Prolog!

212 47 74
                                    

"Liana!"

"Hm...," Liana masih memfokuskan pandangannya pada buku tebalnya. Ia membaca dan memahami kata demi kata yang tertulis tanpa terusik dengan ocehan kedua sahabatnya.Bagi Liana tiada hari tanpa belajar. Namun, dia bukanlah seorang nerd yang identik dengan kaca mata tebal dan terkesan cupu.

Liana adalah gadis cantik yang selalu menjadi kebanggan SMA Trunajaya. Bagaimana tidak?  Dia selalu menjadi wakil dalam berbagai olimpiade dan sukses menyabet gelar juara satu. Meski sekolahnya bukan sekolah elite, tapi prestasi Liana sangat epik disini. Bahkan dia dapat beasiswa hingga lulus. Sosok Liana sendiri adalah impian semua orang, menjadi murid dengan segudang prestasi tanpa harus menjadi seorang yang cupu.

"Liana... Nggak baca buku sehari nggak akan bikin lo bego." Tika mencibir Liana sambil memasukkan potongan batagor kedalam mulutnya. Namun nihil, Liana tetap fokus tanpa peduli pada ocehan temannya itu.

"Yaaa... Tika, gimana sih? Kalo Liana nggak baca buku terus nanti Elen nyontek siapa?  Nyontek Tika?  Orang otak Tika aja nggak jauh-jauh beda sama otak Elen." dengan muka polosnya Elen berkata demikian. Sontak saja mendapat pelototan dari Tika.

"Udah deh El, lo nggak usah ikutan ngomong. Tuh tuh—," menunjuk wajah Elen — "Bedak lo luntur tuh."

"Iya?  Masa sih?" mengambil cermin pada saku seragam putih abu-abu nya lantas melihat kaca memastikan polesan pada wajahnya masih sempurna. Elen menelisik seluruh bagian wajahnya dari kening, pelipis, hidung, pipi, hingga dagu. Namun, ia melihat bahwa polesannya masih baik-baik saja dan tak ada yang luntur.
Elen membuang muka. "Tika sirik ya sama Elen? Kalo Tika mau kan—,"

Liana menutup bukunya dengan keras lalu menatap tajam bergantian pada dua sahabatnya yang menyebalkan. Selalu saja bertengkar disaat jam tenang Liana.

"Pokoknya Tika, Elen enggak ikutan." Elen berkata pada Tika dengan suara yang memelan dan nyaris seperti berbisik.

"Kalian bisa tidak sih diem? Gue enggak bisa konsen kan jadinya!"

"Tika kamu tuh," bisik Elen.

"Kok gue?" tanya Tika mendesis. Mereka berdua tidak takut dimarahi Liana. Karena mereka tau kalau Liana tidak akan bisa marah pada mereka berdua. Yang mereka takutkan hanya satu. Tidak dapat sontekan dari Liana. Sudah itu aja.

"Lagian Na... Ini kan jam istirahat, masa iya lo baca terus. Nggak bosen apa gimana lo tiap hari lihatin huruf dan angka. Jarang-jarang kek, liat disebelah lo ada siapa aja. Atau lihat co—"

"Apa gunanya sekolah kalo enggak untuk belajar?" potong Liana cepat. Lalu berdiri dan meninggalkan kedua sahabatnya dikantin. Sebenarnya, Liana malas sekali ke kantin, apalagi suara bising dari anak-anak yang membuat konsentrasi belajarnya jadi bubar. Akhirnya, gadis itu memilih bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan Elen dan Tika. Kini, tujuannya adalah perpustakaan.

"Tika sih," desis Elen sambil memoleskan lip tint pada bibir mungilnya.

"Ngomong mulu lo! Tebelin aja tuh muka." menjulurkan lidahnya mengejek Elen.

***

Perpustakaan. Tempat penuh ketenangan dan  kedamaian bagi Liana. Disini dia bisa membaca buku dengan tentram tanpa gangguan siapapun. Gadis itu mengeluarkan ponsel dan memasang earphone. Ia menyalakan lagu I Don't Mind. Suara Vidi Aldiano mengalun lembut ditelinganya. Inilah kebiasaannya, dia akan nyaman belajar jika ditemani alunan musik atau radio.

Sudah bukan rahasia umum memang jika belajar menggunakan metode seperti ini. Bahkan beberapa guru pun menyarankan agar muridnya belajar sambil mendengarkan lagu, karena sudah terbukti bahwa lagu dapat merileksasi otak agar tidak bebal.
Belajar adalah kebutuhan pokok. Dan setiap manusia harus belajar. Tanpa belajar, manusia tak akan pintar. Ada sebuah pepatah mengatakan 'kejarlah ilmu hingga ke negeri Cina' . Tak ada batasan umur dalam mencari ilmu, tua ataupun muda wajib belajar. 

"Kak Liana," panggil seorang gadis dengan membawa selembar kertas. Namun, tak ada sahutan dari Liana.

Gadis itu memberanikan diri untuk mencolek bahu Liana dan sontak membuat Liana terjingkat kaget. Liana segera mengubah ekpresinya menjadi dingin dan melepas earphone yang bertengger manis ditelinganya dengan berat hati. "Ada apa?"

Gadis itu terlihat gugup. "Ng... I-itu kak...,"

Liana menaikkan sebelah alisnya.
"Ng...,"

"Cepetan, gue enggak ada waktu."

"Ini... Ada surat dari kepala sekolah."

Liana mengerutkan keningnya. Ada apa, dia mendapat surat dari kepala sekolah?  Apa Liana berbuat kesalahan? "Surat apa?"

"Saya...enggak tau kak. Oh iya saya permisi dulu."

"Oke."

Mulut Liana menganga lebar saat ia membaca surat dari kepala sekolahnya. Sungguh ini tak pernah ia duga. Liana mengemasi barang-barangnya lalu memasukkan ponselnya pada saku seragamnya.

Liana berjalan sambil tersenyum. Banyak pasang mata yang memperhatikan gadis itu. Sebuah pemandangan yang langka di SMA Trunajaya. Seorang Liana Marisela yang terkenal pintar namun ada tulisan 'judes'di jidatnya dari orok itu, tersenyum sumringah.

Tika memandang aneh Liana saat gadis itu masuk ke kelasnya sambil tersenyum. "Na, lo enggak apa-apa kan?  Lo kesambet ya?  Apa perpustakaan sekolah kita mulai angker kali ya?" Tika berceloteh sambil menatap ngeri kearah Liana yang masih tersenyum. Sedangkan, Elen mendekati Liana dan meletakkan telapak tangannya pada dahi Liana.

Liana memutar bola matanya malas kemudian menurunkan tangan Elen dari dahinya dengan kasar. "Apaan sih kalian? Lebay."

Tika melongo. Beneran kesambet deh kayanya Liana. Masa iya, habis senyum terus berubah jadi judes lagi?  "Wah lo harus ikut gue," menarik paksa lengan Liana.

Liana mendesis, "Lo ngajak gue kemana sih?"

"Ke Pak Indro. Mau ruqyah lo,"

Liana melepaskan cekalan Tika. "Lo jangan ikutan lemot kayak Elen deh."

"Iihhh.... Liana, Elen tuh enggak lemot tau," ujar Elen yang entah darimana datangnya.

"Ups." Tika dan Liana menutup mulutnya kompak.

Bersambung

◻◻◻◻
After revisi.
Jika masih ada typo terdeteksi atau tanda baca yang kurang, silahkan kritik terimakasih


PRIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang