32. Pulang (2)

1.1K 117 20
                                    

Setelah beradu argumen dengan Resya, perempuan itu mendadak diam. Dia tidak banyak bicara. Kadang sesekali dia menatapku dengan tatapan kesalnya. Baguslah, lagi pula jika dia berbicara malah semakin membuatku muak. Aku ingin segera pergi dari sini. Salah satu caranya menunggu Resya tertidur atau saat dia keluar dari ruangan ini.

Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Aku melirik Resya yang sepertinya akan segera keluar dari ruang rawatku.

“Mau ke mana?” tanyaku saat dia sudah di depan pintu.

“Keluar sebentar. Mau cari makan. Mau nitip?”

“Gak.”

“Oke,” pungkasnya lalu keluar dari ruangan.

Aku mengambil dompet yang tergeletak di atas nakas, lalu turun dari ranjang dengan kesulitan, kakiku belum sepenuhnya pulih. Rasa sakit itu masih sangat terasa.

Saat aku sudah keluar dari ruang rawat, ternyata di luar masih banyak orang yang lalu lalang. Aku bersyukur karena perawat yang biasa menanganiku sedang sibuk dengan pasien lain.

Aku berjalan tertatih-tatih keluar dari rumah sakit, berdiri di pinggir jalan menunggu taksi yang lewat. Saat aku merasa kakiku sakit, otomatis aku langsung duduk lesehan seperti orang menyedihkan di pinggir jalan.

Sekitar 20 menit menunggu, barulah aku menemukan taksi.

“Ke mana, Pak?” tanya sang sopir saat aku sudah duduk di jok belakang.

Aku menyebutkan alamat rumahku. Jarak dari rumah sakit menuju rumahku hanya memakan waktu sekitar 30 menit saja. Aku tidak tahu saat aku pulang harus mengatakan apa kepada Evren. Aku merasa bersalah telah menghilang tanpa memberinya kabar sedikit pun. Semoga Evren bisa mengerti. Semoga dia bersedia mendengarkan penjelasanku nanti.

Setelah sampai di depan rumah, aku memberikan ongkos kepada sopir.

“Ceroboh sekali istriku,” gumamku saat menyadari jika pintu rumah belum dikunci. Padahal ini sudah malam. Bagaimana jika ada sembarang orang yang masuk.

Aku mengunci pintu setelah masuk rumah. Kemudian berjalan menuju kamar, di sana ada Evren yang sedang tertidur dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Aku membuka selimut tersebut, tubuh Evren menggigil. Tanganku menyentuh wajahnya, suhunya panas. Pantas saja dia menunggunakan dua selimut, ternyata istriku itu sedang demam.

“Dingin,” lirih Evren hampir tidak terdengar. Bibirku mencoba tersenyum meski hati ini terasa nyeri saat melihat Evren sakit seperti ini. Aku mengusap kepalanya, memeluk tubuhnya, mencium kedua pipinya, dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Aku berlalu menuju dapur mengambil air hangat untuk mengompres Evren.

“Maafkan Mas, Sayang. Maaf,” tuturku sembari meletakkan kain yang sudah dibasahi air hangat ke kening Evren.

Aku terus melakukan hal tersebut, membasahi lagi kain ke air, lalu diletakkan di kening Evren, sampai demam istriku itu sedikit turun.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Aku ikut membaringkan tubuh di sebelah Evren, memeluk tubuh istriku itu.

“Maafkan Mas, Dek. Mas sangat menyayangimu.”

***

Seusai shalat subuh aku langsung ke dapur, menyiapkan sarapan untuk Evren. Tadi aku sudah membangunkannya, tapi dia tidak bangun juga. Mungkin istriku itu sedang kedatangan tamu bulanan.

Setelah selesai membuat bubur yang rasanya lumayan, aku membawa bubur tersebut ke kamar dengan segelas air hangat. Ketika sudah di kamar, istriku itu masih bergulung dengan selimut.

Halal With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang