"Apakah tadi aku salah dengar saat seseorang berkata untuk membeli makanan ringan terlebih dahulu dan jangan terlalu banyak?" Alden menopang wajahnya dengan dagu sambil menatap Elena heran.
Gadis itu baru saja meletakkan semangkuk siomay spesial (siomay, tahu, batagor, sayur, telur) di tengah sate, sosis, bakso dan cumi bakar, dan juga enam jenis pempek yang ia beli sebelum siomay itu dengan wajah yang sangat bahagia seolah ia jatuh cinta pada makanan itu dan cintanya baru saja terbalaskan.
"Apakah kau telah menakar kapasitas perutmu dengan benar?" Ia masih tak percaya dengan penglihatannya.
Elena mengangguk penuh semangat. "Aku menakarnya dengan baik dengan pikiran bahwa kau akan memakannya jika aku tak kuat lagi." Lalu ia mengepalkan tangannya untuk berdo'a.
"Hah? Apa?!"
"Selamat makan!" Ujarnya dengan semangat tanpa memperdulikan reaksi yang Alden berikan.
Ia mengambil satu siomay besar dan memasukkan ke dalam mulut tanpa memotongnya terlebih dahulu dan mengambil satu lagi untuk diberikan pada Alden yang masih tak mempercayai pendengarannya. Dengan pipi yang mengembung karena penuh, ia tersenyum.
"Bagaimana pekerjaanmu? Apakah berat?" Tanya Elena sambil terus mengunyah.
"Makan pelan-pelan dan jangan bicara, kau bisa tersedak." ucap Alden perhatian tapi tak Elena tanggapi karena ia tengah sibuk menatap makanannya yang lain ketika mulutnya saja masih penuh.
Alden menjauhkan wajahnya dan tertawa, lalu ia menopang wajahnya dengan kedua tangan dan menatap setiap inchi wajah gadis itu seolah tak ingin melewatkan bagian apapun.
"Kenapa?" Elena merasa tak nyaman menyadari Alden tengah menatapnya.
"Tidak apa-apa. Bagaimana bisa kau bisa terlihat cantik dan rakus di saat yang sama?" Godanya sembari tersenyum.
dengan pipi menggembung, Elena memicingkan matanya. "Kau memujiku atau menghinaku?"
Alden menegakkan badannya, tak setuju dengan spekulasi yang baru saja Elena buat. "Tentu saja itu pujian."
Gadis itu mendekatkan wajahnya pada Alden, dan dengan mata yang memicing, ia berkata dengan volume yang dikecilkan. "Sudah kubilang, jangan menggodaku saat sedang makan, kan?"
Alden ikut mendekatkan wajahnya pada Elena, dan berbisik dengan volume yang sama. "Sudah kubilang, aku tak mau menurut, kan?"
Mereka hanya saling memicingkan mata selama beberapa saat hingga merasa lelah sendiri dan akhirnya mundur secara bersamaan.
Alden meminum es teh miliknya, Elena kembali memakan siomay-nya, seolah tak terjadi apa-apa. Anggap saja demikian agar tak memperpanjang masalah. Hingga smartwatch Alden berbunyi. Ada panggilan masuk ke smartphone-nya.
Alden mengambil smartphone-nya dari saku dan hanya menatap layar selama beberapa saat. Itu panggilan dari seseorang yang sangat tak ingin ia dengar suaranya sekarang dan memang tak pernah ada saat dimana ia ingin mendengar suara orang tersebut. Alden menimbang-nimbang apakah ia harus mengangkat panggilan itu atau tidak.
"Siapa?" Elena bertanya karena Alden tak kunjung mengangkat atau mematikan panggilan tersebut.
"Seseorang. Aku akan mengangkatnya." Jawabnya dengan nada menggantung dan kemudian beranjak dari tempat duduknya untuk mengangkat panggilan tersebut.
Elena menatap punggungnya yang menjauh dan menghilang di balik gerobak-gerobak makanan khas madura. Ia mendesah, sedikit merasa bersalah karena memaksakan kehendak tapi lebih memilih melupakan hal tersebut dan melanjutkan aktifitas makannya.
Ia baru saja mengambil bakso bakar di sebelahnya hingga ia menyadari sebuah kejanggalan. Seseorang selalu terlalu peka terhadap hal yang ia tak sukai, dan kini ia tengah merasakannya. Ia merasakan ada yang tengah menatapnya sehingga tangannya berhenti mengambil bakso tersebut dan menoleh ke sebelah kiri, di mana aura tatapan tersebut sangat kental.
Dan firasatnya benar.
-------------------------------------------------------------------------
Alden berjalan menjauhi area festival untuk mengangkat telepon tersebut. Kini ia berada di tempat sepi berjarak kurang lebih 10 M dari gerobak-gerobak makanan sunda. Ia menggeser ikon telpon hijau pada layar smartphone-nya untuk mengangkat panggilan.
"KENAPA KAU TAK ANGKAT-ANGKAT, HAH?!" Orang itu berteriak dan membuat Alden sedikit menjauhkan ponselnya.
"Apa yang kau lakukan di jam kerja seperti ini? Bermain-main? Kau kira usahaku ini hanya main-main?" Sambungnya.
Alden menautkan alisnya, merasa terganggu dengan ocehan pak tua di seberang sana yang bahkan tak memberikan celah untuknya menjawab.
"Aku bersama Elena." Dia menyahut singkat, memilih untuk tidak mendengar dan menjawab semua pertanyaan pria tersebut.
Jawaban itu cukup untuk menenangkannya dan membuat pria itu merendahkan suara.
"Apa yang kau dapatkan?" Tanyanya dengan nada tenang dan serius.
Alden menghela napas, ia heran kenapa orang itu tak mengerti bahwa ia tengah melakukan hal sulit yang tak bisa diselesaikan dengan sekali pengerjaan.
"Belum ada, ayah."
Ucapan itu membuat pria itu menggertakan rahang. Pria itu adalah Delvin. Ia kini tengah berada di ruangannya sembari mengobati luka di tangannya.
"Sudah kubilang jangan panggil aku ayah, kan?" Ancaman terdengar dari nada bicaranya.
"..Kau tak pernah melakukan hal dengan baik. Berani sekali kau menganggapku ayahmu."
Kini giliran Alden yang menggertakan rahangnya. Ia benar-benar merasa muak dan menyedihkan.
"Berhenti bermain-main, dan selesaikan tugasmu dengan baik. Kau membuang-buang waktuku yang berharga. Dasar tak berguna!"
Setelah mengucapkan itu, Delvin mematikan panggilan. Lagi-lagi, tanpa memerlukan tanggapan. Alden hanya diam mematung dengan ekspresi yang mengeras. Ini bukan seperti ia ingin terlahir menjadi anak dari seorang pria yang tak pernah menginginkannya. Tapi satu kali saja, ia ingin diakui dan dianggap berhasil oleh pria itu.
Ia mematikan ponselnya dan menghidupkannya lagi dan menatap foto Elena pada Lockscreen ponselnya. Ambisi kuat dan dendam mengalir di darahnya dan terpancar dari sorot matanya yang tengah menatap gadis dengan rambut warna caramel, mata cokelat, dan tengah tersenyum ceria seolah tengah tersenyum padanya tersebut.
"Oleh karena itu, kau harus membantuku." Ucapnya lembut pada gadis itu.
Gadis yang tiba-tiba memasuki hidupnya dan membuatnya harus merasa menyedihkan seumur hidupnya dan dia harap gadis itu juga bisa mencabut takdir menyedihkannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darlene - Bumi Dan Helora
FantasyCurrent Fav Quotes : "Di hadapan cinta yang berlalu cepat seperti angin, aku mengubur harapan untuk mendekap cintanya. Sehingga ia tak perlu tahu, bahwa selamat tinggal ini berarti ... aku mencintainya." ●●●●●● Ini adalah...