Pukul setengah 11 malam. Aku masih belum bisa tidur. Keluarga Mas Azril sudah pulang sekitar satu jam yang lalu.
Malam ini Grup Aneh kembali ramai. Nina dan Riska memberi lagi ucapan selamat padaku. Kami berusaha untuk mencairkan suasana meski tanpa Cinta.
Aku mendadak sedih saat kedua sahabatku itu berkata; jika sudah menikah jangan menjauh dari kami. Kamu harus seperti Evren yang sekarang.
Tidak. Tidak mungkin aku menjauh dari mereka. Jika pertemuan mungkin tidak akan mudah, tapi sekarang zaman sudah canggih bukan? Mereka sahabat terbaikku. Aku merasakan kalau berada di posisi mereka berdua, merasa sedih. Satu sahabat sudah menikah, satunya lagi akan menikah. Itu bukan hal mudah.
Aku menatap cincin pemberian Mas Azril. Cantik sekali. Tanpa sadar, sudut bibirku melengkung ke atas, membentuk sebuah senyuman. Hatiku menghangat saat mengingat hal tadi.
Apalagi mama dan nenek Mas Azril sangat baik padaku. Bukan hanya mama dan neneknya saja, bahkan adik laki-lakinya itu langsung mengakrabkan diri dengan Fachri. Ternyata mereka seumuran.
Ponsel di sampingku bergetar kembali. Aku melihat siapa yang mengirim pesan. Ternyata itu pesan dari nomor baru. Saat aku membaca pesan tersebut, tiba-tiba senyumku menghilang.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Evren. Ini aku Reifal. Masih ingat gak? Tentu saja masih ingat kan?
Aku menggeleng tak percaya. Sungguh, aku tidak menduga pria itu akan kembali mengirimiku pesan.
Oke, keep calm, Evren. Tidak perlu dipikirkan, tidak perlu bawa perasaan. Cukup baca saja dan tidak usah dibalas.
Tapi, tetap saja dia memenuhi pikiranku sekarang. Untuk apa lagi dia menghubungiku? Apakah dia tidak puas telah membuat luka di hatiku? Meninggalkanku dengan alasan yang sungguh, aku tidak bisa mempercayainya. Pria itu memilih pergi karena dimintai kepastian. Ah, sudahlah. Percuma saja.
Lagi. Dia mengirimiku pesan.
Aku tau aku salah, Ev. Maaf jika sudah melukaimu.
Mudah sekali meminta maaf. Apa dia tidak memikirkan bagaimana sakitnya aku dulu saat dia pergi?
Sudah. Sekarang simpan ponselmu, Ev. Waktunya untuk tidur.
***
Esoknya, setelah pulang mengajar, aku mampir terlebih dahulu ke bengkel Mas Azril, ban motorku sedikit kempes.
Saat sampai di sana, kulihat Mas Azril sedang turun tangan, ikut membantu para pekerjanya. Siang ini bengkel Mas Azril cukup ramai.
“Eh, Evren. Ada yang perlu saya bantu?” tanya Mas Azril saat menyadari keberadaanku.
“Ini, Mas. Ban motorku kurang angin,” jawabku.
“Oh, sini, biar saya tambah angin.”
Mas Azril mengambil alih si Bronson. Aku duduk di kursi panjang yang menghadap langsung ke arah para karyawan yang sedang bekerja.
“Evren?”
Aku membelalak saat seorang pria memanggilku. Pria tersebut ... Mas Reifal. Oh, tidak, mengapa aku masih memanggil namanya dengan embel-embel 'Mas'?
“Gak nyangka bisa ketemu di sini,” ujarnya ikut duduk di sebelahku dengan jarak yang tidak terlalu dekat.
“Ngapain kamu di sini?” tanyaku.
Iya! Lagi pula untuk apa dia ada di Bandung. Tempat dia di Bogor. Bukan di sini.
“Ibu dan Ayahku pindah ke Bandung sekitar 2 bulan yang lalu, Ev.”
Aku hanya menjawab dengan gumaman saja.
“Seminggu yang lalu aku mutusin buat ikut mereka ke sini. Di Bogor aku tinggal sendiri, ngekos, bener-bener ngerasa gak bisa ngerawat diri sendiri. Kamu taulah, aku anak bungsu, kakakku udah nikah dan ikut suaminya. Aku di sana bener-bener sendiri. Jadi ya gini, aku sekarang di sini hehe.”
“Dan alhamdulillah sebelum aku mutusin buat ke sini, Ayah udah duluan nemu pekerjaan buat aku. Kerjanya masih sama—promotor.”
Benar-benar tidak pernah kusangka sebelumnya, kalau aku akan dipertemukan kembali dengan dia. Dipertemukan saat aku sudah dilamar oleh pria lain. Sungguh, rasa sayang dan sakit itu masih ada di hati ini.
“Aku seneng bisa ketemu kamu lagi, Ev.” Dia bersuara lagi.
Kamu harus move on. Kamu sudah move on. Oke, tenang saja Evren.
Tetap saja hatiku tidak bisa menolak perasaan itu. Aku masih memiliki perasaan terhadapnya, tapi aku juga kecewa dengan rasa sakit yang dia berikan. Oh, ayolah, Ev. Sekarang kamu sudah memiliki calon suami. Satu bulan lagi kamu akan menikah.
“Ev, ini sudah ditambah angin bannya.” Mas Azril sudah selesai dengan tugasnya.
“Oh iya, Mas. Berapa?” tanyaku kepada Mas Azril sebelum aku akan membayar ke kasir.
“Lah, gak usah gitulah. Kayak yang sama siapa aja,” balasnya sambil terkekeh. Aku merasa malu sendiri.
Aku mengambil alih lagi si Bronson. Menghidupkan mesinnya, “Makasih ya, Mas. Kalau gitu saya duluan. Assalamualaikum,” pamitku sebelum melajukan kuda besiku ini.
“Waalaikumussalam. Hati-hati ya, Ev.” Mas Azril tersenyum ke arahku, membuatku jadi salah tingkah seketika. Aku hanya membalasnya dengan anggukan yang sedikit kaku.
Melajukan si Bronson keluar dari bengkel Mas Azril. Tidak peduli. Aku tidak peduli kepada Mas Reifal. Mengabaikannya adalah pilihan terbaikku.
Lagi pula, kalau pun dia kembali, aku akan mencoba untuk tidak peduli lagi padanya, aku tidak akan membiarkan dia mengetuk pintu hatiku lagi hanya untuk mengusikku. Aku sudah punya calon suami, dia Mas Azril. Sebentar lagi kami akan segera menikah.
***
A/n;
Assalamualaikum.
Jangan lupa tinggalkan vote & komentarnya.
Salam sayang,
Nidiasfitaloka❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Halal With You
SpiritualJangan pernah mencoba mengetuk pintu hati seorang perempuan jika kau tak pernah ada niat untuk serius. *** Evren Rubina Alzan. Seorang gadis muda yang selalu menjaga jarak dengan pria yang mencoba mendekatinya. Bukan tanpa alasan Evren seperti itu...