Ada yang aneh dengan Mas Azril. Sudah dua minggu dia terlihat berbeda. Hm, gimana ya jelasinnya. Ya intinya seperti itu. Dia terlihat seperti menjaga jarak denganku. Jarang mengirim lagi pesan. Apakah ini termasuk salah satu ujian menuju pernikahan, biasanya sih seperti itu yang kutahu. Tapi tidak tahu juga.
Biasanya dia akan mengirim pesan, sekadar menanyakan kabarku, atau menanyakan mengapa aku belum tidur padahal sudah larut malam. Tapi kali ini tidak. Aku melihat whatsapp-nya. Terakhir dia aktif sekitar sepuluh menit yang lalu.
Apa aku tanya saja dia kenapa? Ah, tapi masa iya aku tanya seperti itu. Nanti kesannya aku terlihat ngarep banget.
Jujur saja, aku tidak enak seperti ini. Apakah aku ada salah kepadanya? Dia seperti mendiamiku. Padahal sekitar dua minggu yang lalu semuanya masih baik-baik saja.
Ah, pusing sekali.
Aku tidak suka didiamkan seperti ini. Apalagi tanpa alasan.
Apa jangan-jangan Mas Azril ragu padaku? Apa jangan-jangan Mas Azril menyesal sudah melamarku? Oh, tidak. Aku jangan berpikir sepicik itu. Mas Azril bukan tipe pria seperti itu.
Dengan keberanian yang sudah kusiapkan, aku berniat mengirim pesan kepada Mas Azril, menanyakan perihal kebingunganku ini.
Ini sudah pukul 10 malam. Dan aku benar-benar belum bisa tidur. Belakangan ini aku selalu terpikir dengan Mas Azril yang ya, begitulah.
Mas, gimana kabarnya? Kok sekarang jarang chat?
Aku menutup mukaku saat sudah mengirim pesan itu. Duh, deg-degan sekali. Biasanya Mas Azril yang selalu mengirim pesan duluan, tapi sekarang?
Cukup lama Mas Azril membalas pesanku. Sekitar lima belas menit kemudian, barulah dia membalasnya.
Mas Azril
Alhamdulillah saya baik, Ev. Maaf belakangan ini saya sibuk.Saking sibuknya sampai tidak sempat ya mengirim pesan padaku?
Aku tidak membalasnya lagi. Biarlah. Aku sedikit kesal dengannya. Hah? Apa kubilang? Aku kesal hanya karena dia tidak mengabariku? Duh, sepertinya ada yang tidak beres denganku. Tapi, bukankah wajar jika aku mengharapkan pesan darinya? Tidak, tidak wajar. Maksudku—belum wajar.
Mas Azril mengirim pesan lagi padaku.
Mas Azril
Maafkan saya, Ev, jika membuatmu khawatir. Sebenarnya ada hal yang ingin saya tanyakan sama kamu.Kok tiba-tiba perasaanku tidak enak ya?
Apa, Mas?
Aku hanya membalas seperti itu. Entahlah, aku punya firasat tidak enak. Sebenarnya apa yang ingin Mas Azril tanyakan padaku?
Mas Azril
Besok deh saya ngomongnya. Insyaa Allah besok saya ke rumah kamu.Kan, bikin penasaran saja dia. Apa susahnya bilang sekarang saja?
Oke deh, aku akan menunggunya besok.
***
Keesokan harinya, Mas Azril benar-benar datang ke rumah. Seperti biasa, dia selalu membawa bingkisan untuk orangtuaku. Benar-benar calon menantu idaman, haha.
Mama dan Papa memberi waktu untukku dan Mas Azril. Kali ini tidak ada Fachri, entah ke mana bocah itu. Tapi meski aku dan Mas Azril berdua di ruang tamu, Mama dan Papa masih bisa memantau kami.
Aku melihat Mas Azril yang sepertinya sedang kelihatan, hm, gugup. Namun entahlah.
“Gimana, Mas?” tanyaku, karena dia tak kunjung membuka suara. Lama-lama bosan juga kalau hanya saling diam-diaman.
“Saya...”
“Ya, kenapa?”
“Saya hanya mau tanya.”
“Iya, tanya apa, Mas?” Aku jadi gereget sendiri.
Terdengar suara helaan napas Mas Azril.
“Apakah kamu masih suka berhubungan dengan Reifal?”
Duarrr..
Benar-benar tidak percaya Mas Azril akan menanyakan hal ini. Sungguh ini di luar dugaanku.
Dari mana Mas Azril tau Mas Reifal? Dari mana Mas Azril tahu jika aku dan Mas Reifal memiliki hubungan? Ya, hubungan tidak jelaslah.
“Reifal?”
“Iya. Saya sudah tau, Evren.”
Apa ini ada hubungannya saat aku tidak sengaja dipertemukan dengan Mas Reifal di bengkel Mas Azril? Oh, tidak, tidak ada yang kebetulan. Mungkin, memang sudah seharusnya aku bertemu dengannya.
“Iya, Evren. Saya tau dia saat kamu datang ke bengkel. Kamu waktu itu duduk dengannya kan?” ujar Mas Azril seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan.
“Kok bisa?” Aku masih tidak percaya.
“Entah bagaimana, dia dengan mudahnya terang-terangan kepada saya. Dia bilang kalau kalian pernah dekat. Bahkan dia meminta alamatmu kepada saya.” Mas Azril terkekeh kecil. “Dia tidak tau kali ya, kalau saya ini calon suamimu.”
Sungguh, aku tidak percaya bahwa Mas Reifal bisa senekat itu. Setahuku, dia sosok yang kalem, tidak banyak tingkah, apalagi sampai berani terang-terangan seperti itu kepada Mas Azril.
“Terus?”
“Ya, tidak terus, saya tidak memberi alamatmu. Ya kali saya memberinya. Jadi saat itu saya memilih untuk pergi saja dari hadapannya.”
Bagus. Bagus sekali Mas Reifal. Lagi pula untuk apa kamu menanyakan alamatku. Antara aku dan kamu sudah tidak ada apa-apa lagi.
“Maaf, saya tidak suka dengannya, Evren. Jadi, saya mau tanya. Apakah kamu masih suka berhubungan dengan dia? Ya, semisal lewat sosial media atau semacamnya.”
Aku menggeleng. Memang, Mas Reifal sering mengirim pesan padaku, tapi aku tidak pernah membalasnya. Aku bisa menjaga hatiku sendiri.
Hm, tunggu, apa jangan-jangan Mas Azril sedang cemburu? Wah, tidak, tidak, aku jangan geer dulu. Tapi tetap saja, aku jadi senyum-senyum sendiri memikirkannya. Untung saja Mas Azril tidak melihat tingkah anehku ini.
“Mas Reifal memang sering mengirim pesan padaku, tapi sungguh, aku tidak pernah membalasnya. Aku dan dia sudah tidak ada hubungan apa-apa, Mas.”
“Jadi dia masih sering mengirim pesan padamu?”
“Ya, kira-kira seperti itu.”
Aku melihat raut wajah Mas Azril yang sedikit berubah. Seperti apa ya, apakah dia sedang cemburu saat ini? Kalau iya, lucu sekali.
Mas Azril tidak bersuara lagi. Aku jadi was-was seketika. Aku harus bicara apalagi ya?
“Mas...”
“Kalau boleh jujur, saya tidak suka dia yang sering mengirim pesan padamu, Ev. Tapi, gak pa-pa, kok. Saya percaya kalau kamu tidak akan melakukan hal yang mengecewakan. Lagi pula, saya merasa belum pantas untuk melarang ini-itu padamu.”
Mas, kamu pantas, dua minggu lagi kita akan menikah. Jadi, memang sudah seharusnya kamu percaya padaku. Aku tidak mungkin mengecewakanmu. Aku bisa menjaga hatiku sendiri. Kamu tidak perlu khawatir.
Sayangnya aku hanya bisa mengatakan kalimat itu dalam hati. Aku tidak berani mengatakannya secara langsung. Ah, kau memang payah, Evren.
“Sudah sore, saya harus segera pamit,” ujar Mas Azril memecahkan keheningan yang sempat terjadi diantara kita.
“Baiklah.” Aku sedikit kecewa. Kecewa padanya dan kecewa pada diriku sendiri. Seharusnya aku mengatakan kalimat tadi, tapi mana mungkin aku seberani itu. Juga kecewa padanya yang harus mengakhiri pembahasan ini. Padahal aku tahu, masih banyak yang harus dibicarakan.
***
A/n:
Assalamualaikum.
Jangan lupa tinggalkan vote & komentarnya...
Salam sayang,
Nidiasfitaloka❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Halal With You
SpiritualJangan pernah mencoba mengetuk pintu hati seorang perempuan jika kau tak pernah ada niat untuk serius. *** Evren Rubina Alzan. Seorang gadis muda yang selalu menjaga jarak dengan pria yang mencoba mendekatinya. Bukan tanpa alasan Evren seperti itu...