Darlene - Part 13

89 7 0
                                    

Elena menggeser tombol unlock pada layar pintu rumahnya tanpa menunggu seperti biasa. Semua yang baru terjadi di depan matanya membuatnya terlalu lelah untuk memikirkan apa-apa. Ia hanya berharap ini adalah mimpi dan akan terbangun segera.

"Yeaay, kau pulang dengan selamat Elena.." Ia berjalan lunglai melewati pintu baja yang baru terbuka.

"Benar juga, kenapa aku bisa selamat tapi tidak dengan mereka?"

"Apakah bintang bersinar terang-hari ini?"

Ia mendesah. "Untuk apa aku repot-repot mengeceknya? Mereka menangis di hadapanku dan aku tak bisa berbuat apa-apa."

"Keluargamu mencintaimu."

Mendengar kalimat itu, Elena mendecih sinis. Kini ia telah sampai di tengah rumah dan mendapati ayahnya tengah mengecek laporan di sofa dengan Clara di sebelahnya.

"Bagaimana bisa seseorang yang memperlakukan keluarga lain seperti hewan dapat mencintainya keluarganya?" Matanya menatap ayahnya tajam. Perkataan itu tertuju pada keluarga satu-satunya yang ia miliki tersebut, yang kini tanpa bersalah melanjutkan harinya seperti biasa.

Ellano menatapnya sesaat dan seperti biasa mengabaikan kehadirannya dengan kembali mengurus lembaran kertas yang berada di depannya. Elena tak bisa berhenti menatap lembaran kertas itu. Itu pasti laporan dari proyek gila yang dengan tanpa perasaan mengusir rakyat tak berdosa ke pinggiran kota, dan seperti hal itu masih kurang mengejutkan, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ayahnya adalah dalang dari proyek gila itu.

"Menjijikkan." Kata-kata itu mengalir dari bibirnya tanpa berniat ia cegah.

Ellano menatapnya dengan alis bertaut "Apa katamu?"

"Petugas tersebut. Menjijikkan" Dan juga ayah. Ia ingin mengucapkan kata itu, tapi berakhir dengan hanya menelannya.

"Apa kau membuat masalah? Sudah kubilang hiduplah dengan tenang, semua orang tau kalau kau putriku" ucapnya menggurui.

Elena memejamkan matanya, dengan tangan mengepal erat, ia menahan gemuruh di dadanya yang membuat hatinya seolah ingin melompat keluar. Ia telah biasa mendengar kalimat itu, tapi entah mengapa hari ini kalimat itu membuat darahnya serasa mendidih dan jantungnya berdegup kencang. Ia tak tahan lagi.

"Mereka tinggal di bangunan tua berdebu dengan sanitasi tak layak, hidup dari mencuri makanan orang lain karena mereka terlalu hina untuk mendapatkan makanan. Pemerintah membuat mereka lebih rendah dari sampah tapi mereka masih bisa tertawa dan berbagi bersama keluarga mereka. Lalu sekarang apa? seolah itu tak cukup kejam, ayah mengusir mereka dari 'rumah' mereka!" Air menggenangi matanya karena luapan emosi yang tak bisa ia kendalikan.

Kecewa, marah, dan merasa menyedihkan. Elena tak tahu apa yang tepat untuk mendeskripsikan apa yang ia rasakan. Ia mengusap airmata yang terjatuh ke pipinya dan segera berbalik sebelum ayahnya melihat ia menangis sembari berkata.

"Kau menjijikkan, Ayah." Ucapnya pelan. Akhirnya, ia benar-benar mengatakannya.

Ellano masih bergeming di tempat. Ia tahu bahwa keadaan akan semakin parah jika ia menahan putrinya sekarang. Gadis itu tak pernah meninggikan suara dan menangis di hadapannya dalam waktu yang cukup lama. Tapi kali ini, ia melakukan kedua hal tersebut secara bersamaan.

"Bisa kau cari tau apa yang terjadi?" Perintahnya pada Clara tanpa menoleh.

"Baiklah."

Ia tak mengerti apa yang Elena katakan barusan. Yang ia tau pasti adalah: hal besar yang membawa namanya telah terjadi. Tanpa ia ketahui.
--------------------------------------------------------------
Elena harap ia bisa tertidur dan melupakan segalanya, tapi matanya terpejam dan otaknya tak bisa berhenti berkelana menyusuri hal-hal yang tak ingin ia pikirkan lagi.

Walaupun mereka sering melakukan tindakan kriminal dan mengajarkan anak mereka untuk mencuri sejak kecil, Elena percaya bahwa tidak ada satupun dari mereka yang bermaksud melakukan kejahatan, mereka hanya mencoba bertahan dan melindungi keluarga mereka dari rasa lapar.

Wajah-wajah mereka yang duduk di pinggir jalan karena lelah mendemo di depan kantor pemerintah, pakaian mereka yang lusuh tanpa alas kaki yang layak untuk dipakai lagi, dan bagaimana mereka meminta makanan hingga mencurinya dari orang-orang yang melintas di trotoar.

Bagaimanapun, manusia selalu memiliki insting untuk bertahan hidup dan melindungi orang yang mereka cintai, bagaimanapun caranya.

".... Setiap kakak-kakakku pulang dengan sedikit makanan, ibu akan menyuruh kami untuk menghabiskannya. Ia berkata bahwa ia tidak lapar..."

Perkataan gadis itu terngiang di kepalanya, seolah Elena tengah berbicara dengannya sekarang.

Gadis itu hanya memiliki satu kaki, dan memakai kaki palsu konvensional di kaki kanannya. Hal itu membuatnya kesulitan berjalan dan pasti sangat menyakitkan setiap kali ia melangkahkan kaki. Apa yang membuatnya nekat keluar dengan kondisi seperti itu?

"... Tapi apakah kakak tau kenyataannya? Ia belum memakan apapun dari pagi.." Kali ini wajah sedih gadis itu menghampiri pikirannya.

Wajah yang berubah bahagia saat Elena memberikannya sedikit makanan, dan berubah drastis saat membahas ibunya. Walau tak tau caranya, ia berusaha untuk membawa makanan lebih agar ibunya dapat makan bersama mereka.

Tiba-tiba Elena merasa seakan tombak menancap ke jatungnya. Gadis itu hanyalah satu dari anak-anak lain yang memiliki nasib yang serupa. Mereka mengambil resiko agar dapat mengganjal perut dan membawa makanan itu pulang untuk dinikmati bersama keluarga mereka.

Ingatan tentang wajah mereka yang terseret-seret menuju mobil, jeritan mereka yang memohon pengampunan yang tak didengarkan, dan tangis mereka yang ketakutan karena ditarik secara paksa. Ingatan itu sudah cukup membuat tombak yang menancap seolah jatuh dan merobek jantungnya.

Lalu wajah ayahnya yang dengan percaya diri mengucap sumpah sebagai pemimpin proyek nanobots yang membuat mereka terusir muncul di ingatannya. Itu proyek gila yang melibatkan seluruh negeri, bagaimana bisa ...

Tunggu dulu, itu dia!

Pikiran itu membuatnya matanya terbuka lebar dan terduduk, "Ini proyek untuk seluruh negeri, kenapa mereka diseret keluar kota? Bukankah sama saja!"

Ia tiba-tiba merasa orang paling bodoh karena tak terpikirkan akan hal itu, tapi ini menjadi hal yang sangat aneh, ia merasa ada suatu yang tidak beres, apa yang ayahnya rencanakan terhadap orang-orang itu jauh diluar nalarnya. Ia tak tahu sampai mana ayahnya bisa bertindak, yang ia ketahui hanya satu, keinginan besar untuk mengetahui kebenaran dan menyelamatkan mereka.

Ini pertama kalinya, ia benar-benar ingin melakukan sesuatu terhadap orang lain. Dan bertekad melakukan sesuatu, bagaimanapun caranya.
-----------------------------------------------------------
Puluhan truk terparkir rapi di depan sebuah bangunan tua besar di pinggir kota. Rumput-rumput liar tumbuh di sekitarnya dan jalan menuju ke sana masih bebatuan yang belum di aspal.

Sebuah mobil hitam mengkilat mendekat dan parkir di dekat truk-truk tersebut. Pintu mobil terbuka ke atas. Dan seorang lelaki bersepatu cokelat dan bersetelan jas hitam rapi keluar dari mobil tersebut.

Ia berjalan dengan tenang menuju salah satu truk dan memerintahkan petugas untuk membuka bagian belakang truk itu.

Pintu truk terbuka pelan ke atas. Membuat isi dalamnya mulai terlihat perlahan.

Puluhan orang berpakaian lusuh menatapnya sambil memicingkan mata, merasa silau karena tiba-tiba melihat cahaya setelah beberapa lama.

Mereka duduk sambil memeluk kaki dengan tangan diborgol di depan, seolah tak ada daya dan tenaga yang tersisa, mereka hanya pasrah dan tak bersuara.

Laki-laki itu berjalan lebih dekat lagi ke mulut truk.

"Semua yang kalian inginkan. Aku akan memberikannya." Ucapnya pelan lalu menyeringai lebar.

Orang-orang itu hanya menatapnya tanpa minat. Perkataan laki-laki itu tak membuat mereka bahagia ataupun takut ketika mendengarnya.

Mereka ... adalah orang-orang yang diusir dari kota. Diculik, tepatnya.

Darlene - Bumi Dan HeloraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang