mama egois. Mama cuma mikirin ego Mama. Selama ini Liana enggak pernah nuntut apapun dari Mama, bahkan Liana selalu menuruti perintah Mama tanpa membantah."

"Mama tau kenapa Liana rela mengorbankan cita-cita Liana untuk menjadi penegak hukum seperti Papa? Karena Liana menghormati Mama. Selain itu, Liana juga pengen dipandang sama Mama. Pengen dapat perhatian Mama, dan selalu Mama ucapkan selamat ketika berhasil mendapatkan apa yang diinginkan."

Liana kembali mengusap air matanya yang mengalir. "Maaf jika Liana belum bisa jadi anak yang seperti mama harapkan. Maaf, Liana lancang dan maaf jika Liana menyusahkan."

"Anak kurang ajar! Nggak tau diuntung! Masih mending kamu saya pungut!"

Teriakan Maya, menghentikan langkah Liana. Gadis itu menoleh kebelakang, "M...maksud Mama, Liana bukan...,"

Mama segera berbalik dengan mempercepat jalannya menuju mobil yang terparkir dihalaman rumah. Ia mengabaikan Liana yang terus memanggil namanya tanpa henti.
Mengapa semua serumit ini?

Gadis itu menenggelamkan wajahnya dibantal, berharap tak seorangpun mendengarkan isakannya. Menumpahkan segala amarah dan kesedihannya. Semua memori masa lalu bersama Mama dan Papa terus saja berputar di ingatannya tanpa henti. Peluk hangat Mama, usapan lembut papa, dan tawa bahagia mereka hingga kejadian delapan tahun lalu saat Papa pergi meninggalkannya dan Mama berubah.

***

Aroma sedap masakan menyeruak mengisi indera penciuman Azka membuat dirinya bertambah lapar. Setelah adegan diusir oleh orang tua Liana, dirinya mendadak kepikiran dengan gadis jutek itu. Dia jadi tidak enak hati sudah memaksa mengantarkan Liana sampai depan rumah.

Azka melipat kedua tangannya untuk dijadikan bantalan, menatap langit-langit kamar sambil mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Jantungnya mendadak berdegup kencang mengingat betapa cantiknya wajah Liana saat tersenyum walau setipis kulit lumpia. Sudut bibir Azka tertarik. Ada gelenyar aneh yang muncul saat dirinya berada di dekat Liana.

"Bang, makan yuk udah ditunggu Papa."

Azka buru-buru bangkit dari imajinasinya. "Iya Ma,"

Bersambung

Sebelumnya Ogud mau mengucapkan terimakasih buat semua temen-temen yang sudah bersedia membaca tulisan saya. Saya akan off seluruh sosial media kurang lebih selama tiga bulan
So, Ogud bakalan kangen kalian semua gengs 😢
Terimakasih atas dukungannya selama ini untuk Ogud.  Dan mungkin cerita ini bisa saja dilanjut awal tahun dan hanya di up ketika ogud lagi dapat libur 😢

See you guys 💋
Do'a kan ogud biar lancar ya guys

PRIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang