13. Evren

1.5K 121 1
                                    

Azril

Ada yang mengganggu hatiku pada saat ini. Tepatnya, saat Evren sudah melajukan motornya dari bengkelku. Pria yang tadi sedang duduk bersama Evren tiba-tiba menyapaku.

“A, kenal sama Evren?” tanya pria itu yang membuatku menunda lagi pekerjaan.

“Kenal.”

Hanya itu yang bisa kujawab. Tapi nyatanya pria itu ingin lebih dalam menanyakan perihal Evren padaku.

“Kalo boleh tau di mana rumahnya?” tanyanya lagi membuatku syok seketika, namun aku masih bisa menyembunyikan kekagetanku.

“Kenapa memangnya?” aku balik bertanya.

“Hm, gimana ya ngomongnya.” Dia berhenti sesaat. “Jadi gini, saya berniat melamar Evren. Tapi saya gak berani ngomong langsung, berhubung sepertinya dia masih marah sama saya. Ya siapa tau Aa bisa bantu saya, hehe.”

Syok. Sungguh, aku sangat syok mendengar ucapan pria yang belum aku tahu namanya siapa. Hei, Evren itu calon istriku.

“Eh, sampai lupa. Nama saya Reifal.”

Ternyata namanya Reifal.

“Saya Azril.”

“Aa siapanya Evren kalau boleh tau?”

Saya calon suaminya Evren.

Sayangnya, aku mengatakan itu dalam hati. Aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya terlebih dahulu. Aku harus tahu, siapa pria ini. Berani-beraninya dia mau melamar calon istri orang.

“Sebentar, tadi kamu bilang Evren masih marah sama kamu?” Aku mengerutkan dahiku.

Dia mengangguk.

“Kenapa?”

“Dulu saya dan Evren pernah dekat. Dan bodohnya saya malah ninggalin dia pas dia nanya kapan saya mau melamar.”

Jleb.

Jadi, pria ini mantan gebetan Evren? Astaga, kenapa tiba-tiba aku tidak enak hati? Aku tidak suka dengan fakta tersebut, bahwa pria bernama Reifal adalah mantan gebetannya Evren.

Apa aku cemburu? Tentu saja. Evren adalah calon istriku.

“Menurut saya, kamu tidak usah berharap lagi kepada Evren,” kataku sedikit ketus.

“Kenapa memangnya?”

“Terkadang, cowok tidak tahu diri itu gak berhak dapetin kesempatan kedua.”

Dia hanya bisa melongo mendengar jawabanku yang terdengar pedas.

“Maksudnya?”

Aku tersenyum miring. “Kamu udah ninggalin Evren karena dia minta kepastian. Lah, sekarang malah mau melamar saat Evren udah gak mau sama kamu. Gak malu memangnya?”

“Aa gak tau yang sebenernya terjadi. Aa gak tau alasan saya ninggalin Evren. Jadi, jangan seenaknya bilang gitu.” Dia masih bersikap sopan walau sebenarnya dia menahan kesal padaku. Dari nadanya sih seperti itu.

Tapi cukup sudah. Aku muak padanya. Aku memanggil Fendi—karyawanku—yang ternyata sudah selesai membenarkan motor si Reifal ini.

“Bentar, A. Saya cuma pengen tau alamatnya Evren.”

Aku tidak memedulikannya. Lebih baik aku pergi saja dari sini. Aku harus menenangkan hati dan pikiran ini yang sudah dilanda rasa kesal bercampur cemburu.

***

Evren Rubina Alzan. Sosok perempuan berbeda yang pernah kukenal. Aku suka dari cara berpakaian dia yang sopan. Dari cara bicara pun dia sopan walau memang dia judes di awal-awal aku mengenalinya.

Evren itu tipe perempuan yang judes saat belum kenal, dan sepertinya dia tidak bisa diam saat sudah kenal. Dari cara dia berinteraksi dengan Fachri pun aku sudah menduga, bahwa dia kakak yang cerewet tapi perhatian. Aku menyukainya.

Dari pandangan pertama aku melihatnya. Wajah kagetnya yang lucu membuatku ingin mengenalnya lebih dekat. Meski memang, butuh perjuangan untuk bisa mendekatinya.

Akhirnya, dengan segala perjuangan aku bisa mengajaknya berta'aruf, hingga ke tahap meminangnya. Dan tak lama lagi kami berdua akan segera menikah. Aku tidak sabar menanti momen tersebut.

Aku tahu, sebenarnya Evren belum sepenuhnya menyukaiku. Dia masih terlihat belum terbiasa dengan kehadiranku. Tapi, aku yakin, setelah menikah nanti dia akan sepenuhnya menyukai dan mencintaiku. Aku yakin itu.

Hatiku masih tidak keruan. Aku masih terpikir perihal pria bernama Reifal. Sungguh, aku tidak menduga bahwa akan dipertemukan langsung dengan pria yang pernah dekat dengan Evren. Dan entah mengapa, Reifal dengan mudah mengatakan padaku bahwa dia dan Evren pernah dekat.

Dan tunggu, apa yang mereka bicarakan saat sedang duduk berduaan waktu siang tadi? Ah, aku benci perasaan cemburu yang berlebihan ini.

Tenang, tenang. Kamu tidak boleh berlebihan dalam cemburu pada Evren yang memang belum menjadi istri sahmu, Azril. Ah, tapi tetap saja, aku tidak bisa menampik rasa cemburu ini.

Bagaimana kalau sebenarnya Evren masih menyukai Reifal?

Oh, mengapa malah terpikir pertanyaan semacam itu.

Tapi memang, tidak menutup kemungkinan Evren masih memiliki rasa kepada Reifal.

Sudah cukup. Yang terpenting sekarang Evren sudah menerima lamaranku, dan sebentar lagi kami akan segera menikah. Aku yakin, Evren tidak akan membiarkan perasaannya masih tumbuh untuk pria seperti Reifal.

Sepertinya aku harus menanyakan hal ini kepada Evren. Ya, sepertinya.

Tapi, bagaimana? Apakah aku harus bilang kalau aku sempat mengobrol dengan Reifal, dan dia membahas perihal hubungannya dengan kamu, Ev?

Ah, entahlah, lihat saja nanti, apakah aku berani menanyakan itu pada Evren.

“Bang, ayo makan malam.”

Suara Mama dengan ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Aku melirik jam yang menempel di dinding. Sudah pukul 8 lebih sepuluh menit. Tandanya, hampir satu jam aku melamun memikirkan hal tadi.

Tidak mau membuat Mama menunggu, aku segera membuka pintu. Seperti biasa, aku menampilkan senyum terbaikku di depan Mama. Aku sangat menyayangi beliau.

“Abang sudah gede, Ma. Harusnya gak perlu diingetin makan, apalagi sampai Mama repot nyusulin Abang,” kataku padanya sambil berjalan menuju meja makan.

“Meski umurmu sudah gede, tapi perlu Mama ingatkan. Terkadang kamu suka lupa waktu untuk makan.”

Tuh, kan, Mama itu sangat perhatian. Meski umurku sudah 25 tahun, tapi sepertinya di mata Mama aku masih bocah SD. Tak hanya kepadaku saja, Fariz—adikku yang sudah SMP—Mama seolah-olah bersikap bahwa Fariz masih bocah TK yang segalanya harus dipersiapkan oleh Mama.

Sesampainya di meja makan, sudah ada Papa dan Fariz. Aku duduk di samping adikku.

Mama menuangkan nasi di piring Papa. Tadinya Mama akan melakukan hal yang sama padaku dan Fariz, namun aku melarangnya. Aku mengambil nasi sendiri, begitu pun Fariz.

“Fariz makan yang banyak, sayurnya banyakin. Kamu juga, Bang,” ujar Mama.

“Nanti dia tambah gede badannya, Ma,” kataku bercanda. Tapi memang benar, Fariz memiliki badan yang berisi. Aku tidak berani menyebutnya gendut, aku takut dikira body shaming.

“Biarin, daripada Abang, kurus. Gak keren,” balas Fariz meledekku.

“Kerenlah,” sahutku.

“Sudah. Sekarang kalian makan. Jangan lupa baca doa, bukan malah saling ledek.” Papa buka suara.

“Abang yang mulai, Pa,” kata Fariz dengan wajah kesalnya.

“Tapi emang bener kan, Pa, kalo Fariz badannya gede?” Aku masih belum puas meledek Fariz.

“Sudah ah. Sekarang kalian makan.” Mama meleraikan kami.

***

A/n:

Assalamualaikum.

Jangan lupa tinggalkan vote & komentarnya..

Salam sayang,
Nidiasfitaloka❤

Halal With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang