‼️
Part ini tidak disarankan bagi orang yang uwuphobia😂
***
EVREN
Setelah Mas Azril menjelaskan semuanya, seketika aku menangis. Aku tidak menyangka kejadian tragis menimpa suamiku.
Aku tidak habis pikir dengan perbuatan mantan kekasih Resya, tapi lebih tidak habis pikir semua ini terjadi karena ulah perempuan bernama Resya. Dia benar-benar perempuan licik.
Aku memeluk tubuh Mas Azril, menangis sejadi-jadinya di dada suamiku itu. Kata maaf aku ucapkan beberapa kali karena telah bersikap tidak baik padanya.
“Sudah, Dek. Jangan nangis, ya. Yang penting kan Mas udah pulang sekarang.” Mas Azril melepaskan pelukan kami. Dia menatap wajahku sambil menghapus air mata yang membuat wajahku basah.
“Pasti sakit kan, Mas?” Aku mengusap wajahnya yang masih ada beberapa bekas memar.
“Sudah nggak apa-apa, Dek. Hanya sedikit sakit saja.”
Bagaimana bisa. Bagaimana bisa ada perempuan yang tega berusaha menghancurkan rumah tangga orang lain. Apakah dia tidak berpikir, suatu saat pun dia akan menikah dan berumah tangga, bagaimana jika hal semacam ini pun terjadi dalam rumah tangganya?
“Jangan dekat-dekat lagi dengan Resya,” kataku pada Mas Azril.
“Enggak, Dek. Mas nggak dekat-dekat sama dia kok.”
“Gak boleh pokoknya,” tegasku menatap serius ke Mas Azril.
“Iya iya, Sayang.” Mas Azril mengacak-acak rambutku, membuatku mendengkus kesal karena ulahnya itu.
Kami kembali lagi berpelukan. Aku sangat merindukan suamiku. Merindukan pelukannya, ciumannya, begitu juga reseknya. Aku tidak menyangka hal semacam ini akan terjadi pada rumah tangga kami.
“Aku sayang Mas,” ucapku tanpa malu.
“Mas juga sayang banget ke Adek,” balas Mas Azril sambil mengeratkan pelukan kami.
“Aku kangen,” tuturku membuat Mas Azril melepaskan pelukan kami. Dia menatap ke arahku dengan kedua tangannya yang menempel di pipiku.
“Kangen siapa?” tanya Mas Azril pura-pura tak peka.
“Tau ah,” gerutuku sambil memalingkan wajah darinya.
Mas Azril terkekeh. Kemudian dia menarik wajahku lagi agar saling berhadapan dengan wajahnya. Suamiku itu tersenyum manis. Senyum yang kini selalu menjadi candu bagiku.
“Mas juga kangen banget sama Adek.”
“Bohong ah.”
“Beneran, Dek.”
“Masa?” tanyaku seolah tidak percaya.
“Iya, Sayang.” Setelah mengatakan itu, tiba-tiba Mas Azril mengecup pipiku, membuat aku tersipu malu karena ulahnya. Meskipun aku sering dikecup olehnya, tapi tetap saja debaran itu selalu muncul saat lagi dan lagi Mas Azril melakukan hal tersebut.
“Love you, Dek.”
“Love you more, Mas.”
***
Malamnya, setelah selesai shalat isya, aku membantu Mas Azril mengoleskan salep ke wajah dan tubuhnya yang masih terdapat luka memar. Aku ngilu sendiri melihatnya.
“Sakit nggak, Mas?” tanyaku saat sedang mengoleskan salep ke rahangnya.
“Sedikit, Dek.”
“Lagian aku nggak habis pikir banget. Kok ada sih orang semacam Resya sama Panji,” ujarku setelah selesai mengoleskan salep ke luka Mas Azril.
“Udah, Dek. Mas udah gak papa, kok. Sekarang daripada ngomongin mereka, mending ngomongin masa depan kita berdua aja.” Mas Azril menyubit kedua pipiku, membuat aku meringis kesakitan karena cubitannya cukup kencang.
Aku menatap Mas Azril yang sedang senyum-senyum tidak jelas.
“Apa?” kataku sedikit sewot.
“Kamu belum kepikiran buat segera punya anak, Dek?” tanya Mas Azril terlihat serius, membuatku seketika merinding.
“Ya pasti kepikiranlah, Mas. Belum waktunya aja kali,” jawabku.
Mas Azril membelai wajahku dengan tangannya, kemudian dia menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telingaku. Aku yang diperlakukan seperti ini hanya bisa terdiam. Rasa gugup dan senang jelas saja sangat terasa.
“Terima kasih,” ucap Mas Azril tiba-tiba.
“Terima kasih untuk apa?”
“Terima kasih sudah menjaga auratmu, Dek.”
Aku terkekeh mendengar jawabannya. “Itu kan sudah menjadi kewajiban seorang muslimah, Mas. Menjaga auratnya.”
“Ya, tetap saja Mas ingin berterima kasih ke kamu.”
“Ada-ada saja kamu, Mas.”
Usai aku mengatakan itu, tiba-tiba Mas Azril menggenggam tanganku. Aku tersenyum saat jemari kami saling terpaut. Lalu setelahnya Mas Azril mencium punggung tanganku yang masih digenggamnya.
Sekitar 7 detik, barulah Mas Azril menjauhkan tanganku dari bibirnya. Dia menatapku dengan tatapan penuh cinta. Aku dibuat tersipu olehnya. Ternyata benar, pacaran setelah halal itu memang nikmat.
“Cie ... Pipinya merah.”
Kalau pada dasarnya resek, akan tetap resek. Itulah Mas Azril. Padahal perlakukannya barusan sudah membuatku terpesona. Dan sekarang dia malah merusak momen dengan ejekannya itu. Lagi pula apa yang salah dengan pipiku yang merona.
Aku memutarkan bola mata jengah. “Hadeuh, emang rese kamu, Mas.”
“Rese-rese gini tapi kamu sayang kan?” Mas Azril menahan tawa.
“Tau ah.”
“Ayo ngaku,” godanya sambil mencolek-colek pipiku.
Aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya itu. Dia memang orang paling resek yang pernah kukenal. Tapi, meskipun begitu, aku tetap menyayanginya.
Aku merebahkan diri, menatap langit-langit kamar. Mas Azril pun melakukan hal yang sama. Dia berbaring di sebelahku. Suasana hening sesaat. Yang terdengar hanyalah helaan napas kami dan suara jarum jam dinding.
“Dek.” Mas Azril menghadap ke arahku. Embusan napasnya dapat aku rasakan di wajahku.
“Hm,” sahutku dengan gumaman.
“Sini lihat Mas.”
Saat Mas Azril berkata demikian refleks aku menuruti ucapannya. Tapi itu malah membuatku berdebar, karena saat ini posisi kami berdua sangatlah dekat. Aku berhadapan dengannya. Wajah kami benar-benar hampir tak berjarak. Suhu tubuhku mendadak panas saat lagi-lagi napas Mas Azril berembus di wajahku.
“Dek...” tutur Mas Azril lembut.
“Hm.”
“Mas sayang sekali sama Adek.”
“Aku juga.”
“Aku juga apa?” tanyanya pura-pura tidak peka.
“Sayang.”
“Sayang siapa?”
“Mas.”
Dan saat aku selesai menjawab, tiba-tiba Mas Azril mencium bibirku. Dia benar-benar cerdik dalam mengambil kesempatan.
***
A/n:
Assalamualaikum.
Ups maaf baru update😬
Jangan lupa tinggalkan vote & komentarnya.
Salam sayang,
Nidiasfitaloka❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Halal With You
SpiritualJangan pernah mencoba mengetuk pintu hati seorang perempuan jika kau tak pernah ada niat untuk serius. *** Evren Rubina Alzan. Seorang gadis muda yang selalu menjaga jarak dengan pria yang mencoba mendekatinya. Bukan tanpa alasan Evren seperti itu...