7. Keputusan

2.4K 183 28
                                    

Sepulang mengajar aku langsung pulang ke rumah. Tidak pernah ada lagi insiden aku bertemu dengan Azril tanpa disangka-sangka. Pria itu benar-benar memberiku waktu untuk berpikir. Berpikir untuk memutuskan suatu hal yang sangat penting.

Saat aku masuk ke dalam rumah, rumah terlihat sepi. Fachri belum pulang sekolah, pun Papa yang masih sibuk bekerja. Rumahku memang tidak memiliki asisten rumah tangga. Jadi semua pekerjaan rumah Mama yang tangani, kadang juga aku membantu jika sedang tidak sibuk. Mama benar-benar melakukan perannya sebagai seorang istri untuk suami sekaligus seorang ibu untuk anak-anaknya.

Aku masuk ke dalam kamarku, mengganti pakaian dengan baju santai. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 12 kurang. Sebentar lagi akan berkumandang adzan Dzuhur. Lantas aku segera ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan mengambil air wudhu.

Setelah selesai shalat, aku turun ke bawah. Menyalakan televisi dan menonton siaran berita.

"Udah shalat, Sayang?" tanya Mama ikut duduk di sampingku.

"Eh, udah, Ma," jawabku.

Aku dan Mama fokus ke televisi, maksudku hanya Mama saja. Sedangkan aku masih bergelut dengan pikiranku. Apakah ini saatnya aku meminta saran kepada Mama perihal ada seorang pria yang mengajakku ta'aruf?

"Mama.." Setelah cukup lama berpikir, akhirnya aku memberanikan diri untuk memulai.

"Iya, Sayang? Ada apa?" tanya Mama sambil menatap ke arahku.

"Hm.. Ada suatu hal penting yang mau aku obrolin ke Mama," kataku.

Mama mulai fokus kepadaku. Beliau mengecilkan volume televisi. "Hal penting apa?"

"Jadi gini, Ma,..." Aku mulai menceritakan kepada Mama perihal Azril yang mengajakku ta'aruf. Mama mendengarkanku dengan serius. Melihat reaksi Mama yang antusias, aku menjadi yakin seyakin-yakinnya untuk terus bercerita kepada Mama.

"Lalu, apa yang kamu khawatirkan, Sayang? Kenapa kamu masih belum yakin untuk menerima ajakan ta'aruf darinya?" tanya Mama yang sudah tahu bahwa aku masih belum yakin dengan ajakan Azril.

Mama belum tahu, bahwa dulu aku pernah dekat dengan seorang pria. Sampai akhirnya pria itu mengecewakanku, dan membuatku hampir tak mau lagi dekat dengan manusia berjenis kelamin laki-laki. Aku benar-benar jera untuk memulai suatu hubungan lagi.

"Tidak mau cerita ke Mama?" tanya Mama lagi saat aku masih diam, tak menjawab pertanyaannya tadi.

"Aku tidak mau kejadian dulu terulang kembali, Ma," kataku lirih. Tapi aku yakin Mama masih bisa mendengar suaraku.

"Kejadian apa?"

"Aku dulu pernah dekat dengan seorang lelaki. Tapi, ketika aku meminta kepastian kepadanya untuk melamarku, dia bilang belum siap dan malah meninggalkanku."

"Kapan itu? Kenapa tidak pernah cerita ke Mama?"

"Setahun yang lalu mungkin. Ehm, lebih tepatnya kurang dari setahun lalu. Saat aku memilih untuk tinggal di rumah nenek."

Ya. Aku mengenal pria itu saat aku tinggal di rumah nenek, di Bogor. Di Bogor aku tidak hanya menemani nenek saja. Di sana aku bekerja sebagai waitress di sebuah kafe milik tetangga nenek. Selama di sana kesibukanku hanya bekerja dan membantu nenek di rumah.

Dan pria itu, dia bekerja sebagai promotor handphone atau biasa disebut sales promotion boy. Tempatku dan dia bekerja sangat dekat. Toko kami bersebelahan. Sehingga mudah bagi kami hanya untuk sekadar bertemu.

"Sudah cukup lama berarti. Tapi kenapa kamu gak pernah cerita ke Mama?"

"A-aku malu, Ma. Aku ngerasa gak enak kalo harus cerita beginian ke Mama."

"Hm sudahlah ... Mama mengerti perasaan kamu. Menurut Mama kamu tidak perlu takut untuk memulai sesuatu yang baru. Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang kamu harus membuka lembaran baru. Jangan khawatirkan sesuatu yang bahkan belum tentu akan terjadi. Bisa saja pria yang mengajakmu berta'aruf itu benar-benar jodoh kamu."

"Tapi, Ma..."

"Lihat dulu dia. Apakah dia sanggup berkomitmen? Apakah dia hanya sekadar penasaran, atau benar-benar serius dengan kamu."

Mama tersenyum. Kemudian melajutkan kalimat yang benar-benar tidak kuduga sebelumnya. "Sayang... tidak semua hubungan itu akan berakhir mengecewakan. Buktinya sekarang, Mama dan Papa bisa selanggeng ini. Bahkan sampai mempunyai putri secantik kamu, dan putra setampan adikmu itu."

Aku menatap Mama penuh kagum, tidak menyangka bahwa Mama akan mengatakan hal seperti ini kepadaku. Setiap perkataan yang keluar dari bibirnya seolah-olah menyemangatiku, bahwa tidak semua pria sama seperti dia yang telah meninggalkanku.

"Jadi, menurut Mama aku iyakan saja ajakan ta'aruf dari dia?" tanyaku.

"Kamu sudah dewasa, semua keputusan ada ditanganmu. Mama yakin kamu sudah bisa paham mana yang menurutmu baik, dan mana yang menurutmu tidak baik."

***

Setelah meminta saran kepada Mama tadi siang, malamnya aku berniat menghubungi Azril lewat instagram. Tapi entah mengapa, rasanya sangat gugup. Sehingga yang kini kulakukan hanya menatap ponsel yang dibiarkan menyala, hingga 30 detik kemudian layarnya berubah menjadi gelap; mati.

Apakah ini keputusan yang baik? Bahkan ketika sudah melaksanakan shalat istikharah, aku masih merasa deg-degan.

Aku menyalakan kembali ponselku. Membuka aplikasi instagram dan membuka ruang obrolan bersama Azril.

Harus memulai dengan apa? Apakah langsung ke inti atau basa-basi terlebih dahulu? Ah, mengapa aku jadi bingung seperti ini.

Setelah lama bergelut dengan pikiran, akhirnya aku mengetikan kata demi kata hingga menjadi sebuah kalimat.

Assalamualaikum.
Setelah saya berpikir beberapa hari, akhirnya saya bisa memberikan jawaban juga. Saya menerima ajakan ta'aruf dari kamu.

Itulah kalimat yang aku kirimkan kepada Azril. Pria itu aktif sekitar satu jam yang lalu.

Sembari menunggu pria itu membalas pesanku, aku kembali ke beranda, melihat postingan dari teman-temanku juga beberapa akun dakwah.

Entah apa yang ada dipikiranku saat ini, sampai-sampai kini tanganku sudah ada dikolom pencarian dan mencari sebuah nama yang seharusnya tidak harus kucari.

Reifal Irwansyah

Ya, pria yang pernah dekat denganku dan kini memilih pergi bernamakan Reifal. Reifal Irwansyah. Setelah dia pergi, aku tidak pernah mencari tahu tentangnya lagi. Bahkan, aku pun unfollow semua sosial medianya. Dan kini, entah mengapa dengan bodohnya aku malah melihat akun dia yang kebetulan tidak terkunci.

Aku melihat fotonya yang terakhir dia posting—dua hari yang lalu. Dia memposting kebersamaan dengan teman setokonya.

Saat aku hendak melihat fotonya yang lain, aku dikagetkan dengan sebuah notifikasi dari Azril. Dia membalas pesanku tadi. Buru-buru aku segera membacanya.

Waalaikumussalam.
Alhamdulillah, saya sangat senang melihat jawaban dari Mbak. Saya sudah sangat khawatir, takutnya Mbak gamau ta'aruf dengan saya.

Aku tersenyum tipis saat membaca balasan dari Azril. Apakah pria itu benar-benar senang melihat keputusanku ini?

Berapa lama kita akan berta'aruf?

Aku membalas lagi dengan pertanyaan seperti itu.

Mbak maunya berapa lama? Kalau saya sih maunya sekitar 3 bulan atau 4 bulan. Setelah itu saya akan segera melamar Mbak.

Hah, apakah itu tidak terlalu cepat?

***

A/n:

Assalamualaikum.
Akhirnya bisa update lagi setelah beberapa hari buntu buat lanjutin cerita ini. Wkwk

Semoga masih ada yg baca hehe😬

Jangan lupa tinggalkan vote & komentarnya!!

Salam sayang,
Nidiasfitaloka❤

Halal With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang