Azka dan Liana sedang duduk menyimak materi yang diberikan oleh Bu Nabel. Kini, mereka sedang berada didalam perpustakaan sekolah, dikelilingi oleh rak buku dan beberapa lemari kaca yang berisi piala prestasi murid Trunajaya. Salah satunya adalah piala hasil dari jerih payah Liana.
"Bagaimana? Kalian sudah paham?" tanya Bu Nabel seraya menatap Azka dan Liana bergantian.
Liana dan Azka mengangguk serempak.
"Baiklah." Bu Nabel menutup bukunya. "kalian bisa sering bekerja sama memecahkan so'al-so'al seperti tadi. Bukunya bisa di cari di sini."
"Ehm...tidak. Saya rasa, disini masih kurang lengkap. Kalian bisa cari di perpustakaan umum atau toko buku."
Ketika Bu Nabel hendak mencapai pintu, Liana buru-buru membereskan buku tulis dan alat tulisnya yang berserakan di meja. Berada dalam satu ruangan dengan Azka, membuat hawa di sekitarnya menjadi gerah.
Namun, tiba-tiba Bu Nabel berbalik. "Satu lagi, Liana...sepertinya kamu harus banyak belajar dari Azka. Cara yang dipakainya cukup singkat dan efektif. Otomatis bisa menghemat waktu. Dan ingat, ini olimpiade terakhir yang dapat mempengaruhi nilai kamu untuk masuk ke Harvard."
"Iya Bu," jawab Liana lesu.
Setelah Bu Nabel menghilang dari pandangan mereka, Azka mendongak menatap Liana yang berdiri dengan raut yang sulit ditebak.
"Lo mau masuk Harvard? Yakin?" Azka bertanya dengan nada mengejek.
Azka tetaplah Azka. Entah setan apa yang menguasai dirinya sehingga membuatnya suka sekali jika menyulut emosi seorang Liana Marisela.
"Bukan urusan lo!" hardik Liana. Cewek itu benar-benar tak habis pikir, bertemu Azka sama dengan bencana. Emosinya sukses meledak bagaikan bom di kota Hiroshima. Cowok itu selalu berhasil membuat darahnya mendidih.
Mencoba tak ambil pusing, Liana memilih mengambil tas nya dengan dongkol dan melangkah keluar. Namun, lagi-lagi dirinya gagal. Pergelangan tangannya di cekal oleh Azka. Ya. Liana tau bahwa sang pelaku adalah Azka, lantaran di sini hanya ada mereka. Catat. HANYA MEREKA.
Liana menghentakkan tangannya kasar. "Lepasin! Jangan macem-macem lo!" Liana bersungut-sungut.
"Gue?" tunjuk Azka pada dirinya sendiri. "macem-macemin lo? Yang bener aja! Body rata juga."
Liana melotot. Lagi-lagi cowok ini berhasil membuat gunung berapi yang ada didalam dirinya bererupsi. "Apa lo bilang?!"
"Lho...gue bener kan? Triplek."
"Lepasin bego! Sakit."
"Gue cuman mau ngomong sesuatu. Karena gue enggak mau partner. Olimpiade. Gue malu." Azka mendekatkan wajahnya dengan Liana. Menepis jarak yang terbentang diantara mereka.
Hal itu membuat Liana melotot dan menahan nafasnya. Untuk yang kedua kalinya Liana dapat merasakan hembusan nafas mint Azka. Tapi, kali ini sedikit berbeda, jantung. Ya. Jantung Liana mendadak tak beraturan."Rok lo merah," bisik Azka kemudian menjauhkan wajahnya.
Liana kian melotot kemudian gelagapan. Mencoba mencerna ucapan Azka, gadis itu menoleh kebelakan dengan tangan kiri meraih bagian belakang roknya agar mudah dilihat. Dan...gotcha!Liana langsung duduk kembali di kursi dengan rona pipi yang sudah mirip dengan kepiting rebus ditambah saus. Malu. Liana malu.
"Lo mau kemana?" Liana berseru saat melihat Azka sudah menyampirkan tasnya dipundak.
"Pulang lah."
Dasar cowok egois! Enggak punya rasa simpati sama sekali!
"Gue tau kita musuh-,"
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIDE
Teen FictionBEBAS BACA TANPA RIBET! GAK ADA YANG DI PRIVATE Benci adalah awal dari kisah ini. Dan cinta akan hadir dengan sendirinya. Tulisan ini yang akan berbicara mengenang masa indah di SMA. Walau hanya sepatah kata, aku harap kau menyukainya.