Baiklah, ku anggap ini aneh. Karena kamu mulai memenuhi hari-hariku.
........⁉
Mataku tertunduk sedari tadi. Sungguh aku sangat canggung untuk bekerja sama dengan Fahri. Berbeda dengan Arga tahun lalu, karena Arga sendiri orangnya ramai, jadi aku pun terbawa oleh tingkahnya yang super humble. Dengan Fahri sendiri, aku malah bingung harus berbuat apa.
"Jadi, apa yang bapak mau tanyakan pada saya?" akhirnya aku memulainya. Aku bingung harus menjelaskan apa terlebih dulu. Jadi ku putuskan sebaiknya biar Fahri saja yang bertanya. Lagi pula, ia sudah mempelajari kegiatan amalnya dari lpj kegiatan tahun lalu.
"Saya tidak banyak mengenal orang-orang yang akan bekerja sama bersama saya nantinya. Sementara ini, yang baru saya kenal hanya kamu, jadi saya rasa saya masih bingung harus memulainya dengan apa." ucap Fahri dengan jujur. Percis sekali seperti apa yang aku rasakan satu tahun kemarin, saat aku dengan tiba-tiba dipercayai untuk menjadi partner penaggung jawab. Namun karena Arga yang sudah berpengalaman, dan juga ramah orangnya, jadi aku bisa dengan cepat belajar darinya.
"Sebenarnya sih pak, sebagai penanggung jawab tidak terlalu banyak yang harus dikerjakan. Karena penanggung jawab hanya akan menerima laporan dari ketua. Nanti untuk mengatur acara, ada tugasnya masing-masing. Yang bapa perlu lakukan sekarang, hanya memilih kepanitiaan saja." aku menerangkan apa yang harus Fahri lakukan sebagai penanggung jawab, sebagaimana dari yang ku pelajari di tahun kemarin.
"Saya tidak tahu, siapa saja yang nantinya akan saya jadikan sebagai panitia,"
"Sebenarnya, saya memberi saran, untuk masalah kepanitiaan sebaiknya yang tahun lalu menjadi panitia saja, agar yang menjadi panitia nantinya sudah paham apa yang harus dikerjakan. Tinggal beberapa orang saja yang diganti, karena ada yang resign, atau alasan lainnya," Fahri langsung mengangguk paham atas penuturanku.
Jika ia sudah paham, sebaiknya aku pergi dari sini, pikirku.
"Jika seperti itu, saya pamit pak. Assalamualaikum,"
Tetapi, tepat saat baru beberapa inci bokongku menjauhi kursi tiba-tiba, "tunggu..." Fahri menahanku untuk beranjak. Seketika aku urung dari niat untuk pergi, bahkan urung dari niat berdiri.
"Iya pak?" aku bertanya agar urusan hari ini bersama Fahri dapat cepat selesai. Entah kenapa dari tadi aku canggung dan tidak nyaman.
"Sebenarnya, saya cuma mau bilang kalo saya sebenarnya risih kamu panggil saya dengan sebutan pak," aku heran dengan ucapannya. Mengapa harus risih? Dia kan anaknya Pak Isha dan akan menjadi penanggung jawab acara nanti. Artinya dia ikut andil dalam perusahaan ini, jadi seharusnya wajar kan jika aku memanggilnya dengan sebutan pak?
"Kenapa pak?"
"Bukankah selama kita saling mengenal, kamu biasanya hanya memanggil nama saya saja?"
"Saya hanya sedang bersikap profesional pak," alibiku.
"Oke, saya mengerti ini masih jam kerja. Tapi, ini di luar kantor. Panggil saya dengan biasa saja."
"Tapi pak—"
"Saya hanya izinkan kamu memanggil saya dengan sebutan pak, di area kantor. Tidak untuk di luar kantor. Saya harap kamu paham dengan keinginan saya." dia menyela pembicaraanku dan memberi peringatan padaku. Dari cara bicaranya dia bukan memberi peringatan, melainkan perintah.
"Saya pamit, assalamu'alaikum!" ini terbalik. Sekarang malah ia yang meninggalkanku terlebih dahulu.
"Oh ya," Fahri sepertinya mengurungkan niatnya meninggalkanku, entah karena apa. Ia berbalik kembali dari beberapa langkahnya yang telah memberi jarak antara aku dengannya. Aku tidak menjawabnya, aku hanya menunjukkan ekspresi meminta penjelasan kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SB I] Terperangkap Dalam Tanya [COMPLETED]
Random[SUDAH TAMAT] Pernah dengar kata menunggu?. Tentu pernah bukan?. Namun banyak orang yang terkadang sangat lemah dan sering mengeluh saat menunggu. Bagaimana jika ku katakan menunggu itu indah? Mengapa? Karena kupikir dengan menu...