Darlene - Part 17

85 8 0
                                    

London, 2023

Acara makan bersama tengah berlangsung di rumah Ellano saat itu. Gurauan, suara dentingan alat-alat makan yang beradu dengan piring, dan juga suara gelas yang beradu. Mereka yang duduk di meja oval tersebut tertawa seolah tak pernah merasakan sengsara sedikitpun. Suara sepuluh orang di meja itu sudah cukup untuk membuat orang-orang di sekitar kompleks tahu bahwa pesta tengah berlangsung.

Tak seperti yang lainnya, Elena kecil tak menyentuh makanannya sedikitpun. Kulitnya yang pucat pasih, matanya yang cekung, dan ekspresinya yang murung membuatnya seperti seseorang yang sedang sakit. Walau begitu, orang-orang dewasa di meja itu tak menghiraukannya dan tetap asyik menikmati makanan mereka masing-masing sembari tertawa.

Bahkan ketika ia memutuskan untuk turun dari kursinya dan berjalan keluar meninggalkan orang-orang yang tengah bahagia itu, tak ada yang menyadari kepergiannya.

Gadis kecil itu terduduk di ayunan sambil menundukkan kepala, ia terlihat terlalu lemah bahkan untuk sekedar menyanggah tubuhnya. Tak ada senyum, bahkan tak ada kesedihan lagi di wajahnya, ia seolah telah hidup lama dalam kegelapan dan tak ada seorangpun yang mengulurkan tangan padanya untuk keluar dari ruangan gelap itu. Bahkan, tak ada yang sekedar berniat menemaninya dalam kegelapan yang membuatnya lelah merasa ketakutan. Ia seolah tak membutuhkan apa-apa lagi, ia seolah tak menginginkan apapun lagi, ia ... tak ingin hidup lagi.

Pada saat itu seorang anak laki-laki berdiri di hadapannya. Tubuhnya yang berdiri membelakangi matahari membuat gadis kecil itu menyipitkan matanya karena cahaya matahari itu mengelilingi sang anak dan membuat tubuhnya seolah bersinar terang.

Anak laki-laki itu duduk agar gadis kecil dapat melihat wajahnya tanpa mendongak. Karena bingung, Elena hanya menatap anak itu. Tanpa berkata apa-apa, sang anak meraih tangannya. Ia genggam tangan itu dengan tangan kirinya dan tangan kanannya mengusap kepala si gadis kecil dengan lembut. Lalu ia menatap mata si gadis dan tersenyum.

Tangan hangatnya seolah memberi penghiburan pada gadis kecil itu, bahwa semua baik-baik saja. Bahwa ia akan selalu baik-baik saja, bahwa ia ... berhak merasa baik-baik saja. Sehingga sang gadis tak perlu merasa takut atau bersedih lagi, karena ia ada di sana saat ini. Kehangatan yang menyeruak masuk pada ruang dingin di hatinya itu, berhasil membuat sang gadis tersenyum.

Anak laki-laki itu berhasil, dalam membuatnya tersenyum lagi. Ayahnya yang selalu memukulnya tersenyum lebar hari itu, mengusap kepala sang anak yang tadinya ketakutan jikalau sang ayah akan memberinya pukulan.

Tapi anak itu tak pernah mengira, keputusannya menghibur gadis yang terlihat sedih itu ... akan mengubah hidupnya selamanya. Bahwa mulai saat itu, ia menjadi penanggung jawab, dalam setiap emosi yang gadis itu rasa.

---------------------- Flashback end-----------------
Setelah menelepon Raline tadi, Alden duduk di kursi kantornya dengan mata terpejam dan kepala menengadah ke langit-langit. Ia sedang beristirahat, tapi juga tidak.

"Apakah kau ... mencintai gadis itu?"

Pertanyaan Raline beberapa hari lalu terngiang lagi di pikirannya. Dari segala hal yang harus ia pusingkan, ia malah teringat pertanyaan tak penting yang membuatnya terusik beberapa hari terakhir.

Laki-laki itu akhirnya menyerah pada pertanyaan itu dan mulai mencoba merenungkannya. Ia membenarkan posisi kepalanya dan mengangkat smarphone dari atas meja. Ia menatap seorang gadis yang tersenyum manis di layar ponselnya dengan ekspresi serius.

 Ia menatap seorang gadis yang tersenyum manis di layar ponselnya dengan ekspresi serius

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Apakah aku mencintai gadis ini?

Ia malah bertanya pada dirinya sendiri. Selama 12 tahun mengenal gadis itu, hingga menjadi tunangannya, Alden tak pernah berpikir apakah ia mencintai Elena atau tidak. Berada di sisi gadis itu telah ia anggap sebagai sebuah 'tugas' yang diberikan oleh ayahnya.

Kadang tugas itu membawa keberuntungan, kadang membawa kesialan, kadang juga membawa rasa sakit yang membuatnya muak dengan segalanya. Ia telah menjalani hidup, dengan mengabaikan perasaannya dan bergerak sesuai yang ayahnya inginkan.

Kenapa gadis itu selalu menggunakan sarung tangan? Dan kenapa ia selalu menghilang tiba-tiba? Alden bahkan menyimpan rapat-rapat rasa penasarannya sampai ia tak penasaran lagi dengan kenyataan yang mengherankan itu.

Tapi kemudian ia tahu, bahwa itulah alasan kenapa ayahnya mengirimnya pada gadis itu. Ayahnya ingin menjadikan mereka sangat dekat, hingga gadis itu akan membuka semua rahasianya pada Alden. Ayahnya sangat terobsesi pada seluk beluk keluarga Ellano hingga mengandalkan segala cara, termasuk memanfaatkan anaknya untuk mencari titik lemah mereka. Dan bahkan Alden menutup hatinya akan kenyataan itu dan hanya menjalankan 'tugas'nya.

Drrrtt... drrrttt...

Gambar Elena di layar ponselnya berganti menjadi tampilan panggilan masuk yang bertuliskan 'Ayah' pada bagian tengah layar.

Apakah ini bencana lainnya? Benak Alden ketika menggeser tombol hijau.
--------------------------------------------------------------

Tuk, tuk, tuk!

Suara sepatu hill dengan tempo cepat memenuhi ruangan beronamen semen itu. Ruangan itu terlihat megah, tapi sangat ketara bahwa itu hanya bangunan tua yang telah lama ditinggalkan, sangat jauh berbeda dengan kantor canggih mereka di pusat kota. Raline menatap ke tengah ruangan. Hanya bagian itu yang memiliki teknologi canggih yang terlihat sangat tak cocok dengan ruangan ini. Kenapa ia bisa masuk ke sini? Fakta yang harus ia syukuri adalah Delvin lebih mempercayai dirinya daripada putranya sendiri. Laki-laki itu menjadikannya seolah asisten pribadi untuk mengurus rencananya di sini, itulah kenapa Raline bisa sampai di tempat ini. Lagipula tak ada siapapun di sini yang akan memberhentikannya karena tak ada penjaga di pintu masuk dan sepertinya Delvin belum tahu jika Raline telah berhenti dari Anders Tech. karena ia sibuk menghilang beberapa hari terakhir. Tapi karena ia tak ada di sini, ia pasti telah kembali ke kantor pusat. Dan cepat atau lambat, seseorang akan datang ke sini menghalangi rencananya.

Tangannya yang sedari tadi menyusuri dinding berdebu mencari saklar akhirnya menemukan benda persegi itu di ujung ruangan. Ketika ia menekan benda persegi itu, semua alat yang berada di tengah ruangan tadi juga hidup. Ia berjalan cepat mendekatinya dan mata serta tangannya berkolaborasi dengan kecepatan tinggi mempelajari setiap tombol dan fitur pada layar hologram di depannya.

 Ia berjalan cepat mendekatinya dan mata serta tangannya berkolaborasi dengan kecepatan tinggi mempelajari setiap tombol dan fitur pada layar hologram di depannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Salah satu layar pada perangkat computer itu menampilkan penampakan yang membuat matanya melebar. Ratusan orang dengan pakaian lusuh terduduk lesu di ruangan berdinding semen yang sama seperti tempat ini. Ternyata mereka juga berada di sini. Raline meningkatkan kecepatannya, menelusuri setiap pengaturan yang ada dalam perangkat itu.

Ia harus menghentikan nanobot yang terkirim ke tempat ini, tapi Raline yakin ia tak memiliki cukup waktu untuk mereset semua pengaturan. Tidak, ia bahkan tak tahu password mengubah pengaturan itu. Yang ia bisa lakukan sekarang hanya memindahkan semua algoritma dan data dari computer itu agar ia bisa mengontrolnya dari jauh dan memiliki waktu untuk meretas password ke pengaturan utamanya. Keringat dingin mulai mengucur di keningnya, ia terus menatap ke keyboard, layar di depan dan layar cctv sebelah kirinya secara bergantian.

Apapun rencana Delvin, ia yakin orang-orang tak bersalah itu akan menjadi korban dari kegilaan laki-laki itu. Oleh karena itu, ia harus berhasil memindahkan semua data sebelum seseorang datang ke tempat ini.

Darlene - Bumi Dan HeloraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang