Darlene - Part 9

121 11 0
                                    

Ruangan serba putih dengan desain futuristic. Ruangan itu memiliki kaca-kaca besar yang sengaja ditutup dengan tirai karena pemiliknya tak tahan akan cahaya yang menerobos masuk tak terkendali ke ruangannya.

Ellano tengah memejamkan matanya dengan tangan yang terlipat di depan dada pada nap pod-nya sementara perabot di ruangan itu tengah sibuk melakukan aktifitas mereka sendiri.

Sebut saja robot vacum yang berkeliaran kesana kemari membersihkan lantai, sweeping robot yang tengah membersihkan tirai dan human task robot yang sibuk beroperasi melakukan coding selama Ellano tertidur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebut saja robot vacum yang berkeliaran kesana kemari membersihkan lantai, sweeping robot yang tengah membersihkan tirai dan human task robot yang sibuk beroperasi melakukan coding selama Ellano tertidur.

Sebenarnya tak ada yang perlu dibersihkan, dan yang sekarang benar-benar bekerja hanyalah human task robot yang Ellano sistem untuk mengerjakan tugasnya selagi ia beristirahat. Ellano hanya tak menyukai keheningan, sehingga ia mengaktifkan robot yang memiliki suara paling berisik yang ia punya.

'Someone is coming' suara yang berasal dari earbud di salah satu telinganya tersebut membuat Ellano yang terlelap pada pikiran panjangnya itu benar-benar terbangun walau masih enggan membuka mata.

'Face recognized. It's clara! Do you want to let her come in?'

Dengan mata yang masih tertutup, ia menekan tombol di smartwatch-nya dan pintu baja di ruangannya terbuka, membiarkan Clara untuk masuk setelah melewati sensor identitas dengan cahaya putih dan sensor benda berbahaya yang berwarna merah.

Clara berjalan ke arah Ellano yang tertidur di sofa sembari mematikan robot-robot yang sibuk sendiri melakukan pekerjaan tak berartinya tersebut.

Karena suara robot-robot pembersih itu hilang, Ellano membuka matanya.

"Semua sudah siap, Prof."

Ellano menoleh ke arah Clara yang tengah berdiri tak jauh dari meja kerjanya dengan baju lab putih, celana dasar warna hitam dan rambut hitam lebat yang dikuncir kuda. Clara menatap Ellano dengan yakin.

Ia bangun dari sofa tersebut dan menghadap satu-satunya jendela yang tidak ia tutup tirainya sembari memikirkan banyak hal yang terlintas di kepalanya.

"Bagaimanapun, kita harus meyakinkan mereka. Agar semua dapat berjalan." Ujarnya, lebih kepada dirinya sendiri tepatnya.
--------------------------♡♡♡-----------------------------

"Jadi, kita mau ke mana hari ini?" Nada riang membaluti ucapan Elena.

Gadis itu kini tengah menatap Alden yang sedang menghidupkan tombol start pada layar sentuh mobilnya dan membuka laman tujuan. Matanya membesar karena penasaran.

Alden berhenti mengutak-atik layar tersebut dan memasang tampang berpikir keras .

"Entahlah. Aku tak memikirkannya." Ia menoleh ka arah Elena dan menatap tepat ke matanya.
"Aku hanya ingin menemuimu."

Gadis itu mengalihkan pandangannya dari mata Alden seolah tengah berpikir. Walau sebenarnya, ia tengah bersikap cool untuk menutupi rasa malu yang membuat wajahnya memerah. ia juga tak mengerti, dia telah bersama Alden selama lebih dari 10 tahun, kenapa jantungnya masih terus berdebar-debar seperti ini tiap kali Alden menatapnya?

"Oh, mari kita minta saran." Ia menemukan ide baru untuk mengalihkan rasa malu, dan mulai menggeser-geser layar sentuh di depan tempat duduknya.

Ia menoleh ke arah Alden sejenak, "Siapa namanya?" Setiap I-Car memiliki nama yang harus disebutkan jika mau memberi perintah atau mengajukan pertanyaan, sama seperti password.

"El."
"Wow, kau memiliki selera nama yang baik." Respon Elena yang sudah tahu bahwa El adalah namanya.

"El, apakah ada tempat yang bagus untuk dikunjungi?" Elena kemudian mendekatkan diri pada layar dengan mata berbinar. Ia terlihat seperti anak kecil yang ingin diberi permen selagi alat itu mengolah jawaban.

"Ada festival makanan dan street performance di sekitar bundaran HI. Tempat yang menarik untuk dikunjungi hari ini."

Elena menyandar pada kursi selagi berpikir. Jika mereka ke sana, pasti tak akan sebentar. Tangannya akan bercahaya lagi setelah petang. Ia mengkhawatirkan hal itu karena Alden tak mengetahui tentang tangannya yang bersinar, dan juga tak pernah penasaran apa yang ada di balik sarung tangan Elena. Tapi di sisi lain, ia sangat lapar dan juga akan sangat menyenangkan melihat musisi jalanan bernyanyi dan menari sekarang.

"El, bisakah kau beritahu pukul berapa acaranya." Elena bertanya sembari berharap bahwa acaranya mulai sebelum sore sehingga ia sudah bisa kembali saat hari mulai gelap.

"Pukul 15.00 WIB. Sekarang pukul 14.30 WIB. Kalian akan sampai di sana dalam 40 menit."

Yes! Elena bersorak dalam hati. Mereka bisa ke sana sekarang dan kembali sebelum petang.

Ia menoleh ke Alden dengan semangat dan mendapati pria itu tengah mengetik sesuatu di layar ponselnya dengan serius. Elena menyadari bahwa ia terlalu bersemangat hingga lupa bahwa Alden adalah orang yang sibuk. Alden baru menjabat sebagai direktur di perusahaan milik ayahnya setahun terakhir ini. Ia harus meyakinkan ayahnya bahwa ia dapat menjadi pemimpin yang baik. Itulah kenapa mereka jarang bertemu, dan pertemuan singkat seperti ini sangat berarti bagi Elena.

"Ke bundaran HI, kan?" Alden meletakkan smartphone-nya dan bersiap mengemudi.

"Kita bisa ke sana kapan-kapan jika kau ada urusan, Al." Elena hanya merasa tak enak jika memaksakan kehendaknya di saat Alden seharusnya berada di kantor sekarang.

Alden yang menangkap suara tak enakan tersebut menoleh ke arah Elena, ia membenarkan posisinya hingga menghadap ke arah gadis itu. Ia menatap Elena beberapa saat dan mengamati lekuk wajah dan sorot mata berbinarnya yang telah lenyap seutuhnya.

"Aku selalu tak punya waktu untuk sarapan, atau membaca berita terbaru. Tapi aku akan selalu punya waktu untukmu, El." Ujarnya lembut.

Begitu manis. Elena merasa seolah permen kapas meleleh di hatinya. Karena perasaan itu, ia rasa semuanya jadi tak masalah. Bagaimana wujud cinta itu? Hal tak terlihat yang mengubahnya ingin menjadi seseorang yang egois seperti sekarang. Elena merasakan bahagia hingga tak bisa mengontrol senyumnya. Ia mengalihkan pandangan ke depan, hal yang selalu ia lakukan jika pipinya mulai terasa memanas. Ia merasa bersalah sekarang, tapi perasaan egoisnya seolah jauh lebih besar.

Alden yang mengerti bahwa Elena tengah tersipu mencoba menggodanya. "Apa yang kau pikirkan sekarang."

Tapi Elena menangkap godaan tersebut dan menoleh ke Alden sembari menyeringai tipis. "Jika kau jadi aku, apa yang akan kau pikirkan?"

Alden berpura-pura berpikir keras sebelum menoleh ke arah Elena lagi.
"Mungkin, aku akan berpikir untuk mencintai pria ini selamanya." Ujarnya kelewat percaya diri.

Elena mendecih dan menyeringai menanggapi leluconnya. Tidak, itu tidak sepenuhnya lelucon, karena Alden benar. Elena rasa ia akan mencintai pria ini selamanya.

Sama seperti kekuatannya, ia tak bisa mengontrol hatinya. Tapi untuk beberapa alasan, ia malah merasa bahagia.

--------------------------♡♡♡------------------------
Ellano berjalan menyusuri koridor bernuansa putih dan abu-abu dengan Clara yang berjalan mengiringinya.

Mereka tengah berjalan menuju suatu tempat agar proyek mereka dapat berjalan dengan lancar tanpa keraguan dari masyarakat. Ellano tak ingin apa yang mereka lakukan tiga tahun terakhir menjadi sia-sia.

"Bagaimana kabarnya?" Ia melontarkan pertanyaan pada Clara.

"Mereka tengah bertemu dan menuju bundaran HI sekarang."

"Baguslah." Ia menghela tak terlalu ketara. Merasa lega karena salah satu bahan pikirannya baik-baik saja.

Darlene - Bumi Dan HeloraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang