3. Pria aneh

2.7K 225 5
                                    

Hari ini adalah hari Jum'at. Hari terakhir mengajar di minggu ini. Aku membereskan kelas yang berantakan bekas anak-anak membuat kerajinan tangan.

"Bu guru, bu guru, saya pulang ya. Assalamualaikum," ucap Adel sembari menyalami tanganku.

Dia anak yang cantik dan pintar. Selain cantik, dia memiliki wajah yang lucu dan menggemaskan. Bulu matanya lentik, juga memiliki hidung yang mancung.

Aku menjawab salamnya. Kemudian Adel berlari menuju Bundanya yang menunggu di luar kelas. Senyumku mengembang saat melihat Adel yang selalu terlihat begitu ceria. Seolah-olah memang tidak ada beban dalam hidupnya. Ah, aku pun merindukan masa kecilku. Yang masih belum mengerti sebuah masalah dan beban hidup. Tapi, bukankah waktu terus berjalan? Semua orang pasti akan merasakan fase dimana dia akan diberikan ujian karena bukti rasa cinta Allah pada hamba-Nya.

Seharusnya aku bersyukur Allah memberiku ujian hidup, itu tandanya Allah sayang padaku, Allah peduli padaku.

Setelah kelas sudah bersih kembali, aku menghampiri Kak Ayu yang sedang membereskan tugas anak-anak, memasukkannya ke dalam lemari berbentuk persegi panjang dengan beberapa bagian.

"Sudah mau pulang, Ev?" tanya Kak Ayu saat menyadari keberadaanku.

"Hehe iya, Kak."

"Ya udah, hati-hati ya, Ev. Jangan ngebut bawa motornya," peringat Kak Ayu dan kujawab dengan acungan jempol.

"Duluan ya, Kak. Assalamualaikum," pamitku.

Kak Ayu menjawab salamku. Lalu aku berjalan keluar kelas dan menuju ke parkiran. Di sana ada si Bronson yang selalu setia menemaniku kemana pun aku pergi—itu pun kalo penyakit rudet-nya tidak kambuh.

Aku memakai helm sambil bercermin di spion. Sebelum melajukan motor, aku membuka ponselku terlebih dahulu karena ada pesan masuk. Ternyata itu sebuah pesan dari Mama.

Mamaku.
Sayang, tolong mampir ke minimarket sebentar ya. Beliin puding, susu, sama roti tawar.

Me.
Oke mama.

Memasukan kembali ponsel ke dalam tasku. Kemudian aku mulai melanjukan si Bronson menuju minimarket.

Tak sampai sepuluh menit, aku sudah sampai di minimarket. Aku masuk dan mulai membeli apa yang Mama pesan.

"Pudingnya banyak rasanya nih. Mama gak bilang lagi mau rasa apa."

Aku mengeluarkan ponselku dan menghubungi Mama.

"Halo, Sayang?" ucap Mama di sebrang sana setelah sambungan telepon terhubung.

"Halo. Assalamualaikum, Ma. Mama pesen puding rasa apa?" tanyaku to the point.

"Waalaikumussalam ... Oh iya, Mama lupa kasih tau, hehe." Aku mendengar Mama terkekeh. "Pesen yang rasa coklat aja ya."

"Oke, Ma. Assalamualaikum."

Aku menutup sambungannya setelah Mama menjawab salamku. Saat aku menyimpan ponselku ke tas, ekor mataku tak sengaja melihat si pria resek bernama Azril. Dia sedang mengantre untuk membayar belanjaannya.

Dan tanpa sadar, si pria resek itu pun menatap ke arahku. Otomatis aku langsung memalingkan wajah ke arah lain. Mengapa harus bertemu lagi dengan dia sih?

Karena sudah selesai membeli apa yang dipesan Mama, aku segera beranjak ke kasir. Antrean saat ini masih cukup panjang.

"Hai, Mbak Evren. Ketemu lagi nih kita." Tiba-tiba pria aneh itu sudah ada di belakangku dengan senyuman lebarnya. Apakah dia sengaja pindah tempat hanya untuk menggangguku? Kalau iya, tidak ada kerjaan sekali.

"Apa kabar, Mbak?" tanyanya masih dengan senyuman.

"Baik," jawabku singkat.

"Alhamdulillah kalau baik. Saya juga baik-baik saja, Mbak."

Benar-benar pria yang percaya diri sekali. Padahal aku tidak bertanya kabarnya. Tapi, dengan tingkat percaya dirinya yang tinggi, dia berani berkata seperti itu. Pria unik. Eh, apa kubilang? Maksudku, dia pria aneh. Ya, aneh.

"Saya sudah add facebook-nya, Mbak. Tapi kenapa nggak dikonfirmasi sih?"

"Saya jarang buka facebook."

"Ya udah, nanti buka facebook ya. Terus konfirmasi saya."

"Kalau mau."

"Kok Mbak gitu sih. Ya harus mau dong, Mbak. Bertambah teman itu baik, lho."

Aku mengembuskan napas berat. Mengapa pria ini cerewet sekali? Padahal jika dilihat-lihat, wajahnya menggambarkan bahwa dia sosok yang kalem dan tegas. Tapi aslinya boro-boro. Resek yang ada.

Perlahan antrean mulai mereda. Dan kini giliranku. Aku memberikan barang belanjaanku ke Mbak-Mbak kasir.

"Mbak Evren tinggal dimana?" Pria di belakangku kembali bersuara.

"Di rumah," sahutku.

"Iya tau di rumah. Tapi maksud saya daerah mana."

"Gak akan dikasih tau."

"Yaaah gitu..."

Belanjaanku sudah selesai dihitung dan sudah dimasukan ke dalam kantong kresek putih. Sang kasir itu menyebutkan jumlah belanjaanku.

Setelah selesai membayar, aku keluar dari minimarket tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada pria aneh itu.

"Mbak Evren tunggu!"

Aku tidak jadi melajukan si Bronson saat pria bernama Azril memanggilku. Dia sudah keluar dari minimarket dengan kantong kresek putih yang isinya hanya dua botol kopi dengan sebungkus kuaci.

"Ada apa?" tanyaku terkesan datar.

"Jangan lupa buka facebook ya," katanya sambil tersenyum manis.

Hah? Apa kubilang? Senyum manis? Idih, aku menarik kembali kata-kataku barusan. Dia sama sekali tidak ada manis-manisnya. Menyebalkan sih iya.

"Berteman itu indah lho, Mbak."

"Lebih indah kalo gak gangguin hidup orang," ucapku sarkastis.

"Untung saya gak merasa gangguin hidup orang hehe."

Benar-benar pria yang tidak mudah tersinggung. Dia bahkan tidak menyadari jika ucapanku tadi adalah sebuah sindiran untuknya. Bahkan sindiranku bisa dibilang cukup pedas bagi orang yang terlalu perasa. Tapi, apakah iya dia tidak merasa jika ucapanku barusan ditunjukkan untuk dia? Ish, entahlah. Dia memang pria aneh yang baru kutemui.

"Terserah deh," pasrahku.

"Jangan lupa ya, buka facebooknya. Terus konfirmasi saya." Dia kembali tersenyum.

"Oh iya satu lagi." Dia menatapku dengan tatapan yang tidak biasa. "Jangan lupa senyum, Mbak. Senyum itu ibadah. Ya asal jangan senyum-senyum sendiri. Ntar dikatain gak waras. Kan bahaya." Kambuh deh penyakit reseknya.

Aku menyalakan si Bronson yang sempat kumatikan. "Duluan. Assalamualaikum," pamitku yang segera ingin pergi dari hadapan pria ini.

"Waalaikumussalam."

Setelah mendengar jawabannya, aku mulai melajukan motor dari area minimarket. Sebelum aku benar-benar menjauh, aku dapat mendengar teriakan dari pria bernama Azril itu.

"Jangan lupa dikonfirmasi ya, Mbak. Juga jangan lupa tersenyum. Mbak cantik kalau senyum."

***

A/n:

Assalamualaikum.

Gimana dengan part 3?
Semoga suka😊

Jangan lupa tinggalkan vote & komentarnya!

Salam sayang,
Nidiasfitaloka❤

Halal With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang